Refleksi:
Pagi
ini aku terbangun namun memutuskan untuk terus melanjutkan mimpi. Semalam aku
mimpi relasiku dengan seorang senior di lembaga pelayananku berujung
rekonsiliasi. Mimpi di alam tidur itu akan kulanjutkan, kujadikan ‘mimpi’ku
di alam nyata, akan kukelola dalam satu paket dengan ‘mimpi-mimpi’ku yang lain.
Ini keputusan penting, kawan. Maka ijinkan
aku berbagi mimpi-mimpi pentingku serta kejadian-kejadian yang menjadi pemicu
keputusan penting pagi ini, terutama kepada kalian yang masih punya
mimpi-mimpi yang luhur dalam hidup ini:
Berawal
di Sabtu malam kemarin. Aku dan Perdian diundang ke jamuan makan malam perayaan
ulang tahun mama dari kenalan kami, seorang anak Tuhan yang saleh sekaligus
kaya. 15 jenis menu datang silih berganti menghampiri meja kami (berbagai olahan
flora dan fauna kualitas terbaik yang otomatis membuat kami terpanggil menjadi omnivora
yang baik pula J), diakhiri dengan
satu sloki kecil Dry Red Wine produk
import.
Aku
berbisik ke Perdian: “Kita sudah mengunyah sejak 2,5 jam lalu. Anehnya, kok
tidak kringetan sama sekali ya? Kalau di kantor, makan siang 10-20 menit aja
selalu kringetan.” (karena kepedesan, juga karena AC dekat meja makan kantor tidak
dinyalakan). Analisa Perdian kontan bikin aku terbahak: “Semua orang di ruang
pesta ini tidak kringetan karena makan sambil menyanyi (ikuti lantunan
lagu-lagu mandarin yang disediakan perangkat karaoke pihak restauran), beda
dengan mas Iwan dan teman-teman kantor yang makan sambil mikir: “Uang tinggal
berapa ya, besok masih bisa makan ga ya?” Alhasil, kami masih tergelak hingga
larut malam di kamar mengingat analisa itu. Sebuah mimpi datang mendahului kantukku:
Harus makin banyak orang lagi yang punya
akses mengkonsumsi makanan yang layak (yang sehat sekaligus lezat). Tidak hanya
anak istriku, tapi seluruh anak bangsaku ini, bahkan seluruh penduduk bumi ini.
Semua berhak!
Esoknya,
sepulang gereja, kenalan kami yang saleh dan kaya ini mengajak kami ke
villa miliknya di puncak. Walau sesaat, udara bersih sejuk, pemandangan hijau dan
suasana sunyi yang kami kecap di balkon yang menghadap pegunungan hijau itu
membuatku merasa sedang di dunia lain, membuatku enggan pergi. Tapi kenyataan
tak bisa kulawan, kami harus balik ke Jakarta lagi...yang panas, gaduh dan
sarat polusi. Bernada protes, aku berujar ke Perdian: “Mengapa alam ciptaan
Tuhan yang indah ini jadi mahal dan tak terjangkau untuk dinikmati setiap orang?”
Ya, menurutku masyarakat Jakarta kelas menengah ke bawah yang jumlahnya mayoritas itu akan memiliki usia harapan hidup yang rendah karena di libur
akhir pekanpun mereka tetap harus ‘menikmati’ udara beracun maupun ‘pemandangan
beracun’ di dalam kota. Satu lagi mimpi terajut
di hati sebelum meninggalkan villa itu: “Suatu
saat kelak, semua orang bisa menikmati udara dan pemandangan yang sehat. Semua
berhak!”
Mimpi-mimpi’
itulah yang mengantarku berangkat tidur malam tadi, tidur yang menjumpakan aku
pada mimpi rekonsiliasi dengan senior yang kusebut di awal tadi. Dalam doa
kumohon Tuhan taruh ‘mimpi’ yang sama dalam hati beliau, lalu kulanjutkan
dengan menyampaikan ‘mimpi-mimpi’ku kepada-Nya, seperti ini: Aku punya mimpi tentang indahnya hidup di
dunia ini. Ya, mimpi tentang makin punahnya manifestasi dosa individu maupun
dosa kolektif komunitas gerejaku dan bangsaku; tentang tegaknya keadilan dan meratanya
kemakmuran di muka bumi ini; mimpi tentang membaiknya relasi-relasi antar
individu, antar komunitas, antar bangsa, dan sama pentingnya, mimpi tentang
makin membaiknya kesehatan ekologi planet bumi ini. Intinya, mimpi tentang
hadirnya kondisi dunia yang berbeda dengan kondisi dunia kita hari ini, yang
penuh keserakahan, kelaparan, kebencian, perseteruan, kekerasan, serta penuh
nasionalisme bahkan religiositas yang ironisnya justru menjauhkan anak-anak
bangsa ini dari nilai-nilai kasih, persaudaraan dan perdamaian.
Aku beruntung dan bersyukur bisa bermimpi dan mau ber’mimpi,’ kawan. Sebab mimpi punya peran penting dalam hidup kita sebagai manusia, baik saat kita
tidur maupun terjaga. Mimpi-mimpi (yang indah, utamanya) itu berfungsi sebagai
ventilasi bagi harapan dan kerinduan yang menyesak dalam dada, harapan akan
datangnya kondisi-kondisi manis yang berlawanan dengan berbagai kenyataan pahit
yang kita hadapi dalam kehidupan nyata (yang adalah dampak kejatuhan manusia dalam dosa yang dampak kerusakannya dialami bumi dan segala isinya ini [Kejadian psl 3-11]).
Dan
yang membuatku memutuskan untuk memelihara dan melanjutkan mimpi-mimpi ini
adalah karena barusan kusadari bahwa sebenarnya mimpiku itu sangat mirip dengan
mimpi Allah, yakni mimpi utama Allah untuk membuat segala sesuatu menjadi baru
kembali. Halaman-halaman awal alkitab kita (Kej 1-2) dengan
tegas menunjukkan bahwa dunia yang lebih baik dari dunia kita hari ini itu
benar-benar pernah ada, yakni dunia yang penuh keindahan dan harmoni antar ciptaan
dan Sang Pencipta, juga harmoni di antara semua ciptaan. Halaman-halaman
terakhir alkitab kitapun (Wahyu 21-22) memberi visi yang gamblang bahwa dunia
yang seperti itu akan ada lagi, dunia yang melulu berisi keindahan dan
keharmonisan tatanan ciptaan Allah yang sungguh amat baik. Tak ada egoisme, ketamakan atau kecurangan atau polusi dalamnya, tak ada penyakit, orang miskin atau kelaparan. Rupanya, tanpa sadar 3
hari terakhir ini aku sedang memimpikan mimpi yang sama yang telah Allah
mimpikan sejak permulaan jaman!
Bagaimana denganmu, kawan? Sering mimpi kan. Apa
mimpi-“mimpi” burukmu? Relasi 'beracun' dengan sobat atau pasangan terkasih?
Ketidak-adilan di tempat kerja? Stress di tempat pelayanan? Sakit yang sudah divonis tak mungkin sembuh? Ekonomi
rumah tangga yang lumpuh? Sawah kering yang membuat rezeki panenmu makin
menjauh? Kesempatan-kesempatan baik yang terhalang sistem yang korup? Ini pertanyaan
untukmu: Beranikah kamu tenggelamkan mimpi-mimpi buruk itu ke dalam mimpi besar
Allah yang menjanjikan lenyapnya unsur jahat dan segala anasir dosa yang
mencemari seluruh ciptaan-Nya itu?
Sekarang, apa mimpi-mimpi indahmu, kawan?
Lulus sekolah/kuliah dengan baik, dapat pekerjaan bergaji baik dan meniti karir
dengan baik, menikah dan menikmati keluarga bahagia, mati tua lalu masuk sorga? Kejar, wujudkan semuanya, kawan. Tapi jangan berhenti hanya di
situ. Ada dunia lain di luar dunia kecilmu itu. Dunia yang lebih besar, milik
Allah, masih penuh peristiwa dan kondisi buruk. Ini tantangan untukmu: Niatkan mimpi-mimpi indahmu itu berkontribusi
bagi bertambahnya keindahan dunia di luar kehidupan pribadimu. Tekadkan
mimpi-mimpi indahmu yang egoistis itu bertumbuh semakin misional, yakni bersumbangsih
dalam mewujudnyatakan mimpi-mimpi indah Allah.
Kawan, hari ini kita hidup di antara dua dunia,
yakni dunia mimpi buruk dan dunia mimpi indah, antara dunia mimpi Iblis dan
dunia mimpi Allah. Wajib hukumnya buat orang kristen untuk
menjawab pertanyaan dan tantangan itu dengan tegas, karena ajaran Alkitab jelas, bahwa tugas
menghentikan mimpi buruk dunia ini dan tugas mewujudkan mimpi indah Allah di
dunia ini sudah diembankan pada semua manusia, para rupa dan gambar Allah, terutama dikaruniakan pada orang-orang yang berkomitmen
menTuhankan Yesus dan berjalan di belakang Yesus. Apalagi kebangkitan Kristus telah terjadi, menjadi garansi sekaligus energi ilahi bagi terwujudnya mimpi Allah itu. Dalam konteks fakta teologis ini, sudah
seharusnya mimpi indah Allah menjadi bagian dari kemanusiaan dan kemuridan kita, yang tak bisa dan tak
boleh kita abaikan atau hindari.
Itu sebabnya kusharingkan
mimpi-mimpiku padamu, kawan. Aku tak
mau bermimpi sendiri. Aku mau semua mimpi luhur kita sinergikan, jadi bahan bakar rohani yang menggerakkan kita menghadapi, bukan melarikan diri dari, kenyataan pahit dalam dunia kita saat
ini. Maka mari terus bermimpi, kawan!
Jangan berhenti di mimpi kecil dunia pribadimu. Sedini mungkin, mimpikan (=niatkan, praktekkan) setiap ilmu, profesi, harta, semua talentamu, menjadi instrumen pewujud mimpi luhur bangsamu, mimpi besar
Allahmu! Ingat, berita keselamatan dalam alkitab kita dibingkai dengan visi Kej
1-2 dan Wahyu 21-22, sebuah injil yang dahsyat: bahwa Allah kita pasti menang;
bahwa iblis, dosa, kejahatan dan segala kenajisan pasti kalah dan pasti lenyap; bahwa bumi dan
segala ciptaan-Nya akan kembali pada kualitasnya mula-mula: sungguh amat baik!
Wartakan Injil ini, kawan.
Wahyu
21:1. Lalu aku
melihat langit yang baru dan bumi yang
baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan
lautpun tidak ada lagi.
21:2 Dan aku
melihat kota yang kudus, Yerusalem yang
baru, turun dari sorga, dari
Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.
21:3 Lalu aku
mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia
dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya
dan Ia akan menjadi Allah mereka.
21:4 Dan Ia akan
menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak
akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala
sesuatu yang lama itu telah berlalu."
21:5 Ia yang duduk
di atas takhta itu berkata: "Lihatlah,
Aku menjadikan segala sesuatu baru!" Dan firman-Nya:
"Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar."
Jakarta, 8 Oktober 2012