Refleksi, khusus edisi
akhir pekan:
Pagi
tadi aku sarapan di Pecel Kawi. Di pintu masuk aku terhambat oleh 2 ibu
berjilbab yang memapah pria paro baya yang berjalan lambat. Dari tekukan tangan
dan jemarinya serta gurat khas di sekitar mulutnya, kutahu bapak ini pernah kena
stroke.
Mereka
ternyata duduk semeja denganku, di sampingku. Sambil menunggu pesananku
kudengar mereka pesan 2 teh hangat dan 1 es soda gembira. Tak terlalu
kuperhatikan, aku segera lanjutkan lamunanku, dan sejenak kemudian asyik dengan
nasi pecelku. Tapi tak urung aku menoleh ketika kudengar ibu itu berkata pada
sang pramusaji: “Soda gembiranya untuk
bapak ini, mbak.” Kupandang wajah si pramusaji, dan aku sangat mengerti
mengapa ia bersikap ragu-ragu. Lalu ibu itu tegaskan lagi, sambil mimik muka
diarahkan padaku dan sang pramusaji, “Ya,
benar, bapak ini yang minum soda gembira, juga makan pesanan yang ini,”
sambil menunjuk nasi pesanan mereka yang sudah datang. Kulihat piring di depan
bapak itu adalah sayur bersantan dan lauk pauknya adalah...daging dan babat!
Aku
merasa familiar dengan mimik wajah kedua ibu itu: pernah kulihat di wajah
kakak-kakakku, di wajah beberapa temanku, di wajah saudara-saudara iparku,...
Ya, di wajah orang-orang yang merawat orang tua yang sakit, yang sakit
berkepanjangan: diabet, ginjal, darah tinggi, asam urat, kolesterol tinggi,
stroke, dll. Itu adalah mimik wajah jengkel, marah, sekaligus tak berdaya,
pasrah. Wajah sarat dilema: kalau tidak dituruti, si sakit akan marah, tuduh
anak atau cucu tidak sayang, tidak mau lihat beliau bahagia, dst.
Pernah
merawat orang tua sakit yang tingkahnya
seperti anak kecil itu, kawan? Pernah
lihat mimik wajah seperti dua ibu itu? Kalian patut bersyukur kalau belum. Tapi
sebaiknya bersiap diri juga untuk jumpai mimik seperti itu, bahkan siap-siap mengalami
sendiri mimik wajah seperti itu.
Di
situlah aku tadi disadarkan, bahwa manusia itu punya bakat bunuh diri, punya hasrat
untuk mati. Memang ini sangat kontradiktif dengan ketakutan mereka terhadap
kematian, sangat kontradiktif dengan keseriusan mereka berobat. Namun sikap
bapak tadi itu singkapkan fakta yang rapi tersembunyi di kesadaran bathin tiap
manusia, mewakili suara hati setiap insan, suara-suara yang berkata: “Aku akan mati, aku harus mati. Siklus hidup
sudah kutaati. Dulu aku dilahirkan, masa hidupku sudah kujalani, sekarang
waktunya menyudahi. Tiada guna kulawan ritme semesta ini. Siapa yang bisa
melawan siklus kehidupan dan kematian rancangan Pencipta Ilahi?!”
Suara-suara
semacam itupun ada dalam diriku dan dalam diri kalian, kawan, tanpa kita sadari. Tapi suara-suara itu ada di dalam sana,
sehingga pada saatnya naluri kitapun akan bekerja-sama, perilaku kita akan
kooperatif, dalam wujud sikap kekanak-kanakan namun membahayakan diri seperti
bapak penderita stroke yang sarapan babat dan Soda Gembira tadi pagi. Mungkin
dalam bentuk kecanduan ngebut, perilaku suka berkelahi, atau kecanduan kerja,
rokok, narkotik, kecanduan makanan tidak sehat, dugem, atau bahkan kecanduan
pelayanan, atau ribuan bentuk lainnya (Btw,
ada buku berjudul: Eight Thousands Ways
to Die).
Itulah
sepenggal ironi hidup yang nyata terjadi, kawan.
Kalian dan aku juga akan punya cara sendiri dalam bekerja-sama menjemput dan
menyambut ajal kita sendiri. Hanya,
ajakanku kali ini, ayo pastikan agar hidup kita benar-benar berarti dan memberi
arti. Amin?
Eh
tapi tunggu dulu, masak iya sih kita sepasrah itu terhadap siklus kehidupan
yang berujung kematian? Fatalis banget tuh. Setelah kupikir-pikir, natur
kooperatif kita terhadap kematian itu bukan versi asli ketika manusia
diciptakan pertama kali. Bakat bunuh diri itu baru ada setelah dosa hadir mencemari.
Sebelum itu seluruh ciptaan hanya berisi hidup dan kehidupan belaka. Dan kebangkitan
Kristus dari kematian itu memulihkan kesejatian manusiawi kita. Maka seharusnya
hidup orang percaya itu kembali berisi naluri untuk merayakan sekaligus menjaga
kehidupan. Penghayatan hidup secara fatalis tidak layak diberi tempat di hati
dan kesadaran kita. Sebaliknya, yang ada adalah optimisme, karena pengharapan
kristiani adalah tibanya waktu kebangkitan daging, kebangkitan yang utuh yang
juga bersifat fisik itu, ketika Mesias datang kedua kali itu.
So, wajib kuakhiri
refleksi ini dengan intonasi dan nada yang positif, yang optimis, sebagaimana
yang Yesus sampaikan sendiri: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam
segala kelimpahan (Yohanes 10:10b); “Sebab Aku hidup dan
kamupun akan hidup” (14:9). Artinya, kawan, harus kita lawan bakat bunuh diri kita, segala pola pikir dan perilaku
yang tidak pro kesehatan, tidak pro kehidupan, segala sikap yang mengundang
kematian. Terutama kalau kita tua nanti, ketika kita mulai sakit-sakitan.
Jangan biarkan anak cucu kita pasang mimik muka marah sedih dan pasrah macam mimik
dua ibu yang kujumpa tadi pagi itu. Setuju kawan?
Ini baru AMIN!
Ulangan 30:19
Aku
memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu
kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan,
supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu,
Malang, Senin, 31 Jan 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar