Sisipan, minggu refleksi:
Film Garin Nugroho menang, terbaik di festifal film
Singapura. Opera Jawa judulnya, kisahnya diadaptasi dari cerita wayang kita.
Tentu ini sangat membanggakan bangsa kita. Itu kebalikan dari kisah orang-orang Yehuda yang
kisahnya dicatat dalam Yeremia 42. Kisahnya memalukan, menambah aib dalam
catatan sejarah bangsa mereka.
Sebagai judul, kupakai kata “opera”
karena memang sejarah
kelam bangsa ini bak sebuah
pagelaran besar, tokoh-tokohnya mahir
bersandiwara. Dan
kusebut “opera dosa” karena kisahnya kental dengan dosa, meski
dibumbui adegan bijaksana tokoh-tokohnya yang pura-pura peduli agama.
Simak babak pertama ini: Para perwira dan seluruh rakyat yang
tersisa ini, yang luput dari pembuangan ke Babel ini, nampak bijaksana, datang secara sukarela pada nabi Yeremia dan minta
didoakan dan dimintakan petunjuk Tuhan (ay 1-3). Seumur-umur baru kali ini Yeremia lihat
saudara-saudara sebangsanya
itu begitu menghargai dia dan begitu membuka diri
terhadap pelayanannya. Siapa yang tak terharu coba?! Melihat orang berdosa mau datang ke gereja, membuka diri
untuk terima sabda-Nya, pendeta mana yang tak berkobar belas kasih dan gairah penginjilannya (sebagai staf Perkantas, biasanya dalam kasus begini ga hanya kudoakan tuh mahasiswa, kuajak makan! Saking senengnya gitu)
Yeremia juga senang sekali, dan langsung menyanggupi permohonan mereka, apalagi mereka pakai sumpah segala, berjanji mau dengar-dengaran dan taati Firman apapun yang
Yeremia dapat dari Tuhan (ay 4-6). Makin semangatlah Yeremia mendoakan
mereka 10 hari lamanya, membela nasib mereka serta meminta petunjuk pada Tuhan,
padahal Tuhan yang
sudah melarangnya berdoa untuk Yehuda karena kebebalan mereka (Yer 7:16; 11:14; 14:11-12; 15:1-2).
Babak
keduanya menyedihkan: rupanya 10 hari itu juga
menjadi masa berkabung dan masa pahit Yeremia, karena dalam
doa-doanya itu Tuhan singkapkan kepalsuan, kemunafikan para perwira dan
rakyat kaum sisa itu. Sang
nabi merasa tertipu, merasa dipermainkan, atau
apalah yang semacam itu (bukan pengalaman asing buat rohaniwan zaman sekarang ini. Sudah lazim pendeta mengeluh, “Jemaat saya baik sama saya, tapi mengabaikan pesan mimbar saya. Mereka hanya mau dengar
yang menghibur saja. Teguran dan peringatan, mereka tidak suka. Banyak di antara mereka
terus pelihara dosa-dosa lama”).
Babak
ketiga menarik, soroti sikap
Allah dan Yeremia dalam menghadapi para pemain opera dosa
ini, sikap yang sangat sportif dan profesional. Yeremia tetap
serius menyampaikan pesan Tuhan pada orang-orang yang jelas-jelas sudah mempermainkan Allah dan dirinya itu (ay 8-22). Kata “sungguh” dan “camkanlah” berulang kali digunakan untuk
menjelaskan ulang aturan main Tuhan, pilihan kata yang sarat emosi, yakni emosi kasih dan kepeduliaannya pada para pemain opera
dosa ini. Yeremia sungguh ingin mereka membuat
pilihan yang benar, yakni tidak mengungsi dan berlindung pada Mesir, melainkan berlindung pada Tuhan dan mengandalkan Tuhan di negri mereka sendiri.
Babak
terakhir makin menyedihkan: opera dosa ini berujung sad-ending,
bukan happy-ending. Orang-orang Yehuda yang harusnya bersyukur terluput dari pembantaian dan pembuangan ke Babel ini
malah konsisten; sekali bebal tetap bebal. Mereka
menolak taat dan tetap pergi ke Mesir. Bahkan di pasal 43 mereka menuduh
Yeremia bohong dan menyandera Yeremia dan asistennya, Barukh, memaksa dua hamba
Tuhan itu ikut mereka ke Mesir. Yang
mengenaskan buatku adalah fakta tentang siapa saja pemain opera dosa ini, yakni para perwira dan rakyat jelata, orang dewasa maupun besar kecil (ay 8).
Kawan, kurasa
kita semua paham, sampai hari inipun opera dosa ini masih terus
berulang di gereja (terutama dalam gereja di mana angka kehadiran dan nominal
persembahan jadi prioritas pendeta dan majelisnya). Pemainnyapun sama, yakni bisa dari segala usia dan tingkat sosial apa saja. Orang-orang ini leluasa memainkan lakonnya, nampak tulus dan tekun
datang ke gereja, namun hatinya sudah pasang kuda-kuda: pesan mimbar yang menghibur, yang enak-enak kutrima;
yang keras, yang menegur dosa, yang menyakitkan hati silahkan lewat saja. “Yang penting aku rutin datang, persembahan
lumayan, berani apa Pendeta?!” Maka langgenglah opera dosa ini.
Sesungguhnya, kawan, untuk menghentikan opera dosa di gereja itu caranya
harus dengan
menghentikan supply pemainnya. Tak ada cara lain! Bukan dengan mengusir mereka keluar dari gereja
tentunya, melainkan mengajarkan dan beri teladan bahwa kekristenan itu bukan seni peran,
melainkan praktek hidup berintegritas di hadapan Allah yang maha hadir dan maha tahu. Bukan dengan membuang mereka, melainkan
dengan mengubah
aktor-aktor rohani itu jadi kristen sejati. Ayo
kawan, kita doakan program pemuridan atau bentuk-bentuk pembinaan
lainnya agar dilakukan oleh/di dalam gereja kita. Amin.
Tangerang,
30 Juli 2012
Renungan malam:
Yeremia 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar