Selingan: perspektif kerja/hidup
Sebuah
riset tentang ketidak-berdayaan yang terbentuk
(learned-helplessness), dari buku Street Children: A Guide to Effective
Ministry by Phyllis Kilbourn):
Seekor
anjing ditempatkan dalam sebuah kerangkeng kecil yang seluruhnya terbuat dari
besi. Lalu sebuah bel dibunyikan
bersamaan dengan listrik dialirkan ke besi kerangkeng untuk mengagetkan si
anjing. Sang anjing sontak menggonggong dan bergerak tak terkendali, berusaha
keluar dari kerangkeng, namun justru kesakitan dan stress karena aliran listrik.
Setelah beberapa kali prosedur ini dilakukan, peneliti menemukan sebuah pola
baru: sekarang jika bel dibunyikan, si
anjing memilih untuk meringkuk atau merebahkan diri. Anjing itu telah belajar
tentang ketidak-berdayaan. Ia yakin tak ada yang bisa dilakukannya selain
menerima / menjalani saja rasa sakit dari aliran listrik itu. Bahkan ketika
atap kerangkeng kecil itu dibuka, lalu bel dibunyikan dan listrik dialirkan,
anjing itu bukannya melompat keluar kerangkeng menuju kemerdekaannya dan
ketenangan hidupnya, ia justru tetap memilih meringkuk dan menerima rasa sakit
tersengat listrik itu.
Kita kerap
melihat sejenis learned-helplessness
ini dialami kawan-kawan kita, yang sekian lama ditekan dan ditindas: dipaksa
tunduk pada pihak yang berkuasa, dipaksa bekerja secara tidak adil dan digaji
kecil, dipaksa terlibat dalam kegiatan yang tidak manusiawi, dipaksa hidup di
jalanan, di daerah kumuh, di lokasi prostitusi dan di kamp pengungsian (tambahan
saya: atau di gereja/lembaga
pelayanan yang cenderung gemar menggunakan slogan rohani yang manipulatif-eksploitatif).
Bahkan ketika diberi kesempatan maupun keberanian/kekuatan untuk membuat
keputusan keluar dari kondisi-kondisi seperti itu, bahkan diberi kekuatan untuk melawan para
penindas mereka, kebanyakan dari mereka justru tetap memilih tunduk terhadap
rasa sakit yang ditimpakan atas diri mereka.
Inilah
fakta yang terjadi dalam dunia di mana uang dan kekuasaan dianggap segalanya,
diberhalakan sedemikian rupa. Wajar bila hasilnya adalah: ketundukan pasif,
kepasrahan negatif pada pihak-pihak yang memegang uang dan/ kekuasaan. Itulah
yang disebut ketidak-berdayaan yang
terlatih (learned-helplessness),
sikap yang meyakini: “Tak ada yang bisa
kulakukan selain pasrah saja.” Dan itu bukan ketundukan yang dimaksud alkitab.
Itu justru sikap menolak tanggung-jawab atas hidup kita sendiri, karena
membiarkan pihak lain atau situasi yang memutuskan apa yang kita alami dan kita
rasakan. Lebih buruk lagi, itu bisa jadi sikap abai terhadap nilai keadilan dan
kebenaran Tuhan, sikap yang menciderai shalom Tuhan. Sesungguhnya ada banyak
yang bisa dilakukan dalam situasi-kondisi atau tempat seperti itu. Ya, banyak
cara untuk “melawan,” tanpa perlu melibatkan kekerasan atau kejahatan.
So, mau bertahan di tempat kerja atau situasi
atau kondisi-kondisi semacam itu? Boleh saja, asal pastikan bahwa Anda tidak
sedang menghayati learned-helplessness,
melainkan sedang taat pada panggilan Tuhan! Dan pastikan Anda yakin tidak salah
membedakannyaJ GBU all.
Jakarta, 22 Nopember 2012
Idenya kudapat setelah membaca berita
demo buruh besar-besaran hari ini