Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Senin, 12 Oktober 2015

Lantai Gereja Begitu Licin

(Dari jurnal harian semasa praktek pelayanan)
Pengalaman pertama di ladang praktek ini memberiku cukup alasan untuk waspada. Baru tiga minggu di sini, kudapati “lantai gereja begitu licin.” Kupakai ungkapan ini untuk gambarkan atmosfir atau situasi pelayanan yang ternyata sangat berpotensi gelincirkan visi maupun motivasi kami, menjungkalkan ikrar suci yang kami junjung tinggi. Tanpa sadar, tekad kami melayani bisa pudar, berubah jadi semangat dilayani; kerendahan hati dan jiwa menghamba bisa bergeser, jadi arogansi dan perilaku tuan besar.
Memang benar, gembala sidang yang sedang studi lanjut dan sering keluar kota itu limpahiku banyak tugas. Memang benar, semua orang di gereja ini seolah atasanku, merasa berhak meminta waktu dan tenagaku, mulai dari ketua majelis hingga koster. Memang benar, terkadang aku merasa dieksploitasi, diperah seperti sapi, tapi semua itu tak membuatku menyerah dan pergi. Mengapa? Karena realitas seperti itu hanyalah salah satu sisi mata uang. Sisi lainnya adalah beragam kemuliaan yang disediakan bagiku, berbagai perlakuan yang melenakan, yang membuatku harus simpulkan bahwa “lantai gereja itu ternyata sangat licin.”
Betapa tidak, gereja sering tempatkan kami “di depan.” Kami didaulat bicara di mimbar (sampaikan Firman, pimpin doa, mengajar), umumnya diberi fasilitas nyaman, dan kerap dijamu makan, bahkan diminta nasehat atas berbagai masalah kehidupan. Posisi “di depan” seperti ini jelas posisi seorang bintang, pusat perhatian. “Daging” siapa yang tak senang?! Wajar bila cepat atau lambat kami tergelincir. Semula rindu wartakan Sabda Ilahi, kini mengharap kagum dan puji. Mimbar itu awalnya medan bhakti, perlahan jadi etalase prestasi rohani. Ah, seharusnya kami, bocah-bocah teolog ini, tempatnya di belakang, sebagaimana seharusnya tempat para pelayan beraksi.
Tapi setelah kurenungkan, ada dua faktor bawaan dalam diri kami sendiri yang juga berpotensi gelincirkan kami: yang pertama adalah status unik kami, Hamba Tuhan. Status itu umumkan peran ganda kami: sebagai pemimpin dan pelayan. Tak mudah menjaga keseimbangan dalam menghidupi peran ganda ini. Kami bangga jadi pelayan Allah, tapi ada saat-saat kami tak rela  menjadi pelayan sesama (jemaat). Sebutan “Hamba Tuhan” kami pegang erat seringkali bukan dalam konteks menjaga semangat melayani, melainkan untuk menegaskan pada jemaat betapa tinggi dan mulia status kami. Apalagi, meski ada yang perlakukan kami seperti hamba (pelayan), masih banyak jemaat yang pandang kami para rohaniwan ini seperti Tuhan!
Yang kedua, modal yang dibekalkan pada kami. Kami dipersenjatai dengan ilmu teologi, psikologi, dan skill organisasi, dan diberi gelar sarjana Teologi. Kami hayati itu sebagai anugrah dari Dia yang memanggil dan mengutus kami. Tapi itu pula yang bikin kami gagah sekaligus mudah lupa diri, merasa diri orang penting. Kami para doulos (pelayan) ini (tanpa sadar) berangkat dengan dada membusung tegak, dengan mental bangsawan rohani yang berharap dihormati.
Dalam hening malam ini kucecar kesadaranku dengan pertanyaan-pertanyaan introspeksi ini: spirit apa yang mendikte tiap langkahku di jalan yang kusebut “jalan persembahan” ini? Spirit mencari kemudahan, atau pikul salib? Membangun kerajaanNya, atau membangun masa depanku sendiri? Lebih tegas lagi, apakah aku ini seorang loyalis pada panggilanku, siap mati di jalan salib, jalan persembahan ini, atau aku ini cuma seorang oportunis yang sekedar ingin bertahan hidup dengan cara mengambil keuntungan dari berita salib??
Pengabdian kaum profesi, orang-orang upahan dunia itu, pada negara, pada tuan-tuan mereka di bumi ini begitu maksimal (mis. tentara, guru, jaksa, pilot, satpam, dll.) seringkali nampak total. Banyak di antara mereka menghayati profesinya sebagai panggilan Allah, rela menyambut berbagai resiko pekerjaan (dan banyak yang benar-benar mati) demi tugas. Ironisnya, di ladang pelayanan ini tak jarang kujumpa hamba-hamba Tuhan yang hindari resiko-resiko dari panggilannya. Mereka (atau kami, termasuk aku), suka main aman, tidak lugas britakan kebenaran, tidak tegas menegur ketidak-kudusan, enggan peragakan kasih Tuhan pada domba-domba secara maksimal. Mereka, kami, terus mencoba memilih salib yang lebih ringan, selalu berupaya perlebar “jalan yang sempit  namun menuju kehidupan” ini; maunya hindari Kalvari, tempuh jalan pintas menuju gerbang kemuliaan sorgawi. O betapa malunya..
Ya TUHAN, Tuan kami, bebaskan kami dari idealisme pelayanan yang semu, sekedar teori. Di tengah licinnya lantai gereja ini, biarlah ladang praktek maupun ladang pelayanan justru menjadi pengalaman yang merendahkan hati, ajang pemurnian tekad menghamba, mengabdi umat-MU seumur hidup kami. Agar dampak pelayanan rohani mampu tembusi tembok gereja, tatkala jemaat benar-benar alami kasihMU melalui totalitas pelayanan kami dan termotivasi wujud-nyatakan kasih, kebenaran dan keadilan, shalom Allah itu, ke dalam berbagai situasi pergumulan komunitas, kota dan bangsa kami.  
Temanggung, Rabu, 9 Juni 2004, 22.11 WIB

Service is is an act (willing & doing) not according to his own purposes or plans but according to the purpose, need, disposition, and direction of others. The doer is not concerned about his own glory but about the glory of the other...
(Karl Barth)

Lihat, seperti mata para hamba laki-laki memandang kepada tangan tuannya, seperti mata hamba perempuan memandang kepada tangan nyonyanya, demikianlah mata kita memandang kepada TUHAN, Allah kita, sampai Ia mengasihani kita

(Mazmur 123:2)