Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Sabtu, 31 Desember 2016

Selamat Bahagia; Versi siapa??

Selamat membuka lembaran pertama tahun 2017, kawan! Doaku di awal tahun ini adalah untuk kebahagiaan kita sekalian.
Benar, bahagia memang relatif. Tiap orang bisa punya kriterianya masing-masing, prioritas tolok ukurnya masing-masing. Maka ijinkan di forum ini kupilihkan kriterianya, tolok ukurnya yang kupikir bisa berlaku buat kita semua, karena sumbernya adalah dari alkitab, dari kotbah Yesus di Bukit dalam Injil Matius 5:3. "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”
Dalam konsep Yesus, dalam pandangan sorga, orang miskinlah yang disebut bahagia. Miskin rohani, terutama. Tapi miskin jasmani termasuk juga. Miskin di sini bukan kondisi zero atau Nol. Ini kondisi minus. Seperti itulah memang yang dimaksud Yesus lewat kata yunani ptokoi, miskin yang absolut. Kata bangkrut mungkin lebih tepat. Kata temanku, bangkrut itu ketika kita sudah jual semua aset kita, tetap saja kita masih punya hutang.
Kabar baiknya (semoga) adalah: setiap kita tak perlu berusaha penuhi kriteria itu. Kita semua memang sudah masuk kriteria itu. Secara rohani kita ini miskin, bangkrut, dililit hutang. Ya, itulah yang diingatkan Paulus kepada jemaat Roma: “Kita adalah orang yang berhutang.” berhutang pada Allah (Roma 8:12).
Mengapa berhutang? Karena setiap kita, tanpa kecuali, adalah orang berdosa. Sebaik atau sesuci apapun yang kita tampakkan di muka umum, namun kalau kita berani berdiam diri 1-2 menit saja di hadapan Allah, jujur menilai diri, kita pasti simpulkan yang sama: betapa berdosanya aku ini: pernah berbuat dosa dan masih berbuat dosa. Pernah miskin bahkan mungkin saat ini dalam kondisi makin bangkrut rohani. Betapa beruntungnya aku karena iman kepada Tuhan Yesus itu telah memungkinkanku menikmati anugrah pengampunan  dan meluputkanku dari hukuman dosa, maut itu, bahkan menjaminku kelak mengambil bagian dalam kemuliaan kekal bersamaNya. Aku orang yang berhutang, pada Allah!
Kawan, orang yang berhutang itu punya tanggung-jawab membayar hutangnya bukan? Umumnya, normalnya, rasa tanggung jawab membayar hutang itu akan sangat memenuhi pikirannya, akan sangat mempengaruhinya dalam menentukan keputusan dan tindakan selanjutnya, bahkan mengubah gaya hidupnya: tunda beli yang inilah, batalkan rencana yang itulah, jangan lagi lakukan kebiasaan yang itulah, dll. Semua dalam rangka berhemat untuk memastikan bayar cicilan lancar. Maka sudah seharusnya donk kalau di tahun yang baru inipun pikiran kita, segala rencana dan keputusan kita, gaya hidup kita harus kita arahkan untuk membayar, mencicil, membalas kasih Tuhan Yesus!“
Untungnya, kita bukan berhutang pada rentenir jahat, melainkan pada Allah yang penuh kasih & rahmat. Sehingga kita membayar hutang dosa kita tidak dengan terpaksa atau hanya karena kewajiban, melainkan dengan kerinduan membalas kasih dan pengurbanan Tuhan.
Yang perlu senantiasa kita waspadai dan hindari adalah pikiran dan sikap tidak tahu diri atau sikap sombong yang tidak lagi merasa punya hutang. Bersyukur Paulus sudah ingatkan aku, dan aku senang bisa mem forward-nya pada kawan semua: Setiap kita, adalah orang yang berhutang pada Allah. Sadar kondisi bangkrut juga bikin kita sadar kita tak punya modal untuk mengasihi dan membahagiakan keluarga kita, tak punya energi berbuat kebajikan dalam komunitas kita apalagi dalam misi Allah. Dan itu bikin kita andalkan Tuhan, minta modal dari Tuhan dan bergantung pada Allah sepenuhnya.
So, tetap ingin bahagia di tahun baru? Bahagia versi siapa? Versi Kotbah di Bukit donk, versi sorga donk. Makanya, stay aware, jaga ketahu-dirian, kesadaran sebagai orang yang miskin, yang bangkrut, kawan. Stuju? Jika setuju, ijinkan aku berdoa bagi kita semua: "Tuhan, di tahun 2017 ini, berbahagialah aku dan setiap kawan pembaca blog ini, khususnya yang masih tahu diri, merasa miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah.” Amin. Selamat Tahun Baru, kawan!!


Celebes, pkl 00.01 WITA
1 Januari 2017

Di tengah hujan kembang api dan petasan yang meledak-ledak tiada henti di langit Makassar. Sebuah cara merayakan yang sangat mahal.

Ensiklopedia Kasih dan Pengorbanan

Selamat jelang tutup tahun 2016, kawan. Ada tayangan wajib di TV, di forum-forum diskusi, yakni Ensiklopedia akhir tahun; ensiklopedia ekonomilah, politiklah, kriminalitaslah atau ensiklopedia bencana-bencana nasional sepanjang tahunlah, dll. Semua disorot lagi secara sekilas namun menyeluruh, disertai harapan segala sesuatunya bisa lebih baik di tahun depan.
Di jam-jam terakhir ini, ijinkan aku mengajakmu bikin ensiklopedia hidup pribadi kita, kawan: mau kilas balik kondisi keuangan kita, suka duka dalam pekerjaan kita, studi kita atau moment-moment penting dalam keluarga kita. Kalau masih ada waktu, sempatkan kilas balik yang satu ini, yang kusebut ensiklopedia kasih & pengorbanan.
Mari simak pengalaman 3 orang ini: 
Pertama, seorang ibu, jemaat gerejaku, baru saja melahirkan anak pertama yang beratnya 3,5kg. Ia bercerita dengan penuh emosi: "Aduh pak, sakitnya bukan main. Saya seperti taruhan nyawa. Saya jadi tersadar lagi, betapa besarnya kasih dan pengorbanan mama. Sekarang, saya jadi pingin pulang kampung, ketemu mama, pingin memeluknya, pingin sampaikan trima kasih dan hormat sebesar-besarnya pada mama."
Kedua, seorang wanita muda di Inggris, entah siapa namanya. Beberapa tahun lalu surat kabar di sana ramai memberitakan kisahnya. Dia memenangkan perlombaan berhadiah besar: hadiahnya 3 minggu keliling dunia menikmati hotel-hotel terbaik serta fasilitas mewah lainnya. Wanita ini ternyata tidak memanfaatkan hadiahnya, karena harus menjaga seorang teman baiknya yang sedang opnam di RS dan akan menghadapi operasi. Wartawan berebut mewawancarainya, karena tidak puas dengan alasan tersebut: "Nona, pasti ada orang lain yang bisa menjaga teman Anda, dan pasti teman Anda itu akan sangat mengerti, karena ini adalah kesempatan sekali seumur hidup." Beberapa saat wanita ini menolak menanggapi, namun karena tak tahan terus dikejar-kejar wartawan akhirnya ia buka suara. "Baik, kalian benar-benar mau tahu alasanku? Itu karena apa yang telah temanku itu lakukan padaku 3 tahun lalu. Waktu itu aku terlibat narkoba, aku diusir keluargaku, dipecat dari tempat kerjaku. Dialah satu-satunya orang yang merawatku. Dia menampungku di rumahnya. Tiap malam dia bicara denganku, mendorongku untuk melawan kecanduanku. Seringkali aku muntah-muntah tengah malam, dia bangun dan membersihkan muntahanku, mengganti bajuku, membawaku ke dokter, bicara dengan dokter untuk memastikan proses pemulihanku berjalan baik. Ia mendampingiku dalam sidang-sidang di pengadilan kasus narkobaku. Ia bahkan mencarikanku pekerjaan. Dia..dia sangat mengasihiku, ...dia telah banyak berkorban untukku. Dan sekarang ia dia tak berdaya dan akan dioperasi. Nah, apa aku punya pilihan lain?! Menemaninya di RS itu hal kecil yang bisa kulakukan untuknya, tak sebanding dengan apa yang telah ia lakukan untukku."
Ketiga, Paulus. Ya, si pembuat-penjual tenda dan rasulnya Yesus Kristus di alkitab itu. Ia menulis: “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, ... Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” (2 Kor 5:14-15). Ayat-ayat ini adalah bagian dari penjelasan Paulus atas isu yang berkembang dalam jemaat Korintus tentang mengapa Paulus sebagai rasul kok hidupnya penuh penderitaan, bahkan nampak sengaja melayani dengan semangat pengorbanan: misal, menolak haknya mendapat tunjangan hidup dari jemaat, lebih memilih bekerja bikin & jual tenda untuk menafkahi dirinya sendiri dan membeayai perjalanan misinya; tidak seperti pengajar-pengajar hikmat lainnya yang nampak sukses (= terkenal, makmur, pendengarnya banyak), karena suka mencari keuntungan dan kemuliaan diri. Nah, di ayat-ayat inilah Paulus menuliskan penjelasannya: "Sebab kasih Kristus[lah] yang menguasai kami,.."
Kawan, ada benang merah dalam pengalaman 3 orang ini: mereka sama-sama tersentuh dan diubahkan oleh kasih dan pengorbanan seseorang dalam hidup mereka. 3 orang ini mengalami apa yang disebut logika kasih & pengorbanan”. Begini prinsipnya: Kasih dan pengorbanan yang dirasakan seseorang itu mengubahkan, membuat orang itu tak berdaya selain membalasnya dengan semangat kasih dan pengorbanan yang sama.
Jadi, kawan, mengingat dan menyadari kasih dan pengorbanan seseorang (teman, orang tua, apalagi mengingat dan menyadari lagi kasih & pengorbanan Kristus), itu mengubah hidup kita, akan membuat kita merasa tak punya pilihan lain, selain membalasnya dengan sikap atau semangat kasih dan pengorbanan yang sama, entah dalam pekerjaan, pelayanan atau dalam berelasi.
So, yuk kita evaluasi hidup kita jelang tutup tahun tengah malam nanti: dengan semangat apa kita menjalani hidup kita selama ini? Ini moment yang tepat kita menghitung berkat Tuhan di seluruh aspek hidup kita: yakni mengingat kasih dan pengorbanan orang-orang dalam hidup kita, terutama mengingat kasih dan pengorbanan Tuhan Yesus yang telah menyelamatkan kita dari hukuman kekal yang seharusnya kita tanggung sebagai upah dosa kita. Biarlah ingatan dan kesadaran akan kasih dan pengurbanan banyak pihak itu menjadi motivasi sekaligus energi kita untuk [tidak bisa tidak, merasa tidak punya pilihan lain selain] beribadah, melayani, membangun relasi, studi dan bekerja dengan semangat kasih dan pengorbanan yang sama.
Dalam prakteknya, logika kasih apalagi pengorbanan ini sulit diterapkan. Dunia sudah ajari kita sejak kecil hidup dengan semangat persaingan, permusuhan dan logika untung rugi. Tapi mengapa harus tetap kita lakukan? Karena, walau sering bisa terasa tidak “masuk akal,” sikap-sikap seperti ini selalu “masuk hati,” punya potensi mengubahkan: mengubah orang, mengubah komunitas keluarga kita, gereja kita, kantor kita, bahkan masyarakat kita. Terutama, karena memang inilah gaya hidup manusia baru dalam dunia baru pasca kebangkitan Yesus, sangat berpotensi memuliakan Tuhan di tengah dunia yang merindukan teladan, dunia yang diam-diam terus mengawasi anak-anak Tuhan!

Kota Anging Mammiri,

31 Desember 2016

Sabtu, 24 Desember 2016

Natal itu Sebuah Peristiwa & Proses!

Kita sudah hafal kisahnya, paham kronologisnya; Malaikat persiapkan para pemerannya: Zakaria dan Elisabeth, Yusuf dan Maria, para gembala, para majus, Simeon, Hanna, serta figuran lainnya. Dan, terjadilah, di malam yang sunyi itu, silent night itu, terlahir di kandang sederhana, terbungkus lampin di palungannya, Allah menjadi manusia, penuhi janji dan nubuatan dahulu kala.
Satu peristiwa yang tak pernah terbayangkan manusia sebelumnya, dan masih banyak manusia yang gagal percaya setelah mendengar kisahnya. Wajar. Karena dongeng, legenda tentang dewa-dewa menyamar jadi manusia itu jamak kisahnya, kita familiar pula dengan cerita superman, superhero dari planet lain yang sehari-hari menyamar jadi manusia biasa. Itu peristiwa incognito, avatar. Sang dewa/ superhero “menyamar” sebagai manusia biasa, mencicipi sebagian pengalaman manusia (relatif terlindungi dengan baik dari pengalaman derita manusia), dan hanya untuk sementara.
Inkarnasi beda. Allah yang tiada bandingnya itu sungguh-sungguh menjadi manusia. Lahir dari rahim manusia, dibesarkan dalam keluarga dan masyarakat manusia, 30an tahun hidup di dalam dunia. Kecuali berbuat dosa, Ia alami semua pengalaman manusia (hingga derita terburuknya: penolakan, kebencian, kekerasan dan kematian!). Setelah bangkit Ia bahkan membawa serta kemanusiaannya itu ke sorga kekalNya.
Jadi natal, moment kelahiranNya di dunia, itu peristiwa akbar tiada tara. Wajar bila dikenang, disyukuri dan dirayakan setiap tahunnya; dengan kegembiraan, kemeriahan, dengan kelap kelip lampu dan lilin-lilin menyala di rumah, di rumah ibadah, bahkan di pusat perbelanjaan dan di ruang publik lainnya. Sangat wajar.
Tapi kawan, apakah natal itu hanyalah sebuah peristiwa dua ribuan tahun lalu yang kini menjadi peristiwa di setiap akhir tahun saja? Saya berbaik sangka, percaya kita sepakat menjawabnya: Tidak. Maka, uraian sederhana berikut ini kuniatkan sekedar mengartikulasikan apa yang kita sepakati bersama:

Nubuat & konteks kelahiranNYA
Nabi Yesaya salah satunya, telah lama mengumumkannya: Pasal 60:1 Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. 60:2 Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu. Ini adalah ayat-ayat Mesianik, menubuatkan kedatangan Mesias, Sang Pembebas, juru selamat bangsa Israel. Nabi Yesaya memakai Metafora “Terang”: “Hai Israel, Terangmu sudah datang; Seperti matahari terbit, keselamatan telah terbit atasmu.”
Bagi banyak orang di jaman kita yang tidur malamnya relatif terasa nyaman dan aman, berita bahwa esok pagi matahari akan terbit tentu tidak terasa istimewa. Tetapi di sini nabi Yesaya sedang berbicara kepada orang-orang yang mengalami malam-malam panjang yang tidak hanya gelap tetapi juga kelam, penuh kepahitan dan tidak punya harapan.
Ayat-ayat sebelumnya, yakni pasal 59:9-15 memotret situasi-kondisi bangsa Israel yang gelap, baik akibat selingkuh dengan berhala, juga akibat penjajahan bangsa asing maupun penindasan rezim penguasa, raja mereka sendiri, termasuk akibat kejahatan di antara rakyat sendiri: di Yes 59:13 disebutkan terjadi pemerasan dan penyelewengan kekuasaan secara masiv; Ay 14-nya sebutkan “hukum terdesak ke belakang, keadilan berdiri jauh2; kebenaran telah hilang; bahkan ay 15 contohkan: Jika ada orang yang tulus dan baik, orang baik itu justru menjadi korban kejahatan. Di ay 9 mereka berseru: “Kami menanti-nantikan terang, cahaya; kami meraba-raba seperti orang buta.”
Jadi ketika mereka mendengar nabi Yesaya berseru, “Terangmu, keselamatanmu sudah datang!” Wow, itu pasti sesuatu banget. Bagi telinga yahudi, frase “Terang yang datang” itu pasti segera mengingatkan mereka pada satu sosok, satu tokoh yang telah lama mereka nantikan kedatangannya, yakni: Mesias, Raja yang dijanjikan Tuhan, yang akan membebaskan mereka dari para musuh Israel, dan akan memerintah sebaik bahkan lebih baik dari Daud, raja mereka yang terbesar. Pemerintahan Raja Mesias itu akan menegakkan kebenaran, keadilan dan shalom (Yes 9:1-6). Semua itu adalah nilai-nilai, kondisi-kondisi yang mereka impikan, sangat mereka nantikan.

Panggilan & Pengutusan kita
Tapi perhatikan pasal 60:2 itu: kabar baik nubuatan Yesaya ini juga mengandung sebuah perintah: Ternyata, tidak cukup mereka itu hanya menyambut terang itu, mereka juga harus melakukan sesuatu, yakni... “Bangkitlah, menjadi teranglah...” Artinya, umat pilihan Allah ini juga harus menjadi terang; harus turut memancarkan terang.
Mengapa? Karena di ay 2 nabi Yesaya sebutkan bahwa ternyata kegelapan itu tidak hanya meliputi bangsa Israel, melainkan bangsa-bangsa lain juga, bahkan semua bangsa. Jadi kegelapan ini bersifat global, total. Ini adalah gambaran dari dosa yang telah menggerogoti seluruh umat manusia, tanpa kecuali; merusak seluruh aspek kemanusiaan kita, tanpa sisa.
Dalam situasi dunia yang gelap karena dosa seperti inilah nabi Yesaya mengabarkan: “Terang itu sudah datang!” Artinya, Allah tidak menawarkan Terang itu dari sorga yang jauh lalu mengundang manusia untuk berjuang menjangkaunya. “Terang itu sudah datang” artinya adalah, Allah memilih/ memutuskan untuk turun, menerobos, menembus batas pemisah antara diriNya [yang adalah Terang] dengan manusia yang hidup dalam kegelapan.
Ini benar-benar sebuah keputusan penuh kasih, yang Allah buktikan lewat natal, melalui kelahiran bayi kecil bernama Yesus, Immanuel itu; bayi yang kelak ketika beranjak dewasa, lewat ajaranNya, teladan gaya hidupNya, & terutama lewat kematianNya di kayu salib itu telah menunjukkan bahwa Ia bukan hanya Terang bagi bangsa Israel saja, melainkan juga bagi segala bangsa. Ia bukan hanya pembebas bangsa Israel dari belenggu Kaisar Romawi & Herodes, melainkan juga dari belenggu dosa. Bayi natal ini adalah Juru Selamat dunia! Karena itulah seluruh dunia, segala bangsa, butuh Terang itu, butuh keselamatan itu.
Itulah sebabnya, nubuat/kabar baik dari nabi Yesaya ini disertai amanat, perintah: “Bangkitlah, menjadi teranglah.” Bangsa pilihan Allah ini tidak boleh berhenti hanya sebagai penerima Terang. Ia harus juga menjadi pemantul, memancarkan Terang itu kepada seluruh bangsa yang hidup dalam kegelapan.
Ada banyak orang yang belum melihat Terang itu (Yoh 3:19-26), karena dibutakan oleh kegelapan dunia ini; ada banyak orang yang tidak ingin melihat Terang itu (Yoh 1:10-11). Orang-orang itu seperti raja Herodes & kaisar Roma, yang penuh iri dan ketamakan, yang begitu gila kekuasaan sampai halalkan segala cara untuk mendapatnya, mempertahankannya. Orang-orang seperti itu tidak ingin melihat Terang itu. Mereka lebih memilih kegelapan.
Karena mereka masih asyik dengan rencana dan aksi jahatnya: mulai dari pencopet, begal, hingga pejabat korup, mulai tukang selingkuh hingga politikus licik; dari bandar narkoba hingga teroris yang sadis. Orang-orang seperti itu tentu tidak ingin melihat Terang, karena Terang itu hanya akan membuat kejahatan mereka tersingkap. Tapi kawan, tidak ingin melihat Terang itu satu hal. Butuh melihat Terang itu hal yang berbeda, bukan?! Untuk orang-orang seperti itulah kita dipanggil & diutus menjadi terang.
Benar-benar kita ini beruntung, kawan. Sama seperti gembala & para majus, kita sudah melihat dan menerima Terang itu. Kita percaya bayi mungil di palungan Betlehem adalah Dia yang tersalib & bangkit, menjadi Terang dunia, Juru Selamat dunia. Terang itu telah memberi kita kepastian keselamatan, hidup kekal dan damai sejahtera. Hidup kita dituntun & diberi kekuatan oleh Terang itu. Mari terus tinggal & terus berjalan di dalam Terang itu (Yoh 8:12).
Tapi jangan lupa, kita juga harus bangkit & menjadi terang. But How? Bagaimana kita menjadi Terang? Apa yang kita pahami bahwa Yesus adl Terang dunia, keselamatan bagi dunia? Melihat konteks sejarah Israel, juga selaras dengan metafora “Terang” yang dipakai nabi Yesaya ini, begini seharusnya kita memahaminya: ...Seperti fajar yang mulai menyingsing di ufuk timur itu menjadi tanda bahwa malam akan segera berakhir, maka kelahiran Yesus itu merupakan tanda awal berakhirnya kegelapan dunia ini; malam-malam yang kelam penuh ketakutan, penindasan, kekerasan dan ketamakan itu akan berakhir.
Di malam yang gelap itu, di tempat yang sederhana itu, dalam wujud bayi tak berdaya itu, Terang Allah mulai bersinar. Kelahiran Yesus itu menjadi tanda dimulainya hari yang baru, pemahaman yang baru dan cara-cara yang baru tentang bagaimana kita hidup di dalam dunia ini, yakni hidup yang kekal, yang berkualitas, karena terhubung/berelasi dengan Allah sejati, Tritunggal kudus, Pencipta sekaligus Juru Selamat dunia itu sendiri.
Kelahiran Yesus, sebagaimana dinubuatkan nabi Yesaya ini, bukanlah undangan untuk memeluk agama pribadi yang di dalamnya kita bisa melarikan diri dari persoalan2 dunia, menyembunyikan diri & mencari rasa aman & kenyamanan diri. Natal, sebagaimana dinubuatkan nabi Yesaya, juga dilaporkan penulis 4 injil itu, adalah kisah tentang Allah yang akhirnya turun tangan, datang ke dunia ini, menghadapi masalah-masalah dunia ini; masalah kejahatan, amoralitas, kekerasan, penindasan yang terjadi di dunia ini. Itulah kisah natal.
Nah, jika seperti itu kita memahami maksud & konteks Yesus sebagai Terang Dunia, maka kita bisa sepaham juga, bahwa natal itu bukan sekedar sebuah peristiwa di masa lalu, melainkan sebuah proses, harus berlangsung terus hingga kedatanganNya kali kedua. Proses menjadi Terang, menghadirkan Terang seperti diamanatkan nabi Yesaya ini. Proses yang mengharuskan kita bercermin pada palungan itu, pada bayi mungil di dalamnya, yang memancarkan janji & pengharapan bagi dunia itu;  bayi mungil yang ketika beranjak dewasa itu mengajarkan & memberi teladan gaya hidup Kerajaan Allah itu.
Sebuah gaya hidup yang menginspirasi, menular  secara positif, yang ternyata tidak dibangun  dengan hasrat mengambil melainkan hasrat memberi, bukan dengan menebar ketakutan melainkan dengan menularkan iman & pengharapan, bukan lewat konflik atau aksi kekerasan & balas dendam melainkan lewat rekonsiliasi & sikap mengampuni, bukan dengan semangat mendominasi- menguasai, melainkan dengan semangat melayani. Dengan kata lain, yang [akan] diajarkan dan diteladankan bayi di palungan itu adalah sebuah cara hidup baru yg akan sangat efektif memancarkan Terang injil Tuhan, keselamatan Tuhan.
Jadi, mari datang ke palungan itu, dituntun oleh lilin-lilin kecil yang biasa kita pegang sambil menyanyi kidung “Malam Kudus” itu: Biarlah lilin kecil itu menjadi simbol sikap kita yang menyambut Sang Terang itu, merayakan keselamatan yang dihadirkan Sang Terang itu. Terlebih penting, ijinkan lilin itu mewakili hati kita yang telah dibuat menyala oleh Sang Terang itu; hati yang rindu terlibat dalam misi yang diemban bayi natal itu, yakni menegakkan Kerajaan Allah di bumi, menghadirkan keselamatan Allah di tengah bangsa & suku-suku bangsa, di tengah kota kita, di tengah komunitas studi & profesi kita.  Keselamatan, yang menurut nubuatan nabi Yesaya ini, bercirikan SHALOM (damai sejahtera), JUSTICE (keadilan) & TRUTH (kebenaran).
Kiranya itu menjadi tekad kita bersama, kawan; jadi semangat kita mengakhiri tahun 2016 ini, bahkan menjadi semangat kita menjalani sepanjang tahun baru, bahkan sepnjang hidup. Maukah kita? “Selamat Natal 2016 & Hepi Nyu Yier 2017, everyone!

Makassar, Noel 2016

Rabu, 07 Desember 2016

Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu

(Refleksi pastoral Menyikapi Radikalisme Agama)

Arti peribahasa di atas adalah: "walau orang menggunjing, mencemooh, mengancam, walau situasi menghalang merintang, jangan dihiraukan, the show must go on, rencana tetap jalan." Memang peribahasa ini netral, bisa dipakai oleh orang baik pun orang jahat. Refleksi ini mau semangati orang kristen yang baik (ya, tentu saja, ada yang tidak baik) yang merencanakan hal-hal baik.
Seratus persen saya aminkan peribahasa ini. Saya ada pengalaman soal gonggongan anjing. Pernah pelihara 29 anjing, saya tahu benar kalau anjing menggonggong itu tidak menggigit”.  Seringkali tamu saya terluka karena lari dan terjatuh, bukan karena gigitan. Kalau si tamu tetap tenang, cepat atau lambat smua gonggongan pasti akan diam (bahkan sering si tamu segera saja diabaikan). Jadi, tips saya kalau kita digonggongi anjing: usahakan tetap tenang. Jangan biarkan anjing itu tahu kalau kita takut. Panik, lari, atau coba lempari atau pukul anjing, bisa lebih runyam. Anjing akan senang, makin semangat, karena temukan kepuasan. Demikian pengalaman saya, kawan. Itu sebabnya saya berani dukung peribahasa di atas: kalau digonggongi orang jahat, usahakan tenang & terus aja rencana baik kita jalankan.
Seperti itulah inti nasehat Rasul Paulus di surat Filipi 1:27-30: “Hai jemaat Filipi, kalau kalian digonggongi iblis dan anak buahnya, tetaplah tenang.” Ada frasa  “dengan tiada [jangan biarkan dirimu]  digentarkan sedikitpun oleh lawanmu.” (Fil 1:28). Kita paham kaki tangan iblis yang menentang injil itu jauh lebih menakutkan dan lebih berbahaya dari anjing herder skalipun. Maka nasehat Paulus ini layak dipegang: Mengapa nasehat ini relevan? Bagaimana cara kafilah tunjukkan ketenangan di tengah gonggongan?
Kawan, nasehat ini relevan bagi jemaat Filipi dan bagi kita, karena sejak dulu hingga kini, banyak pihak dipakai iblis untuk menentang kekristenan dengan segala cara dan tipu daya, mulai dari hinaan, ancaman hingga kekerasan bahkan pembunuhan. Penutupan paksa, pembakaran, bahkan pengeboman gereja itu bukan berita baru, bukan. Bahkan sejak lahirnya, kekristenan sudah dimusuhi dan ditindas. Yesus diejek dilempari batu. Ia mati dianiaya disalib. PengikutNya mula-mula menyebar dari Yerusalem ke Antiokia dan Roma. Di kota Roma inilah penindasan kejam mulai dialami orang kristen, berawal di jaman kaisar Nero, dan berlanjut hingga jaman kaisar-kaisar berikutnya. Dokumen sejarah mencatat kekejaman itu, bagaimana orang kristen dijadikan umpan makanan singa di arena gladiator. Ada yang disiram cairan aspal lalu dibakar, dijadikan obor penerang kota jika malam hari.
Dalam masa aniaya seperti ini, wajar orang kristen mudah merasa takut. Tapi Paulus justru memberi mereka tips ini: “Usahakan tetap tenang. Jangan biarkan musuh tahu kegentaran, ketakutan kalian.” Mengapa jangan? Bukankah mereka punya kuasa menyakiti dan membunuh kita? Wajar donk kita merasa takut. Ya, memang wajar. Namun di sini Paulus mengingatkan kita hal yang lebih mendasar: “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia, dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku.” (Fil 1:29-30). Intinya, baik aniaya dan penderitaan itu termasuk anugrah, satu paket dengan anugrah iman. Paulus ingatkan jemaat Filipi bahwa merekapun telah menyaksikannya dalam hidup Paulus sendiri.
Menghadapi kenyataan hidup kristen seperti ini, panik dan ketakutan tidak akan membuat situasi jadi membaik, justru bikin runyam, bisa menjadi sumber kepuasan para lawan. Lawan yang, menurut Yesus [Mat 10:28], hanya bisa membunuh tubuh tapi ga bisa bunuh jiwa. Dan bukankah kita punya Allah yang hidup yang akan memelihara dan menguatkan kita?! Maka tidak salah, bahkan relevan sekali tips yang Paulus berikan: “Jika iblis menggonggong, usahakan tetap tenang, kafilah gereja teruslah berjalan.”

Tapi bagaimana cara menunjukkan bahwa kita tenang dan tidak ketakutan? Di Fil 1:27 Paulus sebutkan caranya secara spesifik:
a. Jaga sikap atau perilaku yang baik. Paulus menyebutnya perilaku yang “berpadanan dengan injil.” (ay 27a). Di tengah banyaknya gonggongan iblis, penting sekali kita menjaga perilaku tanpa cela di hadapan publik/di tengah komunitas masyarakat. Di kehidupan sehari-hari, sebaiknya warga gereja tidak punya reputasi negatif, misal: orang yang menutup diri, kasar, tidak tahu sopan santun. Sebaliknya, kita harus dikenal sebagai tetangga yang baik, orang yang jujur dan bisa diandalkan. Bahkan ketika orang memfitnah dan menyerang, kita jangan malah membangun tembok, mengurung diri karena trauma.
b. Jaga kesatuan yang teguh. (Ay 27b): “teguh berdiri dalam satu roh dan sehati sejiwa”. Ini adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan kekompakan anggota tim olah raga yang punya tekad dan tujuan yang sama, yakni “memenangkan pertandingan.” Paulus ingin mendengar kabar tentang kesaksian jemaat Filipi yang hidup bersatu di tengah gonggongan jahat yang setiap hari mereka alami.

Nah, dengan bersikap: tetap tenang, tetap berperilaku baik dan tetap kompak di depan umum inilah pesan kuat yang kita kirim pada pihak lawan adalah: KAMI TIDAK TAKUT! Dan pesan kuat seperti ini sesungguhnya adalah sebuah kesaksian bagi Injil. Bagi orang kristen sendiri, pesan seperti ini merupakan “tanda keselamatan” (ay 28), menandakan bahwa kita sudah menjadi milik Raja yang saat ini berkuasa, yakni Yesus (bukan Kaisar!). Sebaliknya, bagi pihak lawan, pesan itu menjadi “tanda kebinasaan” (ay 28). Mereka jadi bingung dan frustasi melihat teror yang biasa mereka gonggongkan kini sudah tidak mempan.
Puji Tuhan, kawan, rupanya tips dari Paulus ini ditaati oleh gereja mula-mula. Dokumen sejarah mencatat, bahwa walaupun ditindas, orang kristen tidak mendendam, dan tidak mundur dari iman. Kenyataan ini jadi kesaksian yang baik, dan menimbulkan simpati. Ada satu dokumen sejarah milik Diognitus, penasehat kaisar Aurelius di th 150M, berbunyi demikian:
“...orang kristen tidak berbeda dari kita dalam hal tempat tinggal, bahasa atau adat istiadat. Yang berbeda adalah perilaku mereka yang mengagumkan: Mereka menjalankan semua tanggung jawab sebagai warga negara, walau dianggap orang asing dan dipersulit. Mereka mengasihi semua orang tapi dianiaya. Mereka dimaki, namun mereka memberkati. Mereka diejek, namun mereka bersikap hormat. Mereka dilemparkan ke binatang buas agar menyangkal Tuhannya, tapi itu tidak berhasil. Semakin mereka dipunahkan, mereka semakin banyak.”

Kawan, bukankah di jaman kita ini, gonggongan iblis itu masih terdengar? Bahkan semakin nyaring akhir-akhir ini. Tiap kita pernah mengalami jenis-jenis gonggongan iblis itu bukan? Hari ini gonggongan iblis tidak hanya dalam bentuk serangan fisik dari kelompok radikal agama maupun dari pihak oknum penguasa, tetapi juga bisa dalam bentuk serangan mental dari kelompok-kelompok hedonis dan ateis yang menyerang kekristenan lewat media hiburan dan media sosial yang bisa mengguncangkan iman.
Di pergaulan masyarakat sehari-hari kita juga bisa temui orang yang menolak, mengejek, menghina bahkan memfitnah kekristenan. Orang itu bisa tetangga, teman, rekan kerja, bahkan anggota keluarga. Para musuh injil ini, akan menuduh dan mencap orang kristen yang setia itu sebagai orang-orang aneh, picik, fanatik, bahkan kafir. Semua itu pasti akan membuat kita, cepat atau lambat, dibenci dan dimusuhi bahkan dianiaya. Tapi Paulus nasehatkan ini: “Jangan panik, jangan biarkan musuh tahu kalian ketakutan.”
Ijinkan aku berbagi pengalaman pribadi: waktu kuliah, dua kali pindah kost, karena lokasi kampus pindah. Dua kali juga kualami sambutan yang sama bapak kost: Bapak dan ibu kost ajak bicara di hari kedua: “Nak Iwan, kami baru tahu kalau nak Iwan kristen. Sebenarnya kami tidak terima non-muslim. Tapi ya tidak apa-apa, sudah terlanjur. Hanya, tolong taati aturannya: dilarang taruh alkitab di luar kamar, dilarang pasang gambar kristen, dilarang pasang patung salib, dilarang putar lagu kristen.”
Awalnya kaget juga, gentar juga. Sempat berpikir pindah kost. Tapi aku berusaha tenang dan menjalani hari-hari di tempat kost itu sewajar mungkin. Kutaati aturannya, sambil terus membangun hubungan, gaul dengan teman kost dan juga keluarga pemilik kost. Tiap kali membersihkan kamar, sekalian kusapu dan pel ruang tamu kost itu. Anak pemilik kost ulang kali sakit dan sering opname, aku selalu ambil kesempatan jaga di Rumah Sakit. Tanpa terasa, hanya sebulan kemudian, situasi berubah total. Lagu rohani bisa kuputar dengan pintu kamar terbuka, alkitab tertinggal atau sengaja kutinggal di meja tamu, tak ada masalah. Bahkan satu dua kali kiriman uang telat dan bayar kost jadi telat, eh malah “diputihkan”. Terutama yang paling kusyukuri adalah, banyak kesempatan leluasa bercerita tentang kisah alkitab/Tuhan Yesus pada anak dan juga ibu mertua pemilik kost.
 So, pertanyaannya, kawan: gonggongan iblis seperti apa yang sedang kamu hadapi saat ini, yang membuatmu tergoda atau ketakutan? Teror terhadap gerejamukah? Ejekan atau ancaman terkait kejujuranmukah? Terkait integritas seksualmukah? Terkait etos kerja atau etos kuliah? Atau etos pelayanan? Mari diriku dan dirimu jangan terintimidasi, jangan lari. Ingat, tamu-tamuku itu terluka karena lari dan terjatuh, bukan karena gigitan anjingku. Dan ingat, anjing menggonggong itu tidak menggigit. Demikian pula iblis [apalagi iblis], ia sudah kalah telak 2000 tahun lalu!. Sekeras apapun ia menggonggong, mari tetap teguh dalam iman, dalam persekutuan dan dalam kesaksian, yang memuliakan Tuhan Yesus, Raja segala raja, penguasa dunia dan pencipta semesta ini. Maukah kita?

Makassar, 7 Des 2016
Setelah kabar dibubarkannya KKR pak Tong

di Sabuga-Bandung 

Senin, 05 Desember 2016

dr. Jekyll & mr. Hyde itu kita

Ini jenis schyzophrenia, kepribadian ganda, diri terpecah yang disengaja; upaya menutup/ memotong  akses nurani pada kejahatan kecil, yang ternyata meliar di luar kendalinya:
Siang hari tampil bijak dan bajik, menebar teror dan ngeri di malam hari

Konyol dan tragis? Ya!
Tapi siapa itu dr Jekyll dan mr Hyde hari ini?
Kawan, jangan-jangan mereka adalah kita.
Ya, dirimu dan diriku.

Coba hening, pikir dan akui....

Dosa, kejahatan apa yang kita sengaja biarkan tersimpan dan merajalela di kegelapan hati, yang awalnya kita lakukan sekedar coba-coba dalam dosis kecil namun akhirnya mencandu dan membelenggu di luar kendali?

Kekotoran apa yang kita biarkan di bagian dalam yang terus kita tutupi dengan sibuk membuat bagian luarnya nampak berkilap?

Bangkai busuk apa yang kita kubur dalam-dalam dan kita samarkan dengan cara giat melabur batu nisanya dengan warna putih bersih?

Coba evaluasi dan jujur terima diri dan bertobat!

Contoh sederhana, kawan:
Jangan-jangan diriku dan dirimu itu.... kasar dan pemarah di mata anak-istri, sekaligus terkenal kasar dan lembut di luar rumah.

So, apa mr. Hyde-mu, kawan:
Tuan pembohong? Master iri dan benci?
Penjahat seksual atau keuangan?
Egoisme? Birahi kekuasaan?

Apapun, ayo hentikan dan bertobat, kawan.
Mari bercermin dalam kolam doa. Bedah dan pisahkan kepribadian ganda itu dengan pedang FirmanNya; teguk serum penawarnya, yakni aliran kuasa Roh KudusNya. Mari lakukan dan lakukan terus itu semua.

Hingga roh dan daging kita jadi penurut semua,
Hingga muka dua dan standar ganda, yakni kemunafikan kita enyah selamanya
Hingga kemasan dan isi kita serupa, sama indahnya
Hingga,... entah siang atau malam, di dalam pun di luar rumah, di mana saja, hanya dr Jekyll saja yang orang jumpai pada diri kita.

Matius 7:5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu,
maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."


Makassar, 17 Okt ‘16

Kamis, 01 Desember 2016

Menggaruk Saja tak Cukup

Ada gereja yang membanggakan kekuatan mimbarnya dan keindahan musik & lirik hymnalnya.
Ada gereja yang menyedot massa, sajikan gaya ibadah & musik yang puaskan selera orang muda.
Ada gereja yang menuai puluhan ribu jiwa berkat kisah-kisah ajaib dan kuasa mujizat para pemimpinnya.
Ada juga gereja yang tak berusaha “menjual” apa-apa, namun tetap punya pengunjung setia.

Well, menurutku kesimpulan sederhana dan lugasnya adalah:
tiap gereja punya produk unggulan dan punya pasarnya.
Mereka mendeteksi jenis gatal tertentu dan menggaruk di tempat yang tepat.
Garukan secukupnya, dan umat pulang dengan kelegaan sesaat, tiap minggunya.   

Rasa gatal jiwa manusia itu begitu seriusnya dan dalamnya.
Seperti gatal alergik yang parah, bentol-bentolnya begitu tebal, sampai mati rasa.
Mereka butuh solusi sumber gatalnya, obat alerginya.
So, begini maksudku, kawan,
kurasa, kupikir dan kuyakin,
pengunjung semua gereja itu butuh lebih dari sekedar garukan.
Mereka butuh pemuridan.
Ya, pemuridan dalam segala alternatif, segala kreatifitas bentuk dan caranya!
Ya, intensional & tekun melatih mereka lakukan ajaran, teladan dan misi GuruNya,
Hanya itu yang bisa hadirkan kelegaan bagi jiwa, kawan:
kelegaan sejati yang baka!

If the church is to survive as a place where head ang heart are equal partners in faith, then wewill need to commit ourselves once again not [only] to the worship of Christ, but [also] to the imitation of Jesus. His invitation was not [only] to believe, but [more essentially] to follow!
-         Robin R. Meyers -


Celebes, 1 Des 2016