Refleksi, khusus edisi
akhir pekan:
Beberapa
waktu lalu seorang rekan praktek pelayanan 1 tahun ceritakan pergumulannya
menghadapi pemuda gereja yang jatuh hati padanya dan sering mampir ke pastori
tempat tinggalnya. Cukup ganteng sih orangnya, anak mantan gembala pula.
Tapi karena rekan saya ini tidak punya perasaan yang sama, maka ia merasa tidak
nyaman dengan kunjungan-kunjungan sang pemuda. Dengan terpaksa ia persilahkan
pemuda ini masuk dan ia ladeni obrolannya dengan sikap dingin dan keramahan
sekedarnya.
Tapi yang
paling dia suka, apabila pemuda itu datang tepat di saat ia sedang sibuk
mempersiapkan kotbah, karena dalam situasi seperti itu, ia bisa cukup membuka
pintu sedikit (dan tanpa merasa bersalah!), lalu dengan sopan tapi senang
memberitahu pemuda itu bahwa ia tidak bisa terima tamu. Artinya, ia tidak perlu
mempersilahkan pemuda itu ngobrol di dalam. Aku empati dengan dilemanya sebagai
mahasiswa praktek pelayanan itu, tapi kurang setuju sikapnya. Kenapa? Entahlah, solidaritas pria barangkali.
Namun
yang pasti, belakangan aku dicelikkan bahwa sikap rekan itu sering merupakan
sikapku sendiri, atau sikap kita. Dalam konteks pertobatan, memang kita telah
membuka pintu hati kita dan mempersilahkan Yesus masuk. Namun dalam konteks proses pertumbuhan
rohani, kita sering tidak ramah, atau seringkali seakan cuma mengajak Yesus
bicara di depan pintu, dengan tergesa-gesa dan dengan alasan kesibukan studi,
pekerjaan dan pelayanan kita. Bahkan, bisa jadi tidak membukakan pintu sama
sekali! Aku percaya tiap kita tidak senang dengan sikap tuan rumah seperti ini.
Tapi dalam prakteknya banyak anak Tuhan kerap bersikap seperti ini.
Padahal,
Alkitab memang punya gambaran tentang Allah yang di muka pintu berdiri,
mengetuk dan menanti. Bukti bahwa Ia bukan berhala mati, yang tidak punya
perasaan maupun emosi-emosi, melainkan Ia Allah yang peduli dan penuh kasih,
Allah yang aktif mencari, yang mengambil inisiatif berelasi. Allah yang tidak
memaksa dengan mendobrak pintu itu dari luar, namun serius mengetuk dan menanti
kita mempersilahkan dan menyambut-Nya sepenuh hati. Allah yang ingin menghibur
sekaligus rindu menggoyang status
quo kita, zona suam-suam kuku
kita yang melenakan sekaligus membahayakan diri kita. Intinya, kawan, kitalah
yang banyak diuntungkan dalam relasi ini, sama sekali tak akan rugi.
Kawan, mari
serius renungkan situasi ini. Ia masih setia mengetuk pintu hidup kita sampai
hari ini. Bagaimana respons kita hari-hari ini? Seperti sikap rekan pelayananku
yang menolak cinta pemuda tadi, dengan alasan kesibukan pelayanan, kerja atau
studi? Kapan terakhir kali kita membuka pintu bagi-Nya dengan hati hangat,
penuh sayang dan hormat? Dan berbincang sepenuh konsentrasi sepenuh minat?
Wajar
rekan pelayanan praktek 1 tahun tadi tidak mau akrab dengan pemuda itu, karena
ia tidak mencintainya. Tapi
wajarkah, logiskah, pantaskah kita menolak berelasi lebih dekat, menolak
berbincang akrab dengan Pribadi Yang tersalib, Juru Selamat kita itu? Bukankah
kita sering mengaku mencintaiNya lebih dari segalanya? Yang benar aja, kawan!
Wahyu 3:20 Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan
pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan
ia bersama-sama dengan Aku.
Asrama SAAT,
14 Mei 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar