Refleksi
Pelayanan Kristiani
“We serve them,
but we’re not their servant!” Itu statement menarik dari mulut
kepala pelayan hotel dalam film Maid in Manhattan sambil berkemas karena
ikut dipecat akibat melindungi tokoh utama yang dibintangi oleh Jenifer Lopez
itu. Menarik, setidaknya bagiku, untuk dinalar dari
paradigma kristiani. Kita anggap saja dia itu Kristen. Maka, tepatkah
statement tersebut? Kapan itu tepat
atau tidak tepat? Berikut hasil perenungan yang ingin kusharekan.
Judul provokatif di
atas sengaja ingin merangkum sosok pelayan kristiani yang
ingin kuhadirkan. Sarjana itu mewakili
gambaran ideal kita tentang individu yang educated, skillfull di bidang
yang ia pelajari di perguruan tinggi atau yang ia tekuni selama
ini. Kata babu memang lebih sopan substansinya
dibanding kata doulos (budak) yang dikenakan Alkitab pada orang kristen, tapi budak jauh dari realita keseharian kita, maka kata ini sengaja kupakai karena kontekstual untuk kita, lebih
timbulkan rasa malu dan tersinggung pada Si Aku dalam diri kita, bahkan
termasuk pada orang kristen yang memang profesinya babu.
Nah, aku punya
klangenan[i]
akan sebuah sosok pemimpin Kristen yang
mewakili peleburan dua status tersebut. Skill pemimpin, sekaligus
berjiwa pelayan, kepala sarjana-hati babu! Kepala sarjana karena ia kuliah, dan hati babu karena ia Kristen. Mumpuni di bidangnya, sekaligus penuh dedikasi pada Tuhan dan
sesama. Itu berlaku bagi alumni yang fulltime dalam pelayanan sekular
maupun (apalagi) yang terjun ke pelayanan rohani.
Kembali ke statement
kepala pelayan tadi, spirit atau muatan
emosi di dalamnyalah yang menentukan
posisi dia di hadapan Allah: sedang sombongkah dia (reaksi harga diri, ekspresi
Si Aku yang tersinggung)? Atau ia sedang rela dan taat, yakni sadar bahwa mentaati
Allah (dengan membela temannya yang ditindas) itu lebih benar daripada mempertahankan
jabatan. Yang pasti kalimat itu akan jadi sangat ideal dan kristiani, kalau ia melanjutkannya dengan “.., ‘cause we are His servants”.
Artinya, ia melayani
bosnya, pemilik hotel itu, dengan spirit melayani Tuhan.
Dan kalau ia sungguh sedang menghayati konsep “servant” sebagai doulos
sebagaimana dimaksudkan Alkitab, maka dalam ekspresi marahnya itu emosinya relatif akan lebih
stabil, relatif akan lebih terkontrol, lalu bisa lebih nrimo[ii]
secara positif.
Mengapa idealnya demikian, kawan? Karena seorang doulos
itu hilang hak-hak moral, sosial dan hukumnya. Bahkan hak untuk
hidup yang asasi itupun ada di tangan pemiliknya. Kata gantinya bukan I,
you, atau she, he, tapi it, persis barang.
Mentalitas logis yang diharapkan darinya adalah total surrenderness, total
obidience. Tuan selalu benar, kesalahan pasti pada saya. Keluhisme, ngomelisme
apalagi marahisme tidak ada dalam kamusnya. Rasa bangga diri,
kenyamanan atau kebahagiaan pribadi sudah dicoretnya dari daftar mimpinya.
Rendah dan hopeless banget ya?!
Dan doulos
itu memang sebutan yang pas buat kita. Dulu kita budak dosa, sekarang budak
Tuhan. Dulu takluk pada dosa, sekarang pada Allah. Kita tahu Allah itu tidak
sejahat kebanyakan tuan jaman dulu apalagi sejahat Iblis. Karenanya kita
sebenarnya tidak keberatan jadi babu Allah, malahan bangga. Tapi kalau
jadi babu Allah berimplikasi pada keharusan jadi babu sesama
kita, jadi lain masalahnya. 'Daging' kita berhasrat menjadi yang lebih utama, menjadi yang lebih dilayani oleh sesama kita.
Namun ajaran dan
teladan Yesus menegaskan bahwa Tuan kita di surga itu identifikasikan diri-Nya dalam
diri sesama kita di dunia dan meminta kita, para doulos-Nya,
melayani Dia dengan melayani sesama (mis. Mat. 25:40, Yoh. 13). Lebih jauh
Alkitab tunjukkan bahwa jadi babu, melayani
orang lain, itu merupakan bagian utama kehidupan kristen : Pertama, itu
suatu cara melayani Tuhan (seperti Samuel yang jadi cantriknya Imam Eli itu, I
Sam 2:1-11). Kedua, itu tanda yang
membedakan kehadiran orang kristen di dunia (to
serve, not to be served). Ketiga, itu ciri kepemimpinan kristen sejati
(Mat. 20:25-26). Dan keempat, itu cara
terbaik untuk bisa makin merupa Kristus (Yoh. 13:14-16).
Now what? Aku ingin ajak tiap kita untuk terus belajar dan
hayati the art of being a babu dalam berelasi maupun jalankan tugas.
Sebagai para doulos di sekolah, kampus dan kantor-kantor, mari kita terima
faktanya, bahwa tiap kita punya tuan-tuan yang harus
kita layani. Mari asah terus kecerdasan kita dalam melayani mereka (Servanthood
Quotient?). Percaya Diri (karena sarjana) sekaligus Tahu
Diri (karena cuma seorang doulos),
sehingga bisa Bawa Diri secara kristiani. Kalaupun ada situasi kita menolak melayani mereka, pastikan itu hanya karena kita sedang lebih memilih mentaati Tuan kita di sorga.
Mentalitas manut,
ngalah, pahami maunya orang dan merespons
sebaik mungkin serta etos kerja do the best, bahkan
do more than we’re expected, sepi ing pamrih rame ing gawe[iii],
Gusti sendiko dawuh[iv],
tidak adigang adigung adiguno[v]
harus bisa jadi sebuah citra sekaligus substansi kehadiran kita. Bloko suto[vi]
boleh, asal tulus dan dalam konteks kebenaran. Etika para pecundangkah itu?
Sama sekali bukan. Karena bersikap seperti itu butuh
keberanian lebih besar. Dan karena ada karakter Allah
di dalamnya, karena itu mentalitas Yesus sendiri!
Sulitkah tumbuh-kembangkan
mentalitas babu ini dalam diri kita? Saya sadar ‘ya’. Pengalaman tinggal di
asrama pendidikan polisi di masa kecil, juga tinggal di asrama seminari saat
ini bisa memberi bukti padaku
betapa tidak bisa diandalkannya program-program kerja bakti bahkan kurikulum
yang dirancang untuk siapkan individu-individu menjadi abdi masyarakat atau
pelayan jemaat itu. Cepat atau lambat nampaknya tiap orang tergelincir, jadi bermental dan berperilaku tuan, bergaya bossy.
Gengsi, harga diri, reputasi, takut rugi, takut dianggap kalah, dll. nampaknya
masih merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar oleh para doulos
Kristus jaman ini.
Tapi ini bukan soal
gampang atau sulit. Ini tentang sebuah kebenaran, bahwa the christian’s way
to greatness is serving others. It’s a matter of divine order, God’s order for
every christian. Respons yang diharapkan
hanya satu: ketaatan! Nampaknya pilihan
kita tinggal dua; jadi
pecundang di mata dunia atau di mata Allah? Pilih jadi babu dunia atau babu
Allah yang mengasihi kita?
Selamat atas pilihan
Anda!
Malang, Okt 2002
Ini artikel pertama sayaJ,
dimuat di buletin Visi Perkantas Malang
[iii] fokus pada tugas, bukan pada upah
[iv] taat penuh, anggap itu sabda Tuhan sendiri
[v] sewenang-wenang, semaunya, mumpung menjabat/memimpin
[vi] ceplas-ceplos, lugas dan tegas
1 komentar:
Membukakan pikiranku selama ini mas :)
terima kasih
Posting Komentar