Sisipan: Refeksi
Akhir Pekan
Ini
malam terakhir kami di Jakarta (Tangerang tepatnya). Satu tahun empat bulan
kami di kota ini, di rumah ini. Besok pagi kakak ipar antar kami ke bandara. Ini
sudah hampir jam 11, Hui belum tidur, seolah ikut merasakan apa yang papa
mamanya rasakan. Teringat kemarin baca status Facebook teman, dia crita tak
bisa tidur di malam sebelum esoknya ke luar negri pertama kali. Senang-senang cemas
gitulah. Itu juga kurang lebih yang kurasakan saat ini, walau ini kali kedua
kami pindah kota lagi, pindah pelayanan lagi (sejak 15 tahun lalu kuputuskan
menjadi rohaniwan). Rasanya tetap seperti baru pertama kali. Senang-senang
cemas.
Keluaran
12:37-42; 13:20-22 yang kubaca malam ini kisahkan Israel yang berangkat meninggalkan Mesir (setelah di pasal-pasal
sebelumnya dicatat 10 tulah, hingga Firaun beri ijin mereka pergi. Di pasal 12
dicatat persiapan-persiapan (seperti kesibukan kami seminggu ini, berteman
kardus dan lakban), lalu malam ini adalah hari-hari keberangkatan: dari
Raamses, ke Sukot, kemudian ke Etam, lalu menuju...Kanaan! (Besok kami ke
Makassar, 10 hari kemudian menuju Palopo).
Aku
terhanyut dalam lamunan: Gimana perasaan bangsa Israel malam itu ya? Ini bukan
keberangkatan biasa. Ratusan tahun mereka di negri orang (430
thn, tempat asing yang sangat mungkin sudah terasa seperti hometown, home-country), sekarang harus pergi ke tempat baru yang belum pernah ada di antara mereka
yang ke sana. Sebuah perubahan drastis
tentunya: tempat-tempat baru, orang-orang baru, situasi-situasi baru. Kurasa
wajar bila mereka merasa galau, bahkan mungkin cemas, meski keberangkatan ini
juga sudah lama mereka rindukan. (sebuah buku berpendapat: tempat yang sulitpun bisa menjadi zona nyaman, sehingga gagasan untuk pindahpun kerap disambut dengan enggan). Pasti banyak “what if” di benak mereka. “Gimana
kalau...,” “Bagaimana jika...”
“Berangkat”
kami besok pagipun bukan jenis berangkat yang akan sering kualami dalam hidup (beda
dengan berangkat kerja, ke pasar atau kuliah setiap hari). Apalagi bagiku ini “keberangkatan
ganda.” Secara fisik aku meninggalkan satu kota menuju kota lain, namun secara
mental inipun momen ‘keberangkatanku’ meninggalkan lembaga dan dunia pelayanan
yang telah 20 tahunan lalu kugeluti (sejak mahasiswa). Wajar galauku tak mudah
kutepis. Dan jelas banyak “what if” juga di benakku. Bersyukur aku membaca
kisah keberangkatan Israel ini, khususnya mendapati peran dan janji Tuhan dalam
situasi keberangkatan Israel ini:
Di
Keluaran 12:42 jelas digaris-bawahi, bahwa TUHANlah yang membawa mereka keluar
dari tanah Mesir. Dicatat malam ini adalah “malam berjaga-jaga” bagi Tuhan. Ini
sikap yang penuh keseriusan, persiapan dan kecermatan. Tuhan membebaskan mereka
dari belenggu penindasan Mesir. Maka kuhayati dan kuimani, Tuhanlah yang
membawaku sekeluarga dari satu kota ke kota lain, dari satu pelayanan ke
palayanan lain, termasuk keberangkatan kami besok pagi. Malam itupun “malam
berjaga-jaga’ bagi Israel, momentum untuk bersiap, momen untuk bersikap rela
dan taat, untuk bersyukur berbalut komitmen-komitmen kepada Tuhan, bahkan momen
untuk dikenang dan dirayakan turun-temurun. Ya, malam itu menjadi kenangan
eksklusif bangsa yahudi. Hanya keturunan merekalah yang berhak mengenang dan
merayakannya, sebagaimana hanya orang Indonesia juga yang berhak mengenang dan
merayakan momen 17 Agustus 1945 itu. Keberangkatan kami besok jelas akan jadi
kenangan eksklusif kami sekeluarga.
Di
pasal 13:21-22 dicatat “Tuhan berjalan di depan mereka,” baik siang maupun
malam, dalam wujud tiang awan dan tiang api. Ini bukan kompas dan pelita biasa.
Allah sendiri yang menuntun dan memimpin mereka! Betapa melegakannya buat
mereka waktu itu, kuyakin meredakan galau dan cemas di hati mereka secara
signifikan. Kuyakin pula pengalaman Israel ini akan menjadi bagian dari
pengalaman kami. Membayangkan “Tuhan berjalan di depan,” awan Shekinah di PL
itu, dan Immanuel di PB itu, Sang Kristus itu sendiri yang menuntun memimpin
kami....ah, sungguh menentramkan (meskipun, seperti yang lalu-lalu, jalan yang
terbentang di depan juga tetap akan menjumpakan kami dengan lubang-lubang
bahayanya, tikungan dan persimpangan yang menyediakan pilihan yang menyesatkan
pula).
Dalam
peristiwa ini bangsa Israel disebut “pasukan Tuhan keluar dari Mesir.” Maka satu
doa terucap di hati ini: “Jangan biarkan
hati kami menyimpang ke kanan dan ke kiri, Tuhan. Sanggupkan kami berangkat dan
melangkah ke depan semata sebagai prajuritMU, atau duta-dutaMU, hamba-hambaMU. Amin”
Tangerang,
15 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar