Refleksi, khusus Akhir Pekan:
Aku suka pejamkan mata, membiarkan pikiranku berkelana, kesana-kemari
dengan bebasnya, begitu lincahnya. Merangkai sendiri kisah-kisahnya, tak
dibatasi bingkai tema, tak dihambat geraknya oleh alur cerita. Tamasya jiwa, begitulah aku menyebutnya.
Pikiran melanglang buana, mengalir kemana-mana tiada hentinya, seakan tak ada
habisnya.
Seorang kawan menuduhku melamun saja, sindir aku dengan cerita tentang
matinya ayam tetangga (lamunanku penyebabnya, katanya). Tentu saja ia becanda.
Tapi aku sendiri tidak setuju istilahnya. Kami berbeda sudut mata : melamun itu melayang-layang dan hampa,
tapi diamku itu self-talk, itu proses produktif, sarana berkarya. Lamunan itu barang mentah, tapi diamku itu mencerna, memindai makna.
Mengapa?
Karena hidup ini berharga! Setiap peristiwa tidak perlu jadi sia-sia, semua
ada maksud dan tujuan-Nya. Tiap kejadian di dunia ini, betapapun kecilnya,
tidaklah sebatas yang nampak di permukaan saja, selalu ada gagasan-gagasan di
bawahnya. Gagasan-gagasan itulah sinyal pesan-Nya, yang dibukakan pada kita, untuk
diforward pada sesama, melalui ujung
pena atau lidah kita. Itu mudah, karena syaratnya sederhana; yakni perlu jiwa
yang hening, teduh dan sunyi. Mudah bukan? Lagipula tak perlu pulsa, tak perlu
beaya.
Selamat berdiam, kawan! Sekali lagi: hanya perlu hati, kertas dan pena. Dan bila
tak keberatan, Anda bisa bagikan mutiara-mutiara hikmat yang tertangkap pena
Anda kepada dunia, seperti dalam blog ini, blog sayaJ.
Duduk, diam, berpikir tentang
Allah.
Menatap, dan menatap Dia, O
betapa nikmatnya.
Merenungkan pikiran-Nya,
mendesahkan nama-Nya.
Tiada kegembiraan melampaui itu
di dunia
(Frederick Faber)
Mazmur 51:6
Sesungguhnya, Engkau berkenan
akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat
kepadaku.
Solo, September ‘06
nunggu dijemput majelis (diajak
sarapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar