Sisipan, minggu refleksi:
Pernah dengar
ada orang mati karena urusan sepele? Pernah donk.
Banyak contohnya, lihat aja berita kriminal di layar TV kita. Misalnya, seorang
wanita ditemukan mati di dapur rumahnya, seminggu kemudian pembunuhnya
ditangkap, ternyata adik kandungnya sendiri. Omelan sang kakak yang mengkritik bunyi ngoroknya itu terasa menjengkelkan sekali, membakar habis sumbu kesabarannya.
Contoh lain ada
di koran hari ini: seorang pengendara mobil tewas ditusuk oleh pengamen
gara-gara tidak mau memberi 100 rupiah di sebuah perempatan jalan di Jakarta. Ya, uang 100 rupiah, itu kecil sekali. Tapi sang pengendara naas itu bersikukuh tidak mau memberi. Ia mungkin bosan/jengkel karena terlalu banyak pengamen di jalanan ibukota ini. Si pengamen juga mungkin sedang sepi rejeki.
Sudah siang tapi receh di kantong belum cukup untuk makan pagi, sehingga ia tak
bisa kendalikan diri lihat pengendara ke sekian itu menolak berbagi sedikit rejeki. Bodoh ya kalo kita pikir si pengendara itu: ga mau lepaskan 100 perak, ia
mati.
Tapi dalam berkomunitas, bermasyarakat, berinteraksi sosial, bahkan dalam
interaksi pelayanan, seringkali kita juga lakukan kebodohan yang sama.
Gara-gara tak mau lepaskan
perdebatan tentang hal yang tidak prinsip, relasi jadi mati. Perlu bukti?
Misalnya: 2 guru Sekolah Minggu (SM) debat masalah visitasi ke rumah
anak-anak SM. Yang satu maunya membentuk tim-tim, yang satunya lagi yakin bahwa idealnya itu dilakukan secara
pribadi. Argumen sama-sama baik, harusnya bisa kompromi dan saling melengkapi,
tapi keduanya sama-sama ngotot. Debat diakhiri diam, diam yang sakit hati.
Padahal dua-duanya satu hati, pingin maksimalnya target dan
manfaat visitasi. Konyol bukan?!
Contoh lain bisa masalah istilah. Satu pembina Komisi Pemuda usulkan agar tugas-tugas pengurus dibuat job-desknya. Seorang aktivis lainnya mentahkan ide koleganya di forum rapat itu, dengan menekankan bahwa yang penting itu bukan job-desk,
melainkan tiap pengurus cukup di beri penjelasan sederhana tentang bagiannya masing-masing. Keduanya
berusaha menahan emosi, tapi intonasi suara dan volume yang tinggi (dan wajah
pepaya) tak bisa ditutupi. Keduanya diam, tapi
dalam hati sama-sama menuduh yang lain sengaja menyerang pribadi. Jadi pahitlah relasi. Padahal, debat itu
terjadi dalam kesamaan maksud, yakni agar pengurus tahu tugasnya secara spesifik dan praktis.
Wahai kawan, ini sering terjadi
dalam pelayanan (tak hanya di masyarakat). Dalam pelayanan, panas hati dan
sakit hati sulit dihindari, karena
perbedaan opini. Itu wajar sekali. Tapi menyedihkan juga kalau salah satu tak
mau lepas yang tidak prinsip, ngotot paksakan sudut pandang sendiri, tak mau empati terhadap perspektif pihak lain. Banyak aktifis/majelis/pengurus komisi, bahkan Hamba Tuhan (!) yang lebih rela relasi jadi memanas, layu dan mati, daripada mengalah
atas hal-hal yang sepele, tidak prinsip. Relasi matipun mereka tak lagi peduli.
Padahal mereka sendiri yang menanggung kepahitan
dan sakit hati.
Itulah salah satu ironi kehidupan di jalan persembahan anak-anak Tuhan, kawan. Janganlah kita awetkan kekonyolan serius ini, hemat energi kita untuk perkara-perkara yang lebih prinsip. Ada Amin? Makasih:-)
Filipi
2:2-6
Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini:
hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan
tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya
hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari
pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan
kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu
dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam
Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan
dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
Solo, 8
April ‘06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar