Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Sabtu, 14 Juli 2012

Bakat Bunuh Diri Kita

Refleksi, khusus edisi akhir pekan:


Pagi tadi aku sarapan di Pecel Kawi. Di pintu masuk aku terhambat oleh 2 ibu berjilbab yang memapah pria paro baya yang berjalan lambat. Dari tekukan tangan dan jemarinya serta gurat khas di sekitar mulutnya, kutahu bapak ini pernah kena stroke.
Mereka ternyata duduk semeja denganku, di sampingku. Sambil menunggu pesananku kudengar mereka pesan 2 teh hangat dan 1 es soda gembira. Tak terlalu kuperhatikan, aku segera lanjutkan lamunanku, dan sejenak kemudian asyik dengan nasi pecelku. Tapi tak urung aku menoleh ketika kudengar ibu itu berkata pada sang pramusaji: “Soda gembiranya untuk bapak ini, mbak.” Kupandang wajah si pramusaji, dan aku sangat mengerti mengapa ia bersikap ragu-ragu. Lalu ibu itu tegaskan lagi, sambil mimik muka diarahkan padaku dan sang pramusaji, “Ya, benar, bapak ini yang minum soda gembira, juga makan pesanan yang ini,” sambil menunjuk nasi pesanan mereka yang sudah datang. Kulihat piring di depan bapak itu adalah sayur bersantan dan lauk pauknya adalah...daging dan babat!
Aku merasa familiar dengan mimik wajah kedua ibu itu: pernah kulihat di wajah kakak-kakakku, di wajah beberapa temanku, di wajah saudara-saudara iparku,... Ya, di wajah orang-orang yang merawat orang tua yang sakit, yang sakit berkepanjangan: diabet, ginjal, darah tinggi, asam urat, kolesterol tinggi, stroke, dll. Itu adalah mimik wajah jengkel, marah, sekaligus tak berdaya, pasrah. Wajah sarat dilema: kalau tidak dituruti, si sakit akan marah, tuduh anak atau cucu tidak sayang, tidak mau lihat beliau bahagia, dst.
Pernah merawat orang tua  sakit yang tingkahnya seperti anak kecil itu, kawan? Pernah lihat mimik wajah seperti dua ibu itu? Kalian patut bersyukur kalau belum. Tapi sebaiknya bersiap diri juga untuk jumpai mimik seperti itu, bahkan siap-siap mengalami sendiri mimik wajah seperti itu.
Di situlah aku tadi disadarkan, bahwa manusia itu punya bakat bunuh diri, punya hasrat untuk mati. Memang ini sangat kontradiktif dengan ketakutan mereka terhadap kematian, sangat kontradiktif dengan keseriusan mereka berobat. Namun sikap bapak tadi itu singkapkan fakta yang rapi tersembunyi di kesadaran bathin tiap manusia, mewakili suara hati setiap insan, suara-suara yang berkata: “Aku akan mati, aku harus mati. Siklus hidup sudah kutaati. Dulu aku dilahirkan, masa hidupku sudah kujalani, sekarang waktunya menyudahi. Tiada guna kulawan ritme semesta ini. Siapa yang bisa melawan siklus kehidupan dan kematian rancangan Pencipta Ilahi?!
Suara-suara semacam itupun ada dalam diriku dan dalam diri kalian, kawan, tanpa kita sadari. Tapi suara-suara itu ada di dalam sana, sehingga pada saatnya naluri kitapun akan bekerja-sama, perilaku kita akan kooperatif, dalam wujud sikap kekanak-kanakan namun membahayakan diri seperti bapak penderita stroke yang sarapan babat dan Soda Gembira tadi pagi. Mungkin dalam bentuk kecanduan ngebut, perilaku suka berkelahi, atau kecanduan kerja, rokok, narkotik, kecanduan makanan tidak sehat, dugem, atau bahkan kecanduan pelayanan, atau ribuan bentuk lainnya (Btw, ada buku berjudul: Eight Thousands Ways to Die).
Itulah sepenggal ironi hidup yang nyata terjadi, kawan. Kalian dan aku juga akan punya cara sendiri dalam bekerja-sama menjemput dan menyambut ajal kita sendiri.  Hanya, ajakanku kali ini, ayo pastikan agar hidup kita benar-benar berarti dan memberi arti. Amin?
Eh tapi tunggu dulu, masak iya sih kita sepasrah itu terhadap siklus kehidupan yang berujung kematian? Fatalis banget tuh. Setelah kupikir-pikir, natur kooperatif kita terhadap kematian itu bukan versi asli ketika manusia diciptakan pertama kali. Bakat bunuh diri itu baru ada setelah dosa hadir mencemari. Sebelum itu seluruh ciptaan hanya berisi hidup dan kehidupan belaka. Dan kebangkitan Kristus dari kematian itu memulihkan kesejatian manusiawi kita. Maka seharusnya hidup orang percaya itu kembali berisi naluri untuk merayakan sekaligus menjaga kehidupan. Penghayatan hidup secara fatalis tidak layak diberi tempat di hati dan kesadaran kita. Sebaliknya, yang ada adalah optimisme, karena pengharapan kristiani adalah tibanya waktu kebangkitan daging, kebangkitan yang utuh yang juga bersifat fisik itu, ketika Mesias datang kedua kali itu.
So, wajib kuakhiri refleksi ini dengan intonasi dan nada yang positif, yang optimis, sebagaimana yang Yesus sampaikan sendiri: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yohanes 10:10b); “Sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup” (14:9). Artinya, kawan, harus kita lawan bakat bunuh diri kita, segala pola pikir dan perilaku yang tidak pro kesehatan, tidak pro kehidupan, segala sikap yang mengundang kematian. Terutama kalau kita tua nanti, ketika kita mulai sakit-sakitan. Jangan biarkan anak cucu kita pasang mimik muka marah sedih dan pasrah macam mimik dua ibu yang kujumpa tadi pagi itu. Setuju kawan? Ini baru AMIN!

Ulangan 30:19
Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu,

Malang, Senin, 31 Jan 2011

Tidak ada komentar: