Refleksi, khusus
edisi akhir pekan:
Suatu saat saya menghadiri acara siswa kristen di sebuah pantai yang indah
di pulau Alor, NTT. Usai persekutuan banyak yang nyebur ke laut, padahal
ombaknya sedang besar. Saya bergumam pada seorang siswi: “Mereka nampak
senang sekali menyelam.” Siswi itu menukas “Di dalam indah, kakak.”
Kutanya “Tidak takut bahaya?” Siswi itu bilang: “Sudah biasa, sejak kecil bermain di laut.” Dia beritahu kiat-nya “Bila
ombak datang, menyelamlah ke dalam, kakak. Karena ombak itu hanya di permukaan pantai, di bawah tenang.”
Wah, itu hikmat yang sangat berguna untuk arungi ombak dan gelombang
kehidupan. Menyelam itu tindakan menjemput berkat-berkat dari tempat yang
dalam. Berkat keindahan dan rasa aman. Di bawah sana kita makin dekat dengan
keindahan-keindahan terumbu karang dan beragam warna-warni ikan. Kita belum
merasa puas jika melihat keindahan bawah laut itu dari permukaan.
Sayangnya, justru itulah problem Anda, problem saya juga
(walau saya mahasiswa seminari), yakni kehilangan
kedalaman. Acap kali hidup seakan sekadar bergerak dari kegiatan yang satu
ke yang lainnya. Satu selesai, berikutnya menanti. Dan dijalani atau
diselesaikannya itu dengan terburu-buru atau sekadarnya, sehingga
aktifitas-aktifitas lewat begitu saja, tanpa lesson, tanpa kesan dan
makna mendalam.
Studi, kerja, hobby, sudah tentu bikin horison kita terbentang jauh,
wawasan dunia seluas samudra, tapi kita tetap bisa merasa berdiri di pantai
yang dangkal. Karena kita dijejali beragam subyek, pikirkan banyak topik, banyak rencana dan keinginan, kuatirkan banyak hal setiap hari, setiap jam. Sehingga kita penuh, tapi penuhnya sekedar oleh kerangka dan garis besar, tak ada waktu dan energi tersisa untuk detail-detail, ide-ide lanjutan, hilang minat terhadap gagasan maupun perenungan yang dalam. Kitapun alergi terhadap kesulitan-penderitaan yang dalam, mudah puas dengan kegembiraan yang dangkal. Memang ada waktu-waktu ibadah, baik pribadi maupun bersama,
terjadual mingguan, bahkan harian. Idealnya itu moment yang tepat untuk
menyelam lebih dalam, tapi banyak yang gagal memanfaatkan.
Adakah harapan? Di mana, bagaimana bisa kita capai kedalaman? Dengan tekuni seni menyendiri, kawan! Solitude, silence before Him, disertai motivasi yang murni, dibekali dengan
Firman di hati maupun pikiran. Meditasi kristen inilah tindakan menyelam
dengan aman di lautan kehidupan ini. Ia bukan dan tidak boleh berupa
pengosongan jiwa, melainkan fokuskan panca-indera sepenuhnya pada Allah, Allah
yang telah menyatakan diri-Nya dalam alkitab.
Di situlah terurai simpul-simpul keruwetan bathin, di
situlah prioritas-prioritas ditata ulang, statement
of value (prinsip hidup) terumuskan. Dan yang paling penting, di situlah babak
demi babak kisah hidup kita dikenang, lalu sadari dan syukuri lagi betapa
tangan-Nya yang kuat itu sungguh tak tergoyahkan, sehingga hari ini kita masih
ada.
Dalam saat-saat hening seperti
itulah kita alami semacam personal
revival, suatu pengalaman pertobatan dari belenggu kedangkalan, kebebasan
dari penjara spiritualitas yang artifisial, lalu kembali komitmen kita
disegarkan, yakni tekad untuk melangkah tegak, jalani hidup yang sudah dipanggil ini dengan fokus yang jelas, pada visi, dengan
orientasi ilahi dan perspektif ilahi.
So, mari berlatih menyelam, kawan, seperti
anak Alor yang sejak kecil akrabi lautan. Begitu terlatih, niscaya panik tak mudah menyerang tiap kali gelombang besar datang. Siswi Alor di atas bukakan pada
saya apa yang alam janjikan: “Di dalam sana indah dan tenang.” Sekarang ijinkan
saya ingatkan pada Anda apa yang
Allah janjikan: “Di dalam sana tersedia banyak mutiara kehidupan!” Mereka menanti
untuk kita temukan, dalam hening dan diam berbalut Firman.
Tangerang, 17 Maret 2012
Teringat diving singkat di
Kepa, Alor, tahun 2003 silam.
Waktu itu ongkos oksigennya
50 ribu perjam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar