Sisipan,
Refleksi:
Pindah
pelayanan. Packing hari-hari ini. Kembali ‘roh tega’ diuji. Tega sortir, buang
sebanyak mungkin. Banyak barang yang lolos
melewati beberapa pindahan (kontrakan) sebelumnya kali ini terpaksa kena
giliran. Pindahan terakhir buku 4 kardus direlakan, kali ini 2 kardus lagi jadi
kenangan. Setumpuk surat dan kartu-kartu
ucapan dari sahabat dan rekan pelayanan selama kuliah di seminari. Paling
berat adalah kombinasi kartu ucapan dan foto. Sebuah salib berat buat seorang sanguin
melankolik sepertiku ini.
Kubaca-baca
singkat sebelum sisihkan ke plastik sampah. Tersadar lagi betapa hidup di
asrama seminari itu diwarnai banyak kartu: Met
Natal, Met Paskah, Met Ultah, Happy Preaching, Get Well Soon, Met Ujian, Met
Pelayanan Week-End, Met Liburan, dan tak ketinggalan: Met ATM (Met Pacaran)!
Kurasa tak bisa dikategorikan sebagai budaya basa-basi, karena tak jarang
kartu-kartu itu dibuat-didekor sangat spesial, disertai ungkapan-ungkapan
personal, doa-doa dan harapan, ekspresi sebuah relasi mendalam dari sahabat dan
rekan sepanggilan, bahkan bertebaran kalimat-kalimat pengakuan bahwa diri kami
dan kehadiran tiap kami di asrama sebagai kakak/adik, Bro & Sist in Christ, a good companion, bahkan sebagai teladan
satu sama lain. Kebutuhan kami akan rasa aman, kasih dan penerimaan benar-benar
terpenuhi oleh kebersamaan di kampus.
Kini
6 tahun telah berlalu. Sayangnya, kusadari, kedekatan dan kedalaman relasi seperti itu sudah jarang atau tak terjadi lagi di ladang. Pola
berkawan/ berelasi helping, giving dan caring itu seolah sekedar kenangan.
Sebagai alumni kami tak bisa sedekat yang kami harap. Teman semasta, se-pos SM, sekamar...tak
lagi akrab...walau ada HP, email, FB, Instagram...walau ada WA Group Alumni. Bahkan walau ada
sapaan dan percakapan dalam semua media sosial itu, tetap terasa ‘jauh,’ terasa
dangkal. Ah, semoga itu murni karena
kesibukan melayani jemaat dan bukan karena terjebak dalam keegoisan dan
ketidak-pedulian lantaran sibuk pikirkan kenyamanan ataupun penderitaan diri
sendiri, kemiskinan ataupun kesejahteraan diri sendiri.
Sesungguhnya,
berdasar pengalaman, aku yakin justru di ladang pelayananlah kita lebih butuh
dukungan semangat maupun teguran, lebih butuh perhatian dan doa-doa dari rekan
sepanggilan. Itu pasti, karena justru di ladanglah terasa gencar bahaya maupun
godaan yang siap hentikan langkah kita di jalan persembahan hidup yang telah
sama-sama kita komitmenkan pada Tuhan. Aku sadar kalau akupun bagian dari
fenomena “saling cuek” ini, padahal tiap kali membaca kartu-kartu itu aku
terharu, I miss that moment, I miss
those faces... Lalu tiba-tiba kusadari, komunitas seperti itu bukan cuma
untuk dikenang, tapi juga untuk diciptakan, dilahirkan kembali, khususnya di
kalangan / di antara para Hamba Tuhan.
Alasannya
praktis sekaligus strategis. Pertama,
jarang atau hampir tak pernah kudengar kisah seorang hamba Tuhan memiliki rekan
sharing/penghibur/yoke fellow atau sunsugos dari kalangan majelis atau dari anggota jemaatnya. Jadi
sesungguhnya he/she desperately needs one from his/her colleaque
(terutama dari rekan seangkatan). Kedua,
tanpa rekan penolong yang bisa saling mementori, iapun akan tidak terasah atau
tidak terlatih, baik secara skill maupun empatinya untuk
menggembalakan/mementori jemaatnya secara pribadi. Kalaupun bisa, itu akan
sekedar berdasar buku, melulu bagikan teori. Tetep bisa jadi berkat buat jemaat
sih, tapi hatinya sendiri akan kerap dilanda sepi, rindukan mentor pribadi, sekaligus sahabat sejati.
Tangerang, Feb 2013,
Jelang pindah pelayanan (lagi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar