(Refleksi
pastoral Menyikapi Radikalisme Agama)
Arti
peribahasa di atas adalah: "walau orang menggunjing, mencemooh, mengancam, walau
situasi menghalang merintang, jangan dihiraukan, the show must go on, rencana tetap jalan." Memang
peribahasa ini netral, bisa dipakai oleh orang baik pun orang jahat. Refleksi ini
mau semangati orang kristen yang baik (ya, tentu saja, ada yang tidak baik)
yang merencanakan hal-hal baik.
Seratus persen saya
aminkan peribahasa ini. Saya ada pengalaman soal gonggongan anjing. Pernah
pelihara 29 anjing, saya tahu benar kalau anjing
menggonggong itu tidak menggigit”. Seringkali
tamu saya terluka karena lari dan terjatuh, bukan karena gigitan. Kalau si tamu
tetap tenang, cepat atau lambat smua gonggongan pasti akan diam (bahkan sering
si tamu segera saja diabaikan). Jadi, tips saya kalau kita digonggongi anjing:
usahakan tetap tenang. Jangan biarkan anjing itu tahu kalau kita takut. Panik,
lari, atau coba lempari atau pukul anjing, bisa lebih runyam. Anjing akan
senang, makin semangat, karena temukan kepuasan. Demikian pengalaman saya, kawan. Itu sebabnya saya berani dukung
peribahasa di atas: kalau digonggongi orang jahat, usahakan tenang & terus
aja rencana baik kita jalankan.
Seperti itulah inti nasehat Rasul Paulus di surat
Filipi 1:27-30: “Hai jemaat Filipi, kalau kalian digonggongi iblis dan anak
buahnya, tetaplah tenang.” Ada frasa
“dengan tiada [jangan biarkan
dirimu] digentarkan sedikitpun oleh
lawanmu.” (Fil 1:28). Kita paham kaki tangan iblis yang menentang injil itu
jauh lebih menakutkan dan lebih berbahaya dari anjing herder skalipun. Maka nasehat
Paulus ini layak dipegang: Mengapa
nasehat ini relevan? Bagaimana cara kafilah tunjukkan ketenangan di tengah gonggongan?
Kawan, nasehat ini relevan
bagi jemaat Filipi dan bagi kita, karena sejak dulu hingga kini, banyak pihak
dipakai iblis untuk menentang kekristenan dengan segala cara dan tipu daya,
mulai dari hinaan, ancaman hingga kekerasan bahkan pembunuhan. Penutupan paksa,
pembakaran, bahkan pengeboman gereja itu bukan berita baru, bukan. Bahkan sejak
lahirnya, kekristenan sudah dimusuhi dan ditindas. Yesus diejek dilempari batu.
Ia mati dianiaya disalib. PengikutNya mula-mula menyebar dari Yerusalem ke
Antiokia dan Roma. Di kota Roma inilah penindasan kejam mulai dialami orang
kristen, berawal di jaman kaisar Nero, dan berlanjut hingga jaman kaisar-kaisar
berikutnya. Dokumen sejarah mencatat kekejaman itu, bagaimana orang kristen
dijadikan umpan makanan singa di arena gladiator. Ada yang disiram cairan aspal
lalu dibakar, dijadikan obor penerang kota jika malam hari.
Dalam
masa aniaya seperti ini, wajar orang kristen mudah merasa takut. Tapi Paulus
justru memberi mereka tips ini: “Usahakan tetap tenang. Jangan biarkan musuh
tahu kegentaran, ketakutan kalian.” Mengapa jangan? Bukankah mereka punya kuasa
menyakiti dan membunuh kita? Wajar donk kita merasa takut. Ya, memang wajar.
Namun di sini Paulus mengingatkan kita hal yang lebih mendasar: “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja
untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia, dalam
pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang
kamu dengar tentang aku.” (Fil 1:29-30). Intinya, baik aniaya dan
penderitaan itu termasuk anugrah, satu paket dengan anugrah iman. Paulus
ingatkan jemaat Filipi bahwa merekapun telah menyaksikannya dalam hidup Paulus
sendiri.
Menghadapi kenyataan hidup kristen seperti ini,
panik dan ketakutan tidak akan membuat situasi jadi membaik, justru bikin
runyam, bisa menjadi sumber kepuasan para lawan. Lawan yang, menurut Yesus [Mat
10:28], hanya bisa membunuh tubuh tapi ga bisa bunuh jiwa. Dan bukankah kita
punya Allah yang hidup yang akan memelihara dan menguatkan kita?! Maka tidak salah,
bahkan relevan sekali tips yang Paulus berikan: “Jika iblis menggonggong,
usahakan tetap tenang, kafilah gereja teruslah berjalan.”
Tapi
bagaimana cara menunjukkan bahwa kita tenang dan tidak ketakutan? Di Fil 1:27 Paulus sebutkan
caranya secara spesifik:
a. Jaga sikap atau perilaku
yang baik.
Paulus menyebutnya perilaku yang “berpadanan dengan injil.” (ay 27a). Di tengah
banyaknya gonggongan iblis, penting sekali kita menjaga perilaku tanpa cela di
hadapan publik/di tengah komunitas masyarakat. Di kehidupan sehari-hari, sebaiknya
warga gereja tidak punya reputasi negatif, misal: orang yang menutup diri,
kasar, tidak tahu sopan santun. Sebaliknya, kita harus dikenal sebagai tetangga
yang baik, orang yang jujur dan bisa diandalkan. Bahkan ketika orang memfitnah
dan menyerang, kita jangan malah membangun tembok, mengurung diri karena
trauma.
b. Jaga kesatuan yang teguh. (Ay 27b): “teguh
berdiri dalam satu roh dan sehati sejiwa”. Ini adalah sebuah ungkapan yang
menunjukkan kekompakan anggota tim olah raga yang punya tekad dan tujuan yang
sama, yakni “memenangkan pertandingan.” Paulus ingin mendengar kabar tentang
kesaksian jemaat Filipi yang hidup bersatu di tengah gonggongan jahat yang setiap
hari mereka alami.
Nah, dengan bersikap: tetap tenang, tetap
berperilaku baik dan tetap kompak di depan umum inilah pesan kuat yang kita kirim
pada pihak lawan adalah: KAMI TIDAK TAKUT! Dan pesan kuat seperti ini
sesungguhnya adalah sebuah kesaksian bagi Injil. Bagi orang kristen sendiri,
pesan seperti ini merupakan “tanda keselamatan” (ay 28), menandakan bahwa kita sudah
menjadi milik Raja yang saat ini berkuasa, yakni Yesus (bukan Kaisar!).
Sebaliknya, bagi pihak lawan, pesan itu menjadi “tanda kebinasaan” (ay 28). Mereka
jadi bingung dan frustasi melihat teror yang biasa mereka gonggongkan kini
sudah tidak mempan.
Puji Tuhan, kawan,
rupanya tips dari Paulus ini ditaati oleh gereja mula-mula. Dokumen sejarah
mencatat, bahwa walaupun ditindas, orang kristen tidak mendendam, dan tidak
mundur dari iman. Kenyataan ini jadi kesaksian yang baik, dan menimbulkan
simpati. Ada satu dokumen sejarah milik Diognitus, penasehat kaisar Aurelius di
th 150M, berbunyi demikian:
“...orang kristen tidak berbeda dari kita dalam hal
tempat tinggal, bahasa atau adat istiadat. Yang berbeda adalah perilaku mereka
yang mengagumkan: Mereka menjalankan semua tanggung jawab sebagai warga negara,
walau dianggap orang asing dan dipersulit. Mereka mengasihi semua orang tapi
dianiaya. Mereka dimaki, namun mereka memberkati. Mereka diejek, namun mereka
bersikap hormat. Mereka dilemparkan ke binatang buas agar menyangkal Tuhannya,
tapi itu tidak berhasil. Semakin mereka dipunahkan, mereka semakin banyak.”
Kawan, bukankah di jaman kita ini,
gonggongan iblis itu masih terdengar? Bahkan semakin nyaring akhir-akhir ini. Tiap
kita pernah mengalami jenis-jenis gonggongan iblis itu bukan? Hari ini
gonggongan iblis tidak hanya dalam bentuk serangan fisik dari kelompok radikal
agama maupun dari pihak oknum penguasa, tetapi juga bisa dalam bentuk serangan
mental dari kelompok-kelompok hedonis dan ateis yang menyerang kekristenan
lewat media hiburan dan media sosial yang bisa mengguncangkan iman.
Di pergaulan masyarakat sehari-hari kita juga bisa
temui orang yang menolak, mengejek, menghina bahkan memfitnah kekristenan.
Orang itu bisa tetangga, teman, rekan kerja, bahkan anggota keluarga. Para musuh injil ini, akan menuduh dan mencap
orang kristen yang setia itu sebagai orang-orang aneh, picik, fanatik, bahkan
kafir. Semua itu pasti akan membuat kita, cepat atau lambat, dibenci dan
dimusuhi bahkan dianiaya. Tapi Paulus nasehatkan ini: “Jangan panik, jangan
biarkan musuh tahu kalian ketakutan.”
Ijinkan aku berbagi pengalaman pribadi: waktu kuliah, dua kali pindah kost,
karena lokasi kampus pindah. Dua kali juga kualami sambutan yang sama bapak
kost: Bapak dan ibu kost ajak bicara di hari kedua: “Nak Iwan, kami baru tahu kalau nak Iwan kristen. Sebenarnya kami tidak
terima non-muslim. Tapi ya tidak apa-apa, sudah terlanjur. Hanya, tolong taati
aturannya: dilarang taruh alkitab di luar kamar, dilarang pasang gambar
kristen, dilarang pasang patung salib, dilarang putar lagu kristen.”
Awalnya kaget juga, gentar juga. Sempat berpikir pindah kost. Tapi aku
berusaha tenang dan menjalani hari-hari di tempat kost itu sewajar mungkin. Kutaati
aturannya, sambil terus membangun hubungan, gaul dengan teman kost dan juga
keluarga pemilik kost. Tiap kali membersihkan kamar, sekalian kusapu dan pel
ruang tamu kost itu. Anak pemilik kost ulang kali sakit dan sering opname, aku
selalu ambil kesempatan jaga di Rumah Sakit. Tanpa terasa, hanya sebulan
kemudian, situasi berubah total. Lagu rohani bisa kuputar dengan pintu kamar terbuka,
alkitab tertinggal atau sengaja kutinggal di meja tamu, tak ada masalah. Bahkan
satu dua kali kiriman uang telat dan bayar kost jadi telat, eh malah
“diputihkan”. Terutama yang paling kusyukuri adalah, banyak kesempatan leluasa
bercerita tentang kisah alkitab/Tuhan Yesus pada anak dan juga ibu mertua
pemilik kost.
So,
pertanyaannya, kawan: gonggongan
iblis seperti apa yang sedang kamu hadapi saat ini, yang membuatmu tergoda atau
ketakutan? Teror terhadap gerejamukah? Ejekan atau ancaman terkait kejujuranmukah? Terkait integritas
seksualmukah? Terkait etos kerja atau etos kuliah? Atau etos pelayanan? Mari diriku
dan dirimu jangan terintimidasi, jangan lari. Ingat, tamu-tamuku itu terluka
karena lari dan terjatuh, bukan karena gigitan anjingku. Dan ingat, anjing
menggonggong itu tidak menggigit. Demikian pula iblis [apalagi iblis], ia sudah
kalah telak 2000 tahun lalu!. Sekeras apapun ia menggonggong, mari tetap teguh
dalam iman, dalam persekutuan dan dalam kesaksian, yang memuliakan Tuhan Yesus,
Raja segala raja, penguasa dunia dan pencipta semesta ini. Maukah kita?
Makassar, 7 Des 2016
Setelah kabar dibubarkannya KKR pak Tong
di Sabuga-Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar