(Dari jurnal
harian semasa praktek pelayanan)
Pengalaman
pertama di ladang praktek ini memberiku cukup alasan untuk waspada. Baru tiga
minggu di sini, kudapati “lantai gereja begitu licin.” Kupakai ungkapan ini untuk
gambarkan atmosfir atau situasi pelayanan yang ternyata sangat berpotensi
gelincirkan visi maupun motivasi kami, menjungkalkan ikrar suci yang kami
junjung tinggi. Tanpa sadar, tekad kami melayani bisa pudar, berubah jadi
semangat dilayani; kerendahan hati dan jiwa menghamba bisa bergeser, jadi
arogansi dan perilaku tuan besar.
Memang
benar, gembala sidang yang sedang studi lanjut dan sering keluar kota itu limpahiku
banyak tugas. Memang benar, semua orang di gereja ini seolah atasanku, merasa berhak
meminta waktu dan tenagaku, mulai dari ketua majelis hingga koster. Memang
benar, terkadang aku merasa dieksploitasi, diperah seperti sapi, tapi semua itu
tak membuatku menyerah dan pergi. Mengapa? Karena realitas seperti itu hanyalah
salah satu sisi mata uang. Sisi lainnya adalah beragam kemuliaan yang
disediakan bagiku, berbagai perlakuan yang melenakan, yang membuatku harus
simpulkan bahwa “lantai gereja itu ternyata sangat licin.”
Betapa
tidak, gereja
sering tempatkan kami “di depan.” Kami didaulat bicara di mimbar (sampaikan
Firman, pimpin doa, mengajar), umumnya diberi fasilitas nyaman, dan kerap
dijamu makan, bahkan diminta nasehat atas berbagai masalah kehidupan. Posisi
“di depan” seperti ini jelas posisi seorang bintang, pusat perhatian. “Daging”
siapa yang tak senang?! Wajar bila cepat atau lambat kami tergelincir. Semula
rindu wartakan Sabda Ilahi, kini mengharap kagum dan puji. Mimbar itu awalnya medan
bhakti, perlahan jadi etalase prestasi rohani. Ah, seharusnya kami, bocah-bocah
teolog ini, tempatnya di belakang, sebagaimana seharusnya tempat para pelayan
beraksi.
Tapi setelah kurenungkan, ada
dua faktor bawaan dalam diri kami sendiri
yang juga berpotensi gelincirkan kami: yang pertama adalah status unik kami, Hamba
Tuhan. Status itu umumkan peran ganda kami: sebagai pemimpin
dan pelayan. Tak mudah menjaga keseimbangan dalam menghidupi peran ganda ini. Kami
bangga jadi pelayan Allah, tapi ada saat-saat kami tak rela menjadi pelayan sesama
(jemaat). Sebutan “Hamba Tuhan” kami pegang erat seringkali bukan dalam
konteks menjaga semangat melayani, melainkan untuk menegaskan pada
jemaat betapa tinggi dan mulia status kami. Apalagi, meski ada
yang perlakukan kami seperti hamba (pelayan), masih banyak jemaat yang pandang
kami para rohaniwan ini seperti Tuhan!
Yang kedua, modal yang dibekalkan
pada kami. Kami
dipersenjatai dengan ilmu teologi, psikologi, dan skill organisasi, dan diberi gelar sarjana Teologi. Kami hayati itu
sebagai anugrah dari Dia yang memanggil dan mengutus kami. Tapi itu pula yang
bikin kami gagah sekaligus mudah lupa diri, merasa diri orang penting. Kami
para doulos (pelayan) ini (tanpa
sadar) berangkat dengan dada membusung tegak, dengan mental bangsawan rohani
yang berharap dihormati.
Dalam
hening malam ini kucecar kesadaranku dengan pertanyaan-pertanyaan introspeksi
ini: spirit apa yang mendikte tiap langkahku di jalan yang kusebut “jalan
persembahan” ini? Spirit mencari kemudahan, atau pikul salib? Membangun
kerajaanNya, atau membangun masa depanku sendiri? Lebih tegas lagi, apakah aku
ini seorang loyalis pada panggilanku, siap mati di jalan salib, jalan
persembahan ini, atau aku ini cuma seorang oportunis yang sekedar ingin
bertahan hidup dengan cara mengambil keuntungan dari berita salib??
Pengabdian
kaum profesi, orang-orang upahan dunia itu, pada negara, pada tuan-tuan mereka
di bumi ini begitu maksimal (mis. tentara, guru, jaksa, pilot, satpam, dll.) seringkali
nampak total. Banyak di antara mereka menghayati profesinya sebagai panggilan
Allah, rela menyambut berbagai resiko pekerjaan (dan banyak yang benar-benar
mati) demi tugas. Ironisnya, di ladang pelayanan ini tak jarang kujumpa
hamba-hamba Tuhan yang hindari resiko-resiko dari panggilannya. Mereka (atau
kami, termasuk aku), suka main aman, tidak lugas britakan kebenaran, tidak
tegas menegur ketidak-kudusan, enggan peragakan kasih Tuhan pada domba-domba
secara maksimal. Mereka, kami, terus mencoba memilih salib yang lebih ringan,
selalu berupaya perlebar “jalan yang sempit
namun menuju kehidupan” ini; maunya hindari Kalvari, tempuh jalan pintas
menuju gerbang kemuliaan sorgawi. O betapa malunya..
Ya TUHAN, Tuan kami,
bebaskan kami dari idealisme pelayanan yang semu, sekedar teori. Di tengah
licinnya lantai gereja ini, biarlah ladang praktek maupun ladang pelayanan justru
menjadi pengalaman yang merendahkan hati, ajang pemurnian tekad menghamba, mengabdi
umat-MU seumur hidup kami. Agar dampak pelayanan rohani mampu tembusi tembok
gereja, tatkala jemaat benar-benar alami kasihMU melalui totalitas pelayanan
kami dan termotivasi wujud-nyatakan kasih, kebenaran dan keadilan, shalom Allah
itu, ke dalam berbagai situasi pergumulan komunitas, kota dan bangsa kami.
Temanggung,
Rabu, 9 Juni 2004, 22.11 WIB
Service
is is an act (willing & doing) not according to his own purposes or plans
but according to the purpose, need, disposition, and direction of others. The
doer is not concerned about his own glory but about the glory of the other...
(Karl
Barth)
Lihat, seperti mata para hamba laki-laki memandang
kepada tangan tuannya, seperti mata hamba perempuan memandang kepada tangan
nyonyanya, demikianlah mata kita memandang kepada TUHAN, Allah kita, sampai Ia
mengasihani kita
(Mazmur 123:2)