Refleksi, khusus edisi akhir pekan:
Salah satu yang
tidak terlupakan hidup di asrama SAAT adalah belnya. Hidup kami serasa tak
terpisahkan bahkan sangat bergantung pada bunyi lonceng tak terlalu besar tapi
bunyinya cukup keras di lingkungan yang kecil itu. Dari pagi sampai malam
jadual kami terjalani satu persatu atas panduan bunyi lonceng itu: ia bangunkan
kami, suruh kami saat teduh, printahkan kami ke ruang makan, ke ruang kelas,
undang kami kebaktian, suruh kami belajar, paksa kami matikan lampu jam 22.30
malam. Sampai-sampai ada yang nyletuk, kalau bel atau lonceng itu dicuri orang,
gabisa apa-apa kamiJ.
Tahun 2005 SAAT pernah
mengutus Tim Misi ke Alor, membantu
korban gempa di sana. Aku dan teman Tim tinggal di rumah
Pendeta setempat. Pagi pengobatan massal,
malam kami adakan Kebaktian Penyegaran Rohani. Penduduk atau jemaat
di sana banyak yang tinggal di pegunungan dan jarak satu rumah dengan yang
lainnya berjauhan. Aku terkesan dengan cara Pak Pendeta
panggil umatnya untuk ikuti acara-acara kami. Kuperhatikan beliau meniup
nafiri, yang terbuat dari rumah (cangkang) kerang
besar. Demikian pula dalam keseharian, saat pak pendeta ingin umumkan sesuatu,
ia tinggal tiup kerang itu, tak lama berkumpullah tua-tua gereja yang bisa
diutusnya melanjutkan pesannya ke
rumah-rumah jemaat.
Ini tentang bunyi, kawan. Bunyi-bunyi semacam itu pegang peran signifikan dalam hidup kita. Bunyi bel asrama dan tiupan kerang itu mewakili kehendak
otoritas di atas kita. Tentu yang dimaksud di sini adalah bunyi atau suara
kode-kode yang telah disepakati bersama sebelumnya. Bunyi itu terdengar di
antara jadual-jadual harian kita. Suaranya yang khas itu meminta perhatian
kita, dan kitapun akan gampang mengenalinya di antara banyak bunyi
lain yang mampir ke telinga kita. Suaranya menginterupsi bisingnya bunyi-bunyi
kehidupan kita tiap hari, bukan bermaksud menambah bisingnya, melainkan ingin
memberi arahan pada kita. Memberitahu apa yang harus kita dengar dan melakukan
apa yang harus kita lakukan, baik sebagai individu maupun secara kolektif
sebagai komunitas bersama.
Tanda-tanda bunyi
yang telah disepakati seperti itu pasti penting, berguna. Awal era teknologi
kita sangat diberkati oleh penemuan mesin telegraph. Bunyi-bunyi ketukan yang
datar itu tak terbilang jasanya, kirimkan pesan penting ke penjuru negri. Ia
melayani kepentingan relasi-relasi keluarga, juga mendukung kepentingan bangsa
dan negara.
Di kitab Bilangan
10:1-10 kita membaca pesan yang sama, tentang bunyi-bunyi nafiri yang penting dan harus
diperhatikan oleh orang Israel. Sepintas fungsinya praktis saja, mengatur
keberangkatan rombongan besar itu tiap kali melanjutkan perjalanan menuju negri perjanjian. Tapi
sebenarnya lebih dari itu signifikansinya. Ada prinsip-prinsip rohani yang
dikandungnya. Bangsa pilihan ini sedang dilatih kepekaannya
untuk mendengar bunyi-bunyi otoritas Tuhan. Mereka umat yang mudah
melupakan Allah
yang telah membawa mereka keluar dari Mesir, tanah
perbudakan. Mereka mudah lupa pertolonganNya saat hadapi musuh yang hebat. Maka
sebelum maju perang, bunyi-bunyi nafiri yang ditiup
imam itu akan ingatkan mereka, bahwa Tuhanlah panglima perang. Juga saat
senang, pesta, mereka bisa kelewatan dugemnya, seperti ritual kafir. Bunyi nafiri itu akan mengingatkan bahwa semua berkat itu
dari Tuhan.
Tantangan zaman ini,
baik berupa pergumulan maupun kenikmatan di dalamnya, itu bisa membuat kita
lupa seperti bangsa Israel di perjalanan ini. Kitapun butuh bunyi-bunyi yang rutin
dan secara berkala mengingatkan tentang siapa yang sedang berkuasa atas dunia
ini dan yang sedang memimpin perjalanan hidup kita, mengingatkan kita tentang tujuan
kita dipilih dan diselamatkanNya. Maka di tengah hiruk pikuk dunia cemar dosa
ini, pindailah bunyi-bunyi semacam itu kawan.
Untuk manfaat itulah kita berSaat Teduh, berdoa, dan setia mendengar suara-suara dari mimbar persekutuan dan gereja. Dan tentu saja, FirmanNya dalam
alkitab kita dan dalam hati kita itu jelas jauh lebih efektif menuntun
mengarahkan hidup kita dibanding bel asrama, cangkang kerang besar pak Pendeta
Alor atau nafiri imam Israel di padang gurun itu. Selamat terus menikmati dan
diberkati bunyi-bunyi otoritas sorga, kawan!
Bilangan
10:6-9
apabila kamu meniup
tanda semboyan kedua kalinya, maka haruslah berangkat laskar-laskar yang
berkemah di sebelah selatan. Jadi tanda semboyan harus ditiup untuk menyuruh
mereka berangkat; tetapi untuk menyuruh jemaah itu berkumpul kamu harus meniup
saja tanpa memberi tanda semboyan. Nafiri-nafiri
itu harus ditiup oleh anak-anak imam Harun; itulah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagimu
turun-temurun. Dan apabila kamu maju berperang di negerimu melawan musuh
yang menyesakkan kamu, kamu harus memberi tanda
semboyan dengan nafiri, supaya kamu diingat di hadapan TUHAN, Allahmu, dan
diselamatkan dari pada musuhmu.
Jakarta, 16 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar