Pernah aku tinggal 2 bulan di sebuah daerah
kantong kristen. Salah satu memori yang kuat kuingat adalah sapaan “shalom”
yang kudengar hampir tiap saat, jadi salam tegur sapa yang diucapkan siapa saja. Pendeta dan
jemaat berbalasan: “Shalom!”; MC dan siswa akhiri persekutuan: “Shalom!”; Rapat
usai : ‘Satu, dua, tiga: Shalom!”; Guru dan murid akhiri pelajaran: “Shalom!”; Tuan
rumah dan tamu berpisah: “Shalom!”; Pejalan kaki dan pengendara motor
bersapaan: “Shalom!”; Bahkan, seekor beo
di teras rumah kawan rajin cari perhatian, menyapaku: “Shalom!”
Sayangnya, memori yang sama kuatnya tiap
kali mengingat daerah itu adalah: langkanya suasana atau kondisi shalom itu
sendiri di keseharian hidup masyarakat di sana. Tahanan yang kubezuk dalam penjara menyambut: “Shalom!”; Dan penjudi-pemabuk pinggiran jalan tak mau ketinggalan: “Shalom!”; Ya, ironis memang. Kata yang besar, yang menampung tujuan kekal Allah bagi ciptaan-Nya itu jatuh harga, jadi asesoris murah meriah bagi status kristen kita.
Lebih buruk lagi, kurasa kata itu sudah jadi semacam mantra. Saling mengucapkannya, masyarakat kita seolah saling mensugesti untuk menciptakan perasaan damai di hati dan di perasaan kolektif masyarakat kita. Hasilnya cuma ilusi subyektif: "I feel good; We're Okay!" Seperti obat bius, masyarakat kita menuai rasa aman dan nyaman palsu, dan kerap terbukti berujung mental pasrah yang fatalis maupun agresifitas yang anarkis. Padahal kata shalom itu jauh lebih besar dan lebih luas dari kondisi individual kita. Ia menyangkut kondisi segenap penghuni bumi. Dan ia bukan konsep yang eksis di level perasaan, melainkan menyangkut kondisi-kondisi riil dunia kita ini. Ia adalah energi transformatif Allah yang mewujudkan sorga di bumi. Maknanya mencakup ketentraman, kesehatan, keamanan dan kemakmuran komunitas kita, kawan. Ia
adalah sebuah keutuhan dan kekomplitan !
Dalam doa berkat imam Harun (Bil
6:24-25) disebutkan: “TUHAN
memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan
wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia-Nya (His shalom).” Ini
adalah doa berkat yang mencakup segala kebutuhan, memohonkan agar Allah mencukupkan kebutuhan rohani,
jasmani maupun kebutuhan emosi umat. Demikian
pula sapaan “Apa kabar?” dalam bahasa Ibrani
modern, “Mah shalomkah?” serta salam saudara
muslim kita, “Assalamualaikum,” itu
menanyakan sekaligus mendoakan ketentraman jiwa maupun kesejahteraan jasmaniah
orang yang disapa.
Sayangnya budaya
individualistis zaman kita ini telah membuat banyak orang berpikir: “Selama relasiku dengan
Tuhan baik, maka relasiku dengan orang lain tidak terlalu penting.” Namun alkitab tegas, Allah tidak menerima kurban persembahan kita
sampai kita berdamai dengan sesama. Yesus berkata, “jika engkau
mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu
yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di
depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali
untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 5:23-24).
Dalam ucapan
ini, nampaknya Yesus
mengacu pada jenis kurban persembahan di bait suci yang disebut kurban persembahan
shelem (peace offering). Yang satu ini punya keunikan: hampir semua kurban persembahan diberikan
seluruhnya untuk Tuhan (dibakar habis), namun khusus untuk shelem offering ini sebagian daging persembahan dimakan oleh umat
dan keluarganya. Seolah Allah mengundang keluarga tersebut makan malam di
meja-Nya, sebuah simbol persahabatan sejati dalam
budaya waktu itu. Kurban persembahan shelem
ini merupakan perayaan atas damai di antara semua peserta jamuan makan malam
tersebut, yakni antara Allah dan seluruh anggota keluarga tersebut.
Yang menarik,
Perjamuan Terakhir Yesus dan para murid di malam sebelum Ia ditangkap itu
mengambil bentuk kurban persembahan shelem
ini, di mana Yesus mengambil roti dan anggur dan berkata bahwa roti dan anggur
itu mewakili tubuh dan darahnya sebagai kurban persembahan, dan kemudian Ia
mengundang para murid-Nya (dan kita) untuk memakannya. Dengan melakukan hal
itu, kita mengambil bagian dalam jamuan damai
dengan Tuhan, merayakan relasi baru dengan Dia dan dengan sesama melalui penebusan Kristus. Melalui
Kristus, Allah menawarkan pada kita semua shalom-Nya,
yakni shalom dalam makna kata ini yang seluas-luasnya.
Respons
kita? Setidaknya 3, kawan: Bersyukur, berdoa dan bekerja bagi shalom itu. Bersyukur berarti tidak ragu menikmati shalom itu dalam arti
seluas-luasnya, baik terkait relasi kita denganNya maupun dengan siapapun sesama kita; dan menikmati aspek jasmani maupun rohaninya. Berdoa itu bagi wajah Indonesia hari ini yang masih jauh dari shalom (kemiskinan, kriminalitas, premanisme, konflik
horisontal SARA maupun rusuh pilkada, korupsi, kolusi hukum, kerusakan ekologi, dlsb). Bekerja
itu kreativitas kita menghadirkan
shalom di kota-kota, di bidang ilmu atau profesi di mana Allah tempatkan kita, terutama ketika vandalisme terhadap shalom itu terjadi di depan mata dan kita punya
kesempatan dan kemampuan meresponsnya.
Pengalaman tinggal di daerah kantong kristen itu sadarkan aku bahwa menjadi mayoritas tak menjamin umat Yesus hadirkan shalom Kristus, membuatku menguji ulang doa-doaku yang memohon Indonesia jadi "kantong kristen." Feeling-ku sih Allah baru akan percayakan anugrah menjadi mayoritas bila gereja terbukti setia memainkan peran sebagai minoritas, yakni minoritas yang mempelopori, menularkan spirit dan aksi-aksi shalom ini, agar “Mah shalomkah” itu, terutama agar sapaan “assalamualaikum” yang mayoritas itu, tak berhenti sebatas wacana apalagi sebatas salam tegur sapa tanpa realita.
Ada amin, kawan? “Shalom!” :-)
“Mereka mengobati luka umat-Ku dengan memandang ringan, katanya: Shalom!
Shalom!, tetapi tidak ada shalom.” (Yeh.13:10-16;
Yer. 8: 10-12; 6:10-15)
“Usahakanlah kesejahteraan (shalom) kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu
kepada TUHAN, sebab shalom-nya adalah
shalom-mu” (Yeremia 29:7)
Damai sejahtera
Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku
Kuberikan kepadamu, ... Janganlah gelisah dan gentar
hatimu. (Yohanes 14:27)
Malang, Week-End Alumni
2010
Tema: Being God’s Shalom in
the City
Tidak ada komentar:
Posting Komentar