Kita hidup di zaman di mana air melimpah. Keran air
memancar deras tiap hari, sampai-sampai hadirnya terasa biasa, terasa sudah
seharusnya ada dan harus selalu ada. Lalu tiba-tiba keran itu berhenti, aliran
air itu tak ada lagi. Saat itulah kita merasa jengkel dan mengeluh, lalu
sadari, air itu betapa berharganya. Lalu, biasanya, selang panjang itu solusi
kita, alirkan air dari sumur tetangga ke kamar mandi kita.
Tapi itu air jasmaniah, kawan. Bisa kita atasi dan siasati
kehadirannya, dengan kecerdikan
dan dana. Namun tentang aliran Air Hidup itu, maksudku tentang kehadiran dan
ketidak-hadiran Tuhan kita itu, siapa sanggup atau berhak mengaturnya?
Allah terasa jauh, saat teduhmu terasa kering, tak dapat
apa-apa?
Kawan, bukan hanya kamu yang pernah mengalaminya. Galaumu itu
wakili galau kebanyakan kita. Maka ijinkan aku berbagi paradigma :
Ijinkan kedaulatan-Nya pegang kendali, kapan dan di mana Ia bisa kita
rasakan, kita temui.
Biarkan air kehidupan itu mengalir dan berhenti dengan bebasnya.
Sebab Ia itu Allah yang hidup, bukan aliran air di kamar mandi kita.
Yang bisa dan yang pantas kita lakukan hanyalah menjaga
kebersihan pipa spiritualitas kita.
Selebihnya biarlah menjadi pengalaman bathin yang
dewasakan iman kita. Cermati dan tunggu saja.
Sampai kapan? Terserah Dia.
Yakinlah, dalam kekeringan semacam itu tetap terjadi
gerak, dari
kenal ke makin mengenal Dia, dari cinta ke makin mencinta Dia.
“Adalah hak Tuhan untuk menentukan di mana
dan kapan kehadiranNya bisa kita rasakan atau tidak. Iman dan kesetiaan kita
pada masa kekeringan rohani seperti ini adalah wujud pengakuan kita akan
kedaulatanNya.” (Thomas
Green SJ)
Matius 1:23
"Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang
anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" —yang berarti: Allah menyertai kita.
Asrama SAAT,
Natal 2004
3 teman keluhkan Saat Teduh ga dapat apa-apa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar