Refleksi, khusus edisi akhir pekan:
Kita hidup di zaman di mana air melimpah. Keran air memancar deras tiap
hari, sampai-sampai hadirnya air terasa biasa, terasa sudah seharusnya ada dan
harus selalu ada. Lalu tiba-tiba keran itu berhenti, aliran air itu tak ada
lagi. Saat itulah kita merasa jengkel dan mengeluh, lalu sadari, air itu betapa
berharganya. Biasanya selang panjang itu solusi kita, alirkan air dari sumur
tetangga ke kamar mandi kita.
Tapi itu air jasmaniah, kawan. Bisa kita atasi dan
siasati
kehadirannya,
dengan kecerdikan dan dana.
Namun tentang aliran Air Hidup itu, maksudku
tentang
kehadiran dan ketidak-hadiran Tuhan kita,
siapa sanggup,
siapa berhak mengaturnya?
Allah terasa jauh, saat teduhmu terasa kering, tak dapat apa-apa?
Kawan, bukan hanya
kamu yang pernah mengalaminya.
Galaumu itu wakili galau kebanyakan kita.
Maka ijinkan aku berbagi paradigma :
Ijinkan kedaulatan-Nya pegang
kendali, kapan dan di mana Ia bisa
kita rasakan,
kita temui. Biarkan air kehidupan itu mengalir dan
berhenti dengan
bebasnya. Sebab Ia itu Allah yang hidup, bukan
aliran air
di kamar mandi kita. Yang bisa dan yang pantas kita
lakukan hanyalah menjaga kebersihan pipa
spiritualitas kita.
Selebihnya
biarlah menjadi pengalaman bathin yang dewasakan
iman kita.
Cermati dan tunggu saja. Sampai kapan? Terserah Dia.
Yakinlah, dalam
kekeringan semacam itu tetap terjadi gerak, dari
kenal ke makin
mengenal Dia, dari cinta ke makin mencinta Dia.
“Adalah
hak Tuhan untuk menentukan di mana dan kapan kehadiranNya bisa kita rasakan atau
tidak. Iman dan kesetiaan kita pada masa kekeringan rohani seperti ini adalah
wujud pengakuan kita akan kedaulatanNya.”
(Thomas
Green SJ)
Matius 1:23
"Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang
anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" —yang berarti: Allah menyertai kita.
Asrama SAAT,
Natal 2004
Minggu ini 3 teman keluhkan Saat Teduh ga dapat apa-apa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar