Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Rabu, 25 September 2013

Injil Bagi Para Pemodal Kecil

Gideon mau berangkat bersama berpuluh ribuan,
Tuhan ijinkan ia maju hanya bersama ratusan.
Hasilnya? Gideon menuai kemenangan besar!
Wow, pelajaran ini haram untuk dilewatkan, kawan!

Merasa kurang pengalaman saat terima penugasan?
Kesehatan terasa labil saat awali kepanitiaan?
Modal minim saat bisnis mulai menggarap peluang?
Miskin dukungan kala sebuah visi siap dikerjakan?

Ya, itu semua batu besar, bebani langkah awal.
Kemampuan tak proporsional dibanding tantangan.
Aku paham bila hati jadi gamang, penuh gentar.
Tapi jangan surut tekad, mundur itu pantangan.

Mengapa harus demikian? Ada banyak alasan, kawan:
Karena kalkulasi obyektif kita tetaplah penuh keterbatasan;
Karena hikmat kita tak sempurna, ciri-khas makhluk ciptaan;
Karena yang tak realistis itu justru kerap jadi prosedur Tuhan,
tiap kali realitas sorgawi dibumikan, diwujud-nyatakan.

So? Awal sedikit atau banyak itu bukan soal, kawan.
Bahkan sesungguhnya modal besar itupun beresiko besar:
mudah pongahkan hati, Si Aku mudah menuntut dibanggakan.

Maka, trust me, terus majulah, kawan, bersama-Nya.
Niscaya karyamu berbuah puas dan syukur yang maksimal,
dan peran Tuhan ‘kan nampak gamblang, terang benderang,
tak beri peluang untuk kita mencuri kemuliaan.

Hakim-Hakim 7:2
Berfirmanlah TUHAN kepada Gideon: "Terlalu banyak rakyat yang bersama-sama dengan engkau itu dari pada yang Kuhendaki untuk menyerahkan orang Midian ke dalam tangan mereka, jangan-jangan orang Israel memegah-megahkan diri terhadap Aku, sambil berkata: Tanganku sendirilah yang menyelamatkan aku.

Makassar, 24 Sept 13

Flash insight saat Doa Pagi ini; teringat pula sharing 2 majelisku yg memulai bisnis bermodal keberanian dan kepasrahan

Selasa, 24 September 2013

Tentang Mengutip

Pengkotbah di ibadah kedukaan malam ini bisa dibilang “berondongkan” kutipan. Bicara 28 menit, 8 penulis + 8 buku beliau sebut. Kalau bagian penutupnya yang berupa puisi, yang disebutnya ditulis seorang anak kecil, itu ikut kita hitung, brarti 9 penulis yang beliau kutip, sekali lagi: dalam kotbah 28 menit. Usai ibadah, seorang jemaat mengkritik, sekaligus “puji” saya: “Sombong ya pak Ketua Sinode itu, pamerin dirinya pinter, baca banyak buku. Saya senang, bapak hampir tidak pernah kutip buku.”

Kurespons dengan beritahu ibu ini apa yang sempat kupikirkan terkait rentetan kutipan itu: “Bisa jadi sebaliknya, ibu: Saya yang sombong, Bapak itu yang rendah hati. Kotbah saya bahan-bahannya juga dari banyak buku, tapi selama ini sepertinya saya memberi kesan semua yang saya ucapkan itu murni dari kepala saya sendiri.”  Entah apa yang ada di kepala ibu itu, karena situasi mengharuskan kami hentikan percakapan.

Dear fellow preachers, kurasa kalian setuju, bahwa apapun pilihan kita, entah menyebut penulis dan buku yang kita kutip atau tidak, peluang dikritik jemaat sama besar, dan itu di luar kendali kita. Yang dalam kendali kita ya motivasi kita, jangan sampai kita mengutip atau tidak mengutip dengan tujuan “pamer” si aku dalam diri kita. Karena kita hanya pewarta, penyampai pesan saja. Ambisi utama kita hanyalah agar pesan tersampaikan sejelas-jelasnya dan rasa gentar maupun hormat syukur pendengar terarah pada Allah semaksimalnya. (Tapi 8 buku dalam 28 menit [rata-rata tiap 3 menit], kebanyakan kali, betul ga sih? J )

Makassar, 24 Sept’13

Ibadah penghiburan pejuang iman sekaligus donatur besar, Ketua Sinode dari Jakarta datang melayani.  

Senin, 23 September 2013

Pembohong Berdarah Dingin (?) (!)

Maaf, yang ini negatif dan sensitif sekali. Tapi tetap ingin kushare, karena inipun realitas, fakta nyata dalam dunia pengkotbah. Dugaanku, yang beginian benar-benar extraordinary, tak banyak terjadi (semoga dugaanku benar).
Semobil dengan pengkotbah menuju tempat pelayanan. Si pengkotbah curhat, ada orang-dalam yang sedang merongrong pelayanannya. Sejenak kemudian HP-nya berdering, ternyata anak buahnya, laporkan perkembangan terbaru tentang si perongrong. Lalu kudengar si pengkotbah beri perintah ini, dengan nada geram dan mimik murka, “Laporkan polisi saja, biar habis dia, biar dia tahu sedang berhadapan dengan siapa! Menggu depan saya ke sana. Lihat saja, apa jadinya kalau dia ketemu saya!”
Setelahnya, dalam hitungan menit kami tiba di tempat pelayanan. Agak kaget, tema kotbah hari itu tentang Kelemah-lembutan.  Sangat kaget, karena dalam aplikasi kotbahnya beliau justru “memilih” ilustrasi seperti ini: “Sebagai contoh, saat ini ada orang yang terus-menerus merongrong pelayanan saya, fitnah saya, jahat pada saya, tetap sayanya sih tenang-tenang saja, doakan terus dia. Akibatnya, saya tetap bahagia, damai sejahtera, sementara orang itu pasti tidak bahagia. Jadi ga perlu emosi, ga perlu ladeni, apalagi sampai lapor polisi.” Hampir-hampir aku tak percaya yang kudengar. Wajah si pengkotbah begitu tenang, sangat meyakini yang diucapkan. Kulirik jemaat di kanan-kiriku, wajah mereka begitu “takjub”, begitu dikuatkan, begitu dicerahkan oleh FT dan “keteladanan” si pengkotbah.
Well, my dear preachers, kurasa alam sadar maupun alam bawah sadar kita setuju, bahwa kebohongan terbesar dan terfatal adalah ketika kita tidak terusik sama sekali oleh teguran, perintah pun penghiburan FT yang kita kotbahkan. Seolah ada jarak tegas antara diri kita dan kotbah kita. Kita benar-benar sekedar hanya sebatas mengkotbahkannya! 
Semoga kita terhindar dari kebohongan fatal yang sama. Namun jika benar-benar terjadi, semoga itu benar-benar extraordinary, dan kita bisa segera tobat kembali. Mari extra hati-hati, terutama buat Anda-Anda yang jam terbang kotbahnya sudah tinggi, karena kebohongan extraordinary ini bisa menjadi ordinary!


Malang, medio 2011

Sabtu, 21 September 2013

Bohong Tiba-Tiba

Ada yang menggelitik di kotbah hari ini. Ilustrasi penutup kotbah KU 3 malam ini sedikit beda dibanding ilutrasi sama yang diceritakan si Pengkotbah di KU 1 dan 2 pagi tadi. Pagi tadi disebut kisah nyata tersebut terjadi di Amerika, tapi malam ini disebutnya terjadi di Jakarta. Apakah si pengkotbah lupa, atau salah sebut saja? Kira-kira yang benar terjadi di mana? Mana kutahu, kawan.

Yang kutahu, dari pengalamanku sendiri maupun dari tukar pikiran dengan beberapa kawan, ternyata pengkotbah itu bi(a)sa lakukan kebohongan di mimbar. Tidak mutlak negatif sebenarnya. Itu berangkat dari naluri positif para pengkotbah untuk membuat kisah lama jadi sesegar mungkin di telinga jemaatnya, untuk membawa sebuah ilustrasi kehidupan menjadi sedekat mungkin dengan konteks hidup pendengarnya. Intinya, suatu usaha untuk memastikan berita kotbahnya seaplikatif mungkin, relevan dan mendarat.

Umumnya ini “bohong dadakan”, spontan saja, saat kita sudah di mimbar. Idenya lewat begitu saja. Beberapa varian caranya bisa seperti berikut:

1.    Mendekatkan realitasnya: kita memberi kesan bahwa peristiwa yang kita tuturkan itu kisah nyata, padahal kita tak setahu dan tak seyakin itu sebenarnya.
2.    Mendekatkan Waktunya: Kisah yang kita dapatkan terjadi beberapa abad lampau, tapi kita putuskan memulai ilustrasinya dengan: “Beberapa waktu yang lalu,” “Suatu ketika...” Atau, “Pagi tadi saya baca dari Kompas.com, dst,” (Padahal kita tahu bahwa artikel itu diposting ke Kompas.com setahun yang lalu).
3.    Mendekatkan tempat dan lokasinya: Misal, berkotbah di gereja di Malang, beri ilustrasi seperti ini, “Peristiwa ini terjadi di sebuah kota pendidikan..., saya tidak sebut Malang ya....” Padahal memang bukan di Malang, melainkan di kota pendidikan yang lain, tapi teknik ini justru mujarab membuat jemaat simpulkan TKPnya memang di Malang, sesuai yang pengkotbah harapkan.

Dear preachers, melihat motif atau naluri seperti ini, maka menurutku ini kesalahan yang sangat bisa dimaklumi, ...namun tak bisa dianggap remeh. Jika kita tak berbuat sesuatu terhadapnya, kita bisa menjadi terbiasa, kadar bohong kita dalam kotbah akan meningkat, tahu-tahu kita jadi semacam tukang obat yang halalkan segala cerita, terbiasa menata fakta bahkan memanipulasi peristiwa untuk meyakinkan dan mendulang respons dari pendengar. Tahu-tahu bohong kita yang awalnya berlangsung spontan dan tiba-tiba jadi bohong terencana, bahkan jadi sebuah kebutuhan. Gawat, kawan!

Menurutku, selain perlu lebih “sabar dan tekun” mencari ilustrasi yang sesegar mungkin, salah satu cara penting untuk meminimalkan kesempatan berdusta dalam kotbah adalah dengan berkomitmen untuk berkotbah dengan waktu singkat saja, atau secukupnya saja, alias tidak berpanjang ria. Bagaimana menurut Anda?


Malang, 11 Oktober 2011

Sabtu, 14 September 2013

PSK = Pekerja Spiritual Komersial

Wanita panggilan menggoda, “Pakailah aku...
Bersamaan, dialah yang pakai lelaki hidung belang itu.
Pakailah aku...,” itu untuk kepuasan atau kepentingan diri.
Jadi Wanita Penghibur, mungkin demi keluarga yang miskin.
Melayani syahwat lelaki, mungkin terpaksa, desakan situasi.

Semalam, rasa penasaran ini yang temani:
“Masihkah Hamba Tuhan berdoa, ‘Pakailah aku...’”
Berpindah ladang or lama menetap, selalukah itu yang dirindu?
Masihkah kerjakan visi-Nya genapkan misi-Nya jadi passion-ku

Ini golden question, kawan, Pertanyaan Terutama,
Jalan setapak kembali pada jati diri sejati kita:
bahwa kita semata hamba, alat belaka,
yang berguna hanya jika Tuan Pemilik memakainya.

Berdiam dirilah, kawan, tanyakan itu hari ini.
‘kan kutanya pula diriku tiap-tiap hari,
agar jelas dan makin jelas lagi,
tugas besar tugas kecil, gaji besar gaji kecil,
kita sedang “dipakai” atau “memakai” Tuhan;
agar terjaga kewarasan rohani :
bahwa kita bukan para penghibur,
yang sedang lacurkan panggilan,
demi finansial keluarga tercukupi.
Agar terjaga hasrat di hati, gairah suci:
melayani Kristus, tabur benih sorga di bumi,
bukan melayani liarnya kekuatiran tiada henti,
maupun baragam syahwat aktualisasi diri.

Filipi 2:20-21
Karena tak ada seorang padaku, yang sehati dan sepikir dengan dia dan yang begitu bersungguh-sungguh memperhatikan kepentinganmu; sebab semuanya mencari kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus.

Hotel Seruni 3, Cisarua

Usai Retret Pekerja Sinode gerejaku,
sinode yang diisukan hanya punya satu kelebihan, yakni kelebihan dana :-)

Selasa, 03 September 2013

Perkara Besar Harian

Tugas besar butuh kekudusan besar, kawan.

Apa itu tugas besar?
Itu setiap tugas yang kamu rasa gentar.
Dan apa itu kekudusan besar?
Itu kesadaran diri sebagai pendosa besar
serta tekad dan usaha keras
tak mau jatuh dalam dosa kambuhan.

Inipun tak menjamin suksesnya tugas besar.
Tapi jangan takut...
Itu menjamin perkenan-Nya yang besar,
menjamin kreativitas anugrahNya yang besar:
kemurnian hati,
ketabahan emosi,
kejernihan pikiran,
berbagai kelancaran dan
beragam kejutan jalan keluar!

Kekudusan besar efektifkan tugas besar harianmu, kawan!


Makassar 3 Sept’ 13

Senin, 02 September 2013

Menilai Kotbah?

Kotbah itu bukan untuk dinilai.
Kalaupun secara obyektif ada yang pantas dikomentari:
“Kotbahnya bagus” atau
“Kotbahnya jelek,”
Keduanya adalah untuk ditaati
Bukan (hanya) untuk dikomentari,
Dan bukan untuk dinilai!


Makassar, 1 Sept 2013