Seperti
yang kuterka sejak awal, pengkotbah pagi ini menjelaskan mujizat Yesus memberi
makan 5000 orang sebagai peristiwa logis akibat orang banyak itu tersentuh
ketulusan bocah yang berbagi bekal makan siangnya, membuat mereka tergerak
ikut-ikutan membagi bekal yang mereka bawa. Seperti itulah memang tafsiran khas
rekan-rekan seimanku yang --oleh sejarah gereja dikategorikan-- beraliran liberal.
Kutanya
ulang diriku: “Perlukah aku marah?
Haruskah aku simpulkan telah terjadi penyesatan iman? Wajarkah aku takut tafsiran
seperti itu mengurangi kagum dan hormat jemaat terhadap Tuhan Yesus?” Memang
tak mudah mengendalikannya, karena pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul
otomatis di benakku, karena aku orang kristen (yang oleh sejarah gereja diberi
label) injili.
Masih
sibuk mengolah jawabanku sendiri atas pertanyaan-pertanyaan introspektif itu,
suara dari arah mimbar terdengar sudah merangkum poin-poin kotbah: bahwa jemaat
perlu meneladani Yesus, memancarkan karakter Allah yang berempati terhadap kebutuhan
manusia dan limpah dalam memberi; bahwa jemaat perlu celik hati, peduli dan
mengambil bagian dalam pekerjaan Tuhan serta peduli pada sesama dengan gaya
hidup memberi; bahwa jemaat perlu berdoa memohon agar karakter Allah makin
nyata dalam hidup pribadi. Aplikasi kotbah seperti ini jelas menjawab telak
semua kekuatiran teologisku tadi.
Aku
jadi tersadar lagi, bahwa jurang abadi perbedaan tafsiran antar aliran dalam
kekristenan itu sesungguhnya sesuatu yang sangat rumit, yang tak sepantasnya
orang-orang yang concerned tentangnya
mencoba menyederhanakannya, apalagi dengan memaparkan solusi hitam putih lalu mengira perubahan bisa terjadi secara instant, apalagi dengan spirit arogansi dan rasa benar diri. (Moga yang masih bersikap demikian Tuhan ampuni).
Menurutku
lebih baik kita terlebih dulu membereskan racun prasangka dan sentimen negatif
yang merupakan “dosa warisan dan struktural” masing-masing aliran. Menurutku
racun itu bisa didetoksifikasi, asalkan tiap pihak sedia kerjakan PR
masing-masing, yakni mau banyak mendengar dan membaca pihak lain, mau jujur
kumpulkan sisi positif atau kekuatan pihak lain. Semua adalah dalam rangka
belajar saling tumbuhkan empati.
Aku
pulang dari gereja dengan damai sejahtera ilahi, merasa mendapat dukungan-Nya
bahwa cara pandang dan sikapku dalam hal ini bukanlah sebuah kompromi, melainkan
ekspresi kebesaran hati, bukan sikap yang kurang hati-hati, melainkan ekspresi
kerendahan hati, hal-hal yang digaris-bawahi Yesus sendiri.
Pengunjung yang terhormat, pencerahan yang kudapat tadi
membuatku berkomitmen-ulang untuk mendedikasikan blog ini untuk visi kesatuan
Tubuh Kristus. Aku ingin mengundang Anda bergabung atau satukan langkah dalam
gerakan menuju terwujudnya gereja yang Am dan saling mengasihi seperti harapan
doa Yesus dalam Yohanes 17:21-23 itu.
Coretan
bathin dalam blog ini adalah bentuk sumbangsih diam-diamku, perjuangan sunyiku
dalam mencoba mengurai benang kusut prasangka dan sentimen yang berabad sudah
membelit gereja Tuhan. Meski tak kupungkiri mengandung pandangan teologi versi
keyakinanku, namun pikirku, jika disampaikan dalam bentuk tulisan, itu jauh
dari kesan menyerang. Apalagi kusajikan dalam bentuk puisi, renungan dan
refleksi, tentunya yang tidak setujupun enggan untuk menimpali dengan marah
atau benci. Sejauh pengalamanku, bicara devosi memang lebih menyatukan Tubuh
Kristus dibanding secara lugas bicara doktrinJ.
Harapanku,
setelah tertular “virus visi kesatuan tubuh Kristus” ini, Anda tergugah
untuk menciptakan virus sejenis versi Anda sendiri dan menularkannya kepada
anak-cucu atau generasi penerus gereja/aliran teologi masing-masing, sehingga
cepat atau lambat, doa Tuhan Yesus terkabul, semua muridNya bersatu dan saling
mengasihi, seperti Allah Tritunggal yang bersatu dan saling mengasihi.
Anyway, kalau toh tulisan dalam
blog ini tak mengubah keadaan, minimal aku tidak memperburuknya. Setidaknya itu bisa menjadi bekalku untuk
tenang jika Yesus bertanya apakah hadirku selama hidup itu membuat gereja makin
terpecah atau semakin bersatu. Akhir kata, apa yang kusajikan dari hati,
kiranya Anda sudi membacanya juga dengan hati.
Selamat
menikmati!
Tangerang, 29 Juli 2012
Usai ibadah di GKI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar