Kita sudah hafal
kisahnya, paham kronologisnya; Malaikat persiapkan para pemerannya: Zakaria dan
Elisabeth, Yusuf dan Maria, para gembala, para majus, Simeon, Hanna, serta
figuran lainnya. Dan, terjadilah, di malam yang sunyi itu, silent night itu,
terlahir di kandang sederhana, terbungkus lampin di palungannya, Allah menjadi
manusia, penuhi janji dan nubuatan dahulu kala.
Satu peristiwa yang tak
pernah terbayangkan manusia sebelumnya, dan masih banyak manusia yang gagal
percaya setelah mendengar kisahnya. Wajar. Karena dongeng, legenda tentang
dewa-dewa menyamar jadi manusia itu jamak kisahnya, kita familiar pula dengan
cerita superman, superhero dari planet lain yang sehari-hari menyamar jadi
manusia biasa. Itu peristiwa incognito,
avatar. Sang dewa/ superhero “menyamar”
sebagai manusia biasa, mencicipi sebagian pengalaman manusia (relatif terlindungi
dengan baik dari pengalaman derita manusia), dan hanya untuk sementara.
Inkarnasi beda. Allah yang tiada bandingnya
itu sungguh-sungguh menjadi manusia. Lahir dari rahim manusia, dibesarkan dalam
keluarga dan masyarakat manusia, 30an tahun hidup di dalam dunia. Kecuali
berbuat dosa, Ia alami semua pengalaman manusia (hingga derita terburuknya: penolakan,
kebencian, kekerasan dan kematian!). Setelah bangkit Ia bahkan membawa serta
kemanusiaannya itu ke sorga kekalNya.
Jadi natal, moment
kelahiranNya di dunia, itu peristiwa akbar tiada tara. Wajar bila dikenang, disyukuri
dan dirayakan setiap tahunnya; dengan kegembiraan, kemeriahan, dengan kelap
kelip lampu dan lilin-lilin menyala di rumah, di rumah ibadah, bahkan di pusat
perbelanjaan dan di ruang publik lainnya. Sangat wajar.
Tapi kawan, apakah natal itu hanyalah sebuah
peristiwa dua ribuan tahun lalu yang kini menjadi peristiwa di setiap akhir
tahun saja? Saya berbaik sangka, percaya kita sepakat menjawabnya: Tidak. Maka,
uraian sederhana berikut ini kuniatkan sekedar mengartikulasikan apa yang kita
sepakati bersama:
Nubuat
& konteks kelahiranNYA
Nabi Yesaya salah satunya, telah
lama mengumumkannya: Pasal 60:1 Bangkitlah,
menjadi teranglah, sebab terangmu
datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. 60:2 Sebab sesungguhnya, kegelapan
menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan
kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu. Ini adalah ayat-ayat Mesianik, menubuatkan kedatangan Mesias, Sang
Pembebas, juru selamat bangsa Israel. Nabi Yesaya memakai Metafora “Terang”:
“Hai Israel, Terangmu sudah datang; Seperti matahari terbit, keselamatan telah
terbit atasmu.”
Bagi banyak orang di jaman kita yang tidur malamnya relatif terasa nyaman
dan aman, berita bahwa esok pagi matahari akan terbit tentu tidak terasa
istimewa. Tetapi di sini nabi Yesaya sedang berbicara kepada orang-orang yang
mengalami malam-malam panjang yang tidak hanya gelap tetapi juga kelam, penuh
kepahitan dan tidak punya harapan.
Ayat-ayat sebelumnya, yakni pasal 59:9-15 memotret situasi-kondisi bangsa
Israel yang gelap, baik akibat selingkuh dengan berhala, juga akibat penjajahan
bangsa asing maupun penindasan rezim penguasa, raja mereka sendiri, termasuk
akibat kejahatan di antara rakyat sendiri: di Yes 59:13 disebutkan terjadi
pemerasan dan penyelewengan kekuasaan secara masiv; Ay 14-nya sebutkan “hukum
terdesak ke belakang, keadilan berdiri jauh2; kebenaran telah hilang; bahkan ay
15 contohkan: Jika ada orang yang tulus dan baik, orang baik itu justru menjadi
korban kejahatan. Di ay 9 mereka berseru: “Kami menanti-nantikan terang,
cahaya; kami meraba-raba seperti orang buta.”
Jadi ketika mereka mendengar nabi Yesaya berseru, “Terangmu, keselamatanmu
sudah datang!” Wow, itu pasti sesuatu banget. Bagi telinga yahudi, frase “Terang
yang datang” itu pasti segera mengingatkan mereka pada satu sosok, satu tokoh
yang telah lama mereka nantikan kedatangannya, yakni: Mesias, Raja yang
dijanjikan Tuhan, yang akan membebaskan mereka dari para musuh Israel, dan akan
memerintah sebaik bahkan lebih baik dari Daud, raja mereka yang terbesar. Pemerintahan
Raja Mesias itu akan menegakkan kebenaran, keadilan dan shalom (Yes 9:1-6).
Semua itu adalah nilai-nilai, kondisi-kondisi yang mereka impikan, sangat mereka
nantikan.
Panggilan & Pengutusan kita
Tapi perhatikan pasal 60:2 itu: kabar baik nubuatan Yesaya ini juga
mengandung sebuah perintah: Ternyata, tidak cukup mereka itu hanya menyambut
terang itu, mereka juga harus melakukan sesuatu, yakni... “Bangkitlah, menjadi teranglah...” Artinya, umat pilihan Allah ini
juga harus menjadi terang; harus turut memancarkan terang.
Mengapa? Karena di ay 2 nabi Yesaya sebutkan bahwa ternyata
kegelapan itu tidak hanya meliputi bangsa Israel, melainkan bangsa-bangsa lain
juga, bahkan semua bangsa. Jadi kegelapan ini bersifat global, total. Ini
adalah gambaran dari dosa yang telah menggerogoti seluruh umat manusia, tanpa
kecuali; merusak seluruh aspek kemanusiaan kita, tanpa sisa.
Dalam situasi dunia yang gelap karena dosa seperti inilah nabi Yesaya
mengabarkan: “Terang itu sudah datang!” Artinya, Allah tidak menawarkan Terang
itu dari sorga yang jauh lalu mengundang manusia untuk berjuang menjangkaunya. “Terang
itu sudah datang” artinya adalah, Allah memilih/ memutuskan untuk turun,
menerobos, menembus batas pemisah antara diriNya [yang adalah Terang] dengan
manusia yang hidup dalam kegelapan.
Ini benar-benar sebuah keputusan penuh kasih, yang Allah buktikan lewat
natal, melalui kelahiran bayi kecil bernama Yesus, Immanuel itu; bayi yang
kelak ketika beranjak dewasa, lewat ajaranNya, teladan gaya hidupNya, &
terutama lewat kematianNya di kayu salib itu telah menunjukkan bahwa Ia bukan
hanya Terang bagi bangsa Israel saja, melainkan juga bagi segala bangsa. Ia
bukan hanya pembebas bangsa Israel dari belenggu Kaisar Romawi & Herodes,
melainkan juga dari belenggu dosa. Bayi natal ini adalah Juru Selamat dunia!
Karena itulah seluruh dunia, segala bangsa, butuh Terang itu, butuh keselamatan
itu.
Itulah sebabnya, nubuat/kabar baik dari nabi Yesaya ini disertai amanat,
perintah: “Bangkitlah, menjadi teranglah.” Bangsa pilihan Allah ini tidak boleh
berhenti hanya sebagai penerima Terang. Ia harus juga menjadi pemantul, memancarkan
Terang itu kepada seluruh bangsa yang hidup dalam kegelapan.
Ada banyak orang yang belum melihat Terang itu (Yoh 3:19-26), karena
dibutakan oleh kegelapan dunia ini; ada banyak orang yang tidak ingin melihat
Terang itu (Yoh 1:10-11). Orang-orang itu seperti raja Herodes & kaisar
Roma, yang penuh iri dan ketamakan, yang begitu gila kekuasaan sampai halalkan
segala cara untuk mendapatnya, mempertahankannya. Orang-orang seperti itu tidak
ingin melihat Terang itu. Mereka lebih memilih kegelapan.
Karena mereka masih asyik dengan rencana dan aksi jahatnya: mulai dari pencopet,
begal, hingga pejabat korup, mulai tukang selingkuh hingga politikus licik;
dari bandar narkoba hingga teroris yang sadis. Orang-orang seperti itu tentu
tidak ingin melihat Terang, karena Terang itu hanya akan membuat kejahatan
mereka tersingkap. Tapi kawan, tidak
ingin melihat Terang itu satu hal. Butuh melihat Terang itu hal yang berbeda,
bukan?! Untuk orang-orang seperti itulah kita dipanggil & diutus menjadi
terang.
Benar-benar kita ini beruntung, kawan.
Sama seperti gembala & para majus, kita sudah melihat dan menerima Terang
itu. Kita percaya bayi mungil di palungan Betlehem adalah Dia yang tersalib
& bangkit, menjadi Terang dunia, Juru Selamat dunia. Terang itu telah
memberi kita kepastian keselamatan, hidup kekal dan damai sejahtera. Hidup kita
dituntun & diberi kekuatan oleh Terang itu. Mari terus tinggal & terus
berjalan di dalam Terang itu (Yoh 8:12).
Tapi jangan lupa, kita juga harus bangkit & menjadi terang. But How? Bagaimana kita menjadi Terang? Apa
yang kita pahami bahwa Yesus adl Terang dunia, keselamatan bagi dunia? Melihat
konteks sejarah Israel, juga selaras dengan metafora “Terang” yang dipakai nabi
Yesaya ini, begini seharusnya kita memahaminya: ...Seperti fajar yang mulai
menyingsing di ufuk timur itu menjadi tanda bahwa malam akan segera berakhir,
maka kelahiran Yesus itu merupakan tanda awal berakhirnya kegelapan dunia ini;
malam-malam yang kelam penuh ketakutan, penindasan, kekerasan dan ketamakan itu
akan berakhir.
Di malam yang gelap itu, di tempat yang sederhana itu, dalam wujud bayi tak
berdaya itu, Terang Allah mulai bersinar. Kelahiran Yesus itu menjadi tanda
dimulainya hari yang baru, pemahaman yang baru dan cara-cara yang baru tentang
bagaimana kita hidup di dalam dunia ini, yakni hidup yang kekal, yang berkualitas,
karena terhubung/berelasi dengan Allah sejati, Tritunggal kudus, Pencipta
sekaligus Juru Selamat dunia itu sendiri.
Kelahiran Yesus, sebagaimana dinubuatkan nabi Yesaya ini, bukanlah undangan
untuk memeluk agama pribadi yang di dalamnya kita bisa melarikan diri dari
persoalan2 dunia, menyembunyikan diri & mencari rasa aman & kenyamanan
diri. Natal, sebagaimana dinubuatkan nabi Yesaya, juga dilaporkan penulis 4
injil itu, adalah kisah tentang Allah yang akhirnya turun tangan, datang ke
dunia ini, menghadapi masalah-masalah dunia ini; masalah kejahatan, amoralitas,
kekerasan, penindasan yang terjadi di dunia ini. Itulah kisah natal.
Nah, jika seperti itu kita memahami maksud & konteks Yesus sebagai
Terang Dunia, maka kita bisa sepaham juga, bahwa natal itu bukan sekedar sebuah peristiwa di masa lalu, melainkan
sebuah proses, harus berlangsung terus hingga kedatanganNya kali kedua.
Proses menjadi Terang, menghadirkan Terang seperti diamanatkan nabi Yesaya ini.
Proses yang mengharuskan kita bercermin pada palungan itu, pada bayi mungil di
dalamnya, yang memancarkan janji & pengharapan bagi dunia itu; bayi mungil yang ketika beranjak dewasa itu
mengajarkan & memberi teladan gaya hidup Kerajaan Allah itu.
Sebuah gaya hidup yang menginspirasi, menular secara positif, yang ternyata tidak
dibangun dengan hasrat mengambil
melainkan hasrat memberi, bukan dengan menebar ketakutan melainkan dengan
menularkan iman & pengharapan, bukan lewat konflik atau aksi kekerasan
& balas dendam melainkan lewat rekonsiliasi & sikap mengampuni, bukan
dengan semangat mendominasi- menguasai, melainkan dengan semangat melayani. Dengan
kata lain, yang [akan] diajarkan dan diteladankan bayi di palungan itu adalah sebuah
cara hidup baru yg akan sangat efektif memancarkan Terang injil Tuhan,
keselamatan Tuhan.
Jadi, mari datang ke palungan itu, dituntun oleh lilin-lilin kecil yang biasa
kita pegang sambil menyanyi kidung “Malam Kudus” itu: Biarlah lilin kecil itu menjadi
simbol sikap kita yang menyambut Sang Terang itu, merayakan keselamatan yang
dihadirkan Sang Terang itu. Terlebih penting, ijinkan lilin itu mewakili hati
kita yang telah dibuat menyala oleh Sang Terang itu; hati yang rindu terlibat
dalam misi yang diemban bayi natal itu, yakni menegakkan Kerajaan Allah di bumi,
menghadirkan keselamatan Allah di tengah bangsa & suku-suku bangsa, di tengah
kota kita, di tengah komunitas studi & profesi kita. Keselamatan, yang menurut nubuatan nabi
Yesaya ini, bercirikan SHALOM (damai sejahtera), JUSTICE (keadilan) & TRUTH
(kebenaran).
Kiranya itu menjadi tekad kita bersama, kawan;
jadi semangat kita mengakhiri tahun 2016 ini, bahkan menjadi semangat kita menjalani
sepanjang tahun baru, bahkan sepnjang hidup. Maukah kita? “Selamat Natal 2016 & Hepi Nyu Yier 2017, everyone!
Makassar, Noel 2016