Nelson Mandela nama
populernya. Setelah berbulan TV dan koran memberitakan kondisi kritisnya di RS,
subuh tadi pemimpin Afrika Selatan 3 dekade ini akhirnya berpulang jua (94th). Sudah
pasti negara Afrika Selatan bersedih, walau seluruh rakyatnya sudah mempersiapkan
hati untuk kehilangan sosok yang mereka anggap pahlawan ini. Barak Obama,
menyebutnya sebagai pahlawan dunia. Warisannya tidak akan dilupakan dunia. Apa
yang diwariskan bapak ini? Salah satunya adalah: teladan pengampunan. Berkat teladan pengampunan bapak ini, dunia modern
kita hari ini punya alasan dan punya bukti untuk percaya betapa dahsyatnya
kekuatan pengampunan itu.
Ijinkan
saya merangkum kisah hidupnya. Beliau lahir dan besar di saat negaranya
diperintah oleh kaum minoritas kulit putih. Rezim kulit putih ini menerapkan
politik apartheid, yakni kebijakan politik yang menindas hak-hak asasi warga
kulit hitam yang jumlahnya mayoritas itu. Polisi atau warga kulit putih bisa seenaknya
menganiaya, menyiksa bahkan membunuh warga kulit hitam. Mandela muda giat memperjuangkan
persamaan hak bagi warga kulit hitam. Akibatnya, beliau kerap dijebloskan dalam
penjara dan menjalani kerja paksa di sana, total selama 27th!
Th
94 angin politik berubah. PBB berhasil menekan pemerintah kulit putih di Afrika
Selatan untuk menegakkan HAM dan memulihkan hak-hak warga kulit hitam. Mandelapun
akhirnya bebas, dan segera didaulat oleh rakyat sebagai pemimpin politik
mereka. Situasi politik Afrika Selatan saat itu memanas, warga kulit hitam yang
puluhan tahun ditindas dengan kejam itu sudah siap melampiaskan balas dendam
terhadap warga kulit putih, bahkan aksi penjarahan sudah mulai terjadi. Apa
yang dilakukan bapak ini?
Mandela
justru mengajak Presiden FW De Klerk yang memenjarakannya selama 27th itu untuk
bersama meredakan situasi bangsa yang di ambang kerusuhan. Maka dua pemimpin
ini, dengan disaksikan seluruh rakyat dan dunia, menanda-tangani perjanjian
damai. Mandela menghimbau presiden kulit
putih itu mengadakan Pemilu secara demokratis, dan Mandela menjanjikan
perlindungan terhadap warga kulit putih yang kini tidak sekuat dulu posisinya.
Di depan rakyat, Mandela menyatakan bahwa ia mengampuni orang yang memenjarakannya
selama 27th itu, dan kepada rakyat kulit hitam ia menyerukan untuk mengampuni
seluruh warga kulit putih yang menindas mereka di masa lalu.
Tentu
ini bukan hal yang mudah, banyak yang menolak bahkan jadi membenci Mandela
karena mengampuni warga kulit putih, namun akhirnya Mandela berhasil meyakinkan
rakyat kulit hitam untuk mengawali era
kebebasan mereka bukan dengan aksi balas dendam, melainkan dengan pengampunan. Pesan
yang diserukan Mandela kepada rakyat kulit hitam, dan juga kepada dunia, adalah
bahwa pengampunan, forgiveness, itu
jauh lebih luhur dan lebih kuat dari kebencian dan balas dendam.
Singkat
cerita, setahun kemudian Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama
negara itu. Dunia juga menganugerahi Mandela dengan hadiah Nobel Perdamaian,
karena menghindarkan negaranya dari pertumpahan darah. Hari ini Afrika Selatan
menjadi bangsa yang maju, warga kulit hitam dan putih hidup rukun dan damai. Dunia
terinspirasi, dunia kembali percaya, bahwa pengampunan itu besar kekuatannya,
dahsyat dampak positifnya.
Salah
satu kalimat yang menyentuh hati rakyat kulit hitam sehingga mereka mau
mengampuni adalah ucapan Mandela yang satu ini: “Saat saya melangkah keluar melalui pintu penjara menuju kebebasan saya,
saya tahu bahwa jika saya tidak meninggalkan semua kemarahan, kebencian dan
kepahitan itu di penjara ini, maka sama saja saya masih tetap dalam penjara!”
Mandela mengingatkan warga kulit hitam, bahwa jika mereka memulai era baru, era
kebebasan mereka itu dengan balas dendam, maka hati-jiwa mereka tidak akan
benar-benar merasa bebas, melainkan akan terus terpenjara, tidak akan mengalami
bahagia.
Kalimat
Mandela di atas sesungguhnya bukan produk gagasan abad ini. 2000-an tahun lalu
Tuhan Yesus sudah menyerukan kebenaran yang sama. Dalam perumpamaan di Matius 18:21-35 kita membaca seorang hamba
yang jahat yang diampuni Raja namun batal bebas alias kembali masuk penjara
karena sikapnya yang tidak mau mengampuni temannya yang berhutang sedikit
kepadanya. Inti pesan Yesus di situ bukanlah bahwa kita itu harus menelan semua
kekecewaan dan kemarahan kita, lalu mengampuni dan melupakan seolah-olah tidak
terjadi apa-apa sama sekali.
Pesan
perumpamaan Yesus itu adalah : bahwa kita
tidak boleh berhenti menjadikan pengampunan dan rekonsiliasi itu sebagai
sasaran kita tiap kali terjadi konflik. Jika pertengkaran atau konflik harus terjadi,
kita harus menghadapinya dengan semangat pengampunan, bukan balas dendam.
Ayat terakhir dalam
perumpamaan itu amat penting digaris-bawahi:(ay 35) “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan
berbuat demikian juga terhadap kamu (maksudnya tidak mengampuni), apabila kamu
masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Allah tidak akan mengampuni?? Tunggu dulu, ...Allah di
sorga tidak akan mengampuni?? Benarkah??? Betulkah Sang Maha Pengampun itu tidak
bisa mengampuni manusia yang tidak mengampuni sesamanya? Saya yakin jawabannya: Ia bisa! Ia Allah, pasti bisa. Tapi
sikap tidak pengampun itulah yang membuat seseorang tidak mampu menerima
pengampunan Allah.
Ilustrasinya seperti ini: Pengampunan itu seperti udara dalam paru-paru kita. Kita hanya akan bisa
menghirup udara yang baru jika kita terlebih dulu menghembus kan/ mengeluarkan
udara itu keluar dari paru-paru kita. Kalau kita bersikeras tidak mau
menghembuskan udara yang memenuhi paru-paru kita, yakni bersikeras tidak mau
memberikan pengampunan, maka kita juga tak akan bisa menghirup udara yang baru/
pengampunan yang baru yang kita butuhkan. Secara rohani (dan mental), kita bisa mati lemas, kawan. (Seorang konselor menggambarkan:
orang yang tidak mau mengampuni itu seperti orang yang minum racun tapi
mengharapkan orang lain yang mati).
Begitu jelas, begitu keras. Tapi ini pelajaran yang sulit, kawan. Sulit diterima
akal, sulit terlebih sulit lagi dilakukan, baik buat orang yahudi jaman Yesus,
sulit juga buat kita hari ini. Waktu itu Yesus hidup di tengah masyarakat yang
menghargai balas dendam sebagai tanggung jawab moral dan menganggap pemberian
maaf sebagai tanda kelemahan. Perumpamaan yang diceritakan Yesus itu pasti mengagetkan
banyak orang. Hari inipun kita hidup di tengah dunia, di tengah masyarakat yang
fasih bahasa kebencian dan balas dendam (kemarin saya baca di Kompas.com, ada berita tentang seorang
pemuda di Inggris yang mati ditikam 17x setelah menggoda gadis arab).
Maka, ingin
kuingatkan, kawan, bahwa panggilan
kita adalah menjadi seperti Yesus bagi Israel, yakni mewartakan pengampunan
Allah kepada generasi kita hari ini, khususnya pengampunan yang
dianugrahkan-Nya melalui Yesus, Mesias yang tersalib itu. Seiring panggilan
tersebut, kita juga dipanggil untuk memancarkan citra Allah sejati, yakni
bertumbuh sebagai pribadi yang limpah memberi maaf. Tentu saja, sama seperti
yang dialami Yesus, panggilan ganda ini beresiko menuai penilaian orang banyak
atau pihak-pihak tertentu bahwa kita lemah, bahwa kita menghina keadilan Allah.
Kisah nyata berikut
inipun buah dari teladan Nelson Mandela. Sebelum membacanya, ini ajakan saya:
dibanding memuji-muji Mandela, lebih mendesak adalah menghidupi warisannya, yakni
doakan, peragakan dan perjuangkan pengampunan di konflik apapun yang kita
jumpa, di konflik antar individu terlebih level komunal, bahkan nasional bangsa
kita! Setuju, kawan?? Yang setuju
silahkan lanjut baca kisah nyata ini...
Seorang wanita tua berkulit
hitam sedang berdiri di suatu ruang pengadilan di Afrika Selatan. Umurnya
kira-kira 70, di wajahnya tergores penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun.
Di depannya, di kursi terdakwa, duduk Mr. Van der Broek, orang yang terbukti membunuh
anak laki-laki dan suami wanita itu. Beberapa tahun yang lalu laki-laki itu
datang ke rumah wanita itu. Ia mengambil anaknya, menembaknya dan membakar
tubuhnya. Beberapa tahun kemudian, ia kembali lagi. Ia mengambil suaminya. Dua
tahun wanita itu tidak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Kemudian, van der
Broek kembali lagi dan mengajak wanita itu ke suatu tempat di tepi sungai. Ia
melihat suaminya diikat dan disiksa. Mereka memaksa suaminya berdiri di
tumpukan kayu kering dan menyiramnya dengan bensin. Kata-kata terakhir yang
didengarnya ketika ia disiram bensin adalah, “Bapa, ampunilah mereka.”
Mr. Van den Broek akhirnya
ditangkap dan diadili. Ia dinyatakan bersalah, dan sekarang adalah saatnya
untuk menentukan hukumannya. Hakim bertanya, “Jadi, apa yang Ibu inginkan? Apa
yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang ini yang secara brutal telah
menghabisi keluarga Ibu?”
Wanita itu menjawab,
“Saya menginginkan tiga hal. Pertama,
saya ingin dibawa ke tempat suami saya dibunuh dan saya akan mengumpulkan abunya
untuk menguburkannya secara layak.” Lalu ia melanjutkan: “Suami dan anak saya
adalah satu-satunya keluarga saya. Oleh karena itu permintaan saya kedua
adalah, saya ingin Mr. Van den Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang
dua kali sebulan ke ghetto (perumahan orang kulit hitam) dan melewatkan waktu
sehari bersama saya hingga saya dapat mencurahkan padanya kasih yang masih ada
dalam diri saya.”
“Dan, akhirnya,” ia
berkata, “ yang ketiga, saya ingin
Mr. Van den Broek tahu bahwa saya memberikan maaf bagi dia karena Yesus Kristus
mati untuk mengampuni. Begitu juga dengan permintaan terakhir suami saya. Oleh
karena itu, bolehkah saya dibantu berjalan ke depan hingga saya dapat memeluk Mr.
Van den Broek dan menunjukkan padanya bahwa dia benar-benar telah saya
maafkan.”
Ketika petugas
pengadilan membawa wanita tua itu ke depan, Mr. Van den Broek sangat terharu
dengan apa yang didengarnya, sampai-sampai ia pingsan. Sejenak kemudian, mereka yang berada di
gedung pengadilan – teman, keluarga, dan tetangga – korban penindasan dan
ketidakadilan serupa – berdiri dan bernyanyi "Amazing grace, how sweet the sound that saved a wretch like me. I once
was lost, but now I'm found. 'Twas blind, but now I see.“
Matius 18:21-22
Kemudian
datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku
harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh
kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan
sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
Matius 6:14-15
Karena
jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni
kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak
akan mengampuni kesalahanmu."
Palopo, 12 Juli 2013