Sisipan, Refleksi:
Maksudku bukan sembarang takut. Bukan takut yang sebentar (itu kaget namanya), tapi takut yang cukup lama.
Misal, satu dua jam di dalam penerbangan di mana perintah kenakan seat-belt
diumumkan berulang kali, atau satu-dua hari saat
menanti hasil general check-up
kesehatan kita. Tak harus takut akan kematian (tapi yang satu ini memang paling
efektif dan paling positif), bisa juga takut kehilangan hal-hal atau orang-orang yang paling berharga
dalam hidup ini. Mengapa positif?
Karena di saat-saat takut seperti itulah aku cenderung
memikirkan yang baik-baik: niat untuk menjadi suami-papa yang lebih baik, tekad
untuk menjadi pribadi yang lebih memberkati, dll. Juga cenderung membayangkan
yang indah-indah: wajah-wajah manis dan lucu anak-anakku, momen-momen ketika
aku berhasil bersikap jujur, berhasil memilih kesucian, dll. Juga cenderung
untuk sesali hal-hal buruk yang pernah terjadi: saat gagal mengampuni, gagal
berbelas-kasih, gagal memberi-berbagi, atau gagal berbicara
lembut pada istri.
Di
saat takut seperti itulah aku termotivasi untuk mendoakan yang terbaik bagi
diriku, terlebih bagi orang lain melalui diriku. Di saat takut seperti itulah
aku tersadarkan kembali my nothingness
dan God’s greatness; dan tergugah
ketulusan hatiku untuk desahkan doa-doa: …forgive me, …have mercy on me… make me a
blessings. Saat-saat takut seperti itu membangkitkan sikap berjaga-jaga
dalam hidup, membangunkan kesadaran bahwa hidup itu terlalu berharga, layak
untuk dijalani dengan sikap hati-hati.
So, meski mustahil dinikmati, minimal janganlah benci atau sangkali ketakutan
yang satu ini, kawan. Mari belajar berkawan dengannya. Tak harus pula kita
akrabi, tapi minimal jangan anggap dia musuh. Karena sesungguhnya dia itu
kawan. Hadirnya memang membuat kita tidak nyaman, tapi dampak kehadirannya itu
baik, positif. Bukankah seperti inilah ciri sahabat sejati??!
Barangkali ini sekedar pandangan subyektifku sendiri.
Tapi coba pikir, Tuhan mendesain kita lengkap dengan ’perasaan takut.” Tentu
bukan tanpa tujuan donk?! Tentu bukan tanpa manfaat, bukan?!! Menurutku Allah
juga sertakan ”rasa takut” itu sebagai salah satu sarana atau cara, atau setidaknya
pemicu, pengkondisi bagi kita untuk bertransformasi menjadi insan yang makin
sesuai dengan kehendak Pencipta kita.
Kurasa ketakutan yang semacam ini tak bertentangan dengan
banyaknya perintah ”Jangan takut!” dalam alkitab kita, karena maksud perintah
itu sebenarnya adalah: ”Jangan biarkan diri kita didikte atau dipimpin oleh
ketakutan-ketakutan kita. Dan, lagi-lagi
menurutku, kesalahan terbesar bukanlah ”merasa takut,” melainkan justru sikap menyangkali ketakutan itu, dan tidak
memanfaatkannya untuk matangkan iman kita, maupun untuk mendorong perbaikan
karakter kita.
Jadi, naik pesawat itu takutku, kawan. Mana takutmu?!
Kejadian 28:16-19
Ketika Yakub bangun dari tidurnya, berkatalah ia: "Sesungguhnya TUHAN
ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya." Ia takut
dan berkata: "Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah
Allah, ini pintu gerbang sorga." Keesokan harinya pagi-pagi Yakub
mengambil batu yang dipakainya sebagai alas kepala dan mendirikan itu menjadi
tugu dan menuang minyak ke atasnya. Ia menamai tempat itu Betel; dahulu nama
kota itu Lus.
Lion Air JT 0370, 16
Februari 2013
Cuaca buruk,
Jakarta-Makassar
”Dear passangers, we are now flying in
turbulence situation.”
1 komentar:
Akhirnya diingatkan lagi tentang segala macam ketakutan, penantian dan hasilnya :)
terima kasih kak - sdg melewati masa - masa takut itu :p
Posting Komentar