Ada
yang menggelitik di kotbah hari ini. Ilustrasi penutup kotbah KU 3 malam ini
sedikit beda dibanding ilutrasi sama yang diceritakan si Pengkotbah di KU 1 dan
2 pagi tadi. Pagi tadi disebut kisah nyata tersebut terjadi di Amerika, tapi malam
ini disebutnya terjadi di Jakarta. Apakah si pengkotbah lupa, atau salah sebut
saja? Kira-kira yang benar terjadi di mana? Mana kutahu, kawan.
Yang
kutahu, dari pengalamanku sendiri maupun dari tukar pikiran dengan beberapa
kawan, ternyata pengkotbah itu bi(a)sa
lakukan kebohongan di mimbar. Tidak mutlak negatif sebenarnya. Itu berangkat
dari naluri positif para pengkotbah untuk membuat kisah lama jadi sesegar
mungkin di telinga jemaatnya, untuk membawa sebuah ilustrasi kehidupan menjadi sedekat
mungkin dengan konteks hidup pendengarnya. Intinya, suatu usaha untuk
memastikan berita kotbahnya seaplikatif mungkin, relevan dan mendarat.
Umumnya
ini “bohong dadakan”, spontan saja, saat kita sudah di mimbar. Idenya lewat
begitu saja. Beberapa varian caranya bisa seperti berikut:
1.
Mendekatkan
realitasnya:
kita memberi kesan bahwa peristiwa yang kita tuturkan itu kisah nyata, padahal
kita tak setahu dan tak seyakin itu sebenarnya.
2.
Mendekatkan Waktunya: Kisah yang kita
dapatkan terjadi beberapa abad lampau, tapi kita putuskan memulai ilustrasinya
dengan: “Beberapa waktu yang lalu,” “Suatu ketika...” Atau, “Pagi tadi saya baca dari Kompas.com,
dst,” (Padahal kita tahu bahwa artikel itu diposting ke Kompas.com setahun yang
lalu).
3.
Mendekatkan tempat
dan lokasinya:
Misal, berkotbah di gereja di Malang, beri ilustrasi seperti ini, “Peristiwa ini terjadi di sebuah kota
pendidikan..., saya tidak sebut Malang ya....” Padahal memang bukan di
Malang, melainkan di kota pendidikan yang lain, tapi teknik ini justru mujarab membuat
jemaat simpulkan TKPnya memang di Malang, sesuai yang pengkotbah harapkan.
Dear preachers, melihat motif atau
naluri seperti ini, maka menurutku ini kesalahan yang sangat bisa dimaklumi, ...namun
tak bisa dianggap remeh. Jika kita tak berbuat sesuatu terhadapnya, kita bisa
menjadi terbiasa, kadar bohong kita dalam kotbah akan meningkat, tahu-tahu kita
jadi semacam tukang obat yang halalkan segala cerita, terbiasa menata fakta
bahkan memanipulasi peristiwa untuk meyakinkan dan mendulang respons dari
pendengar. Tahu-tahu bohong kita yang awalnya berlangsung spontan dan tiba-tiba
jadi bohong terencana, bahkan jadi sebuah kebutuhan. Gawat, kawan!
Menurutku,
selain perlu lebih “sabar dan tekun” mencari ilustrasi yang sesegar mungkin, salah
satu cara penting untuk meminimalkan kesempatan berdusta dalam kotbah adalah
dengan berkomitmen untuk berkotbah dengan waktu singkat saja, atau secukupnya
saja, alias tidak berpanjang ria. Bagaimana
menurut Anda?
Malang, 11 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar