Sisipan, Refleksi:
Si Mamon itu memang amat digdaya. Pesonanya menaklukkan siapa
saja; tua-muda, pria-wanita, agama apa saja, semua ras manusia! Ia kaya
pengaruh, ia limpah kuasa. Begitu tipis bedanya, entah kita sangat
membutuhkannya atau sangat menyembahnya. Tak heran Allah mencemburuinya, serius
meminta jawab kita: “Pilih AKU atau dia?!” Tapi hal paling berbahaya tentang si
Mamon ini adalah: tak ada kata puas memilikinya. Ia membuat orang tak sudi
berbagi rata. Ia membuat orang nekat mengambil resiko kehilangan segalanya
dengan mencurinya, merampoknya, mengkorupsinya. Maka wajar jika kita pesimis
bisa mengalahkannya. Memang tak ada yang bisa, tak ada caranya!
Tapi benarkah demikian, kawan?
Tidak! Karena saat kuliah aku punya cara dan pernah bisa mengalahkan kuasanya. Berempat
kami, kebetulan sekelas, satu kost-kost-an, sama-sama kristen. Uang bulanan
dari orang tua tergolong kecil, namun kami kerap saling mentraktir. Stok
mie-instan di kamarku seolah milik mereka juga, dan bila milikku habis, aku
mencarinya ke kamar mereka. Salah satu dari kami kerap dikirimi paket makanan oleh
orang tuanya, bersama-sama kami menghabiskannya. Jika ada diktat kuliah yang
mahal, kami urunan, cukup beli satu saja untuk digunakan bersama.
Dengan pemilik kost terbangun hubungan yang sama. Di jumpa
pertama mereka tegas: “Tidak boleh ada salib-gambar kristen- lagu kristen di
kamar!” Seiring waktu semua berubah. Kami biasakan tak hanya membersihkan
kamar, tapi juga ruang tamu dan halaman rumah. Ketika anak mereka opnam, bergiliran
kami menjaganya. Selama rumah direnovasi, kami jadi tukang, membantu sebisanya.
Apa yang terjadi? Alkitab kami tergeletak di luar kamar atau lagu kristen terdengar
nyaring dari kamar tak jadi masalah. Wesel dari orang tua tak kunjung tiba,
bayar kost telat sedikit, telat lama, tak pernah ditagih. Bahkan satu dua kali uang
dari kami dikembalikan oleh mereka!
Apa penjelasannya? Bukan, itu bukan hubungan timbal balik biasa.
Itu terjadi karena lambat laun tumbuh kasih diantara kami semua, lambat laun
kami bisa menganggap satu sama lain sebagai keluarga. Dalam keluarga, hubungan
timbal balik terjadi bukan karena kepentingan atau kewajiban. Itu terjadi
begitu saja, secara alami belaka. Saling berbagi, menganggap sesuatu sebagai
milik bersama itu menjadi naluri, menjadi pola pikir dan gaya hidup bersama!
Dalam kondisi dan situasi seperti inilah sesungguhnya kami telah menaklukkan si
Mamon. Ya, karena dalam relasi kasih di
antara kami dan antara kami dengan pemilik kost itu uang menjadi hal yang tak
terlalu utama, sehingga bisa dibilang si Mamon kehilangan relevansinya,
kehilangan kuasanya!
Belakangan baru kusadari bahwa cara kami mengalahkan si Mamon
itu sudah ditunjukkan oleh kitab suci. Itu adalah sesuatu yang Yesus maksudkan
ketika menantang seorang muda kaya menjual seluruh hartanya dan mengikut Yesus
(Markus 10:17-27). Itu juga poin yang Yesus tekankan saat menjawab pertanyaan
para murid: “Kami telah menggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau. (Apa
yang kami dapat?)” (Markus 10:28-31). Itu juga gaya hidup gereja mula-mula di
mana jemaat berbagi segala sesuatu karena merasa apa yang mereka miliki adalah
milik bersama (Kis 2:44-45). Ini terkait dengan sistem ekonomi Allah, dengan natur
ekonomi dalam kerajaan Allah.
Seperti ini runtutannya: kelahiran baru kita (harusnya)
berdampak pada cara pandang kita terhadap sesama, membuat kita memandang orang
lain sebagai saudara dari keluarga yang sama. Dalam sebuah keluarga, akan
merupakan sebuah skandal bila sang kakak berlimpah harta sementara adiknya
miskin papa. Sebuah aib yang dikutuk bersama bila sang adik berhasrat menguasai
sebanyak mungkin harta keluarga, karena otomatis itu memperkecil porsi yang
menjadi hak kakaknya. Dalam keluarga baru Allah yang menembus batas biologis
bahkan batas bangsa-bangsa ini distribusi-ulang kepemilikan (saling berbagi) menjadi
gaya hidup semua anggotanya. Yang ditumbuhkan di dalamnya adalah sikap inter-dependent, saling bergantung,
saling mengandalkan, bukan sikap independent
yang egois dan individualis. Dalam konteks hidup bersama dalam dimensi ekonomi
Allah seperti ini mamon tetap memiliki fungsinya, tapi ia tak akan menjadi si
Mamon yang digdaya, dan tak mudah kita
jatuh menyembahnya, melainkan mamon sebatas menjadi pelayan kita. Indah bukan?
Dan tak terasa mustahil lagi, bukan?
Jadi, kalau aku saat menjadi mahasiswa pernah bisa kalahkan si
Mamon, kita semuapun pasti bisa, kawan. Kebangkitan Kristus menjadi
garansi, bahwa si Mamon bisa kita buat
miskin pengaruhnya, bisa kita buat sekarat kuasanya. Dengan kasih kita pada
sesama anak bangsa, dengan natur berbagi yang Roh Kudus berdayakan dalam dan
melalui hidup kita, kita bisa kalahkan si Mamon. Apalagi di tengah keluarga
besar bangsa kita yang sampai hari ini pembagian kue kesejahteraan hasil
pembangunan belum dinikmati semua kalang secara merata. Ayo mahasiswa, ayo
alumni, kita bergerak bersama, menjadi solusi menular bagi parahnya budaya
korup bangsa!
Salam Optimisme Perubahan Indonesia!
"Dan semua orang yang telah menjadi
percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan
bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu
membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.
(Kis 2:44-45)
"When we truly discover love,
capitalism will not be possible and Marxism will not be necessary."
(Will O'Brien)
Jakarta, Oktober 2012
"pernah
dimuat di majalah Dia edisi 2/2012"