Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Sabtu, 16 Februari 2013

Takut itu Positif !

Sisipan, Refleksi:

Maksudku bukan sembarang takut. Bukan takut yang sebentar (itu kaget namanya), tapi takut yang cukup lama. Misal, satu dua jam di dalam penerbangan di mana perintah kenakan seat-belt diumumkan berulang kali, atau satu-dua hari saat menanti hasil general check-up kesehatan kita. Tak harus takut akan kematian (tapi yang satu ini memang paling efektif dan paling positif), bisa juga takut kehilangan hal-hal atau orang-orang yang paling berharga dalam hidup ini. Mengapa positif?

Karena di saat-saat takut seperti itulah aku cenderung memikirkan yang baik-baik: niat untuk menjadi suami-papa yang lebih baik, tekad untuk menjadi pribadi yang lebih memberkati, dll. Juga cenderung membayangkan yang indah-indah: wajah-wajah manis dan lucu anak-anakku, momen-momen ketika aku berhasil bersikap jujur, berhasil memilih kesucian, dll. Juga cenderung untuk sesali hal-hal buruk yang pernah terjadi: saat gagal mengampuni, gagal berbelas-kasih, gagal memberi-berbagi, atau gagal berbicara lembut pada istri.

Di saat takut seperti itulah aku termotivasi untuk mendoakan yang terbaik bagi diriku, terlebih bagi orang lain melalui diriku. Di saat takut seperti itulah aku tersadarkan kembali my nothingness dan God’s greatness; dan tergugah ketulusan hatiku untuk desahkan doa-doa: …forgive me, …have mercy on me… make me a blessings. Saat-saat takut seperti itu membangkitkan sikap berjaga-jaga dalam hidup, membangunkan kesadaran bahwa hidup itu terlalu berharga, layak untuk dijalani dengan sikap hati-hati.

So, meski mustahil dinikmati, minimal janganlah benci atau sangkali ketakutan yang satu ini, kawan. Mari belajar berkawan dengannya. Tak harus pula kita akrabi, tapi minimal jangan anggap dia musuh. Karena sesungguhnya dia itu kawan. Hadirnya memang membuat kita tidak nyaman, tapi dampak kehadirannya itu baik, positif. Bukankah seperti inilah ciri sahabat sejati??!

Barangkali ini sekedar pandangan subyektifku sendiri. Tapi coba pikir, Tuhan mendesain kita lengkap dengan ’perasaan takut.” Tentu bukan tanpa tujuan donk?! Tentu bukan tanpa manfaat, bukan?!! Menurutku Allah juga sertakan ”rasa takut” itu sebagai salah satu sarana atau cara, atau setidaknya pemicu, pengkondisi bagi kita untuk bertransformasi menjadi insan yang makin sesuai dengan kehendak Pencipta kita.

Kurasa ketakutan yang semacam ini tak bertentangan dengan banyaknya perintah ”Jangan takut!” dalam alkitab kita, karena maksud perintah itu sebenarnya adalah: ”Jangan biarkan diri kita didikte atau dipimpin oleh ketakutan-ketakutan kita.  Dan, lagi-lagi menurutku, kesalahan terbesar bukanlah ”merasa takut,” melainkan justru sikap menyangkali ketakutan itu, dan tidak memanfaatkannya untuk matangkan iman kita, maupun untuk mendorong perbaikan karakter kita.

Jadi, naik pesawat itu takutku, kawan. Mana takutmu?!


Kejadian 28:16-19
Ketika Yakub bangun dari tidurnya, berkatalah ia: "Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya." Ia takut dan berkata: "Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah Allah, ini pintu gerbang sorga." Keesokan harinya pagi-pagi Yakub mengambil batu yang dipakainya sebagai alas kepala dan mendirikan itu menjadi tugu dan menuang minyak ke atasnya. Ia menamai tempat itu Betel; dahulu nama kota itu Lus.

Lion Air JT 0370, 16 Februari 2013
Cuaca buruk, Jakarta-Makassar
 ”Dear passangers, we are now flying in turbulence situation.”

Berangkat

Sisipan: Refeksi Akhir Pekan

Ini malam terakhir kami di Jakarta (Tangerang tepatnya). Satu tahun empat bulan kami di kota ini, di rumah ini. Besok pagi kakak ipar antar kami ke bandara. Ini sudah hampir jam 11, Hui belum tidur, seolah ikut merasakan apa yang papa mamanya rasakan. Teringat kemarin baca status Facebook teman, dia crita tak bisa tidur di malam sebelum esoknya ke luar negri pertama kali. Senang-senang cemas gitulah. Itu juga kurang lebih yang kurasakan saat ini, walau ini kali kedua kami pindah kota lagi, pindah pelayanan lagi (sejak 15 tahun lalu kuputuskan menjadi rohaniwan). Rasanya tetap seperti baru pertama kali. Senang-senang cemas.

Keluaran 12:37-42; 13:20-22 yang kubaca malam ini kisahkan Israel yang berangkat  meninggalkan Mesir (setelah di pasal-pasal sebelumnya dicatat 10 tulah, hingga Firaun beri ijin mereka pergi. Di pasal 12 dicatat persiapan-persiapan (seperti kesibukan kami seminggu ini, berteman kardus dan lakban), lalu malam ini adalah hari-hari keberangkatan: dari Raamses, ke Sukot, kemudian ke Etam, lalu menuju...Kanaan! (Besok kami ke Makassar, 10 hari kemudian menuju Palopo).

Aku terhanyut dalam lamunan: Gimana perasaan bangsa Israel malam itu ya? Ini bukan keberangkatan biasa. Ratusan tahun mereka di negri orang (430 thn, tempat asing yang sangat mungkin sudah terasa seperti hometown, home-country), sekarang harus pergi ke tempat baru yang belum pernah ada di antara mereka yang ke sana.  Sebuah perubahan drastis tentunya: tempat-tempat baru, orang-orang baru, situasi-situasi baru. Kurasa wajar bila mereka merasa galau, bahkan mungkin cemas, meski keberangkatan ini juga sudah lama mereka rindukan. (sebuah buku berpendapat: tempat yang sulitpun bisa menjadi zona nyaman, sehingga gagasan untuk pindahpun kerap disambut dengan enggan). Pasti banyak “what if” di benak mereka. “Gimana kalau...,” “Bagaimana jika...”

“Berangkat” kami besok pagipun bukan jenis berangkat yang akan sering kualami dalam hidup (beda dengan berangkat kerja, ke pasar atau kuliah setiap hari). Apalagi bagiku ini “keberangkatan ganda.” Secara fisik aku meninggalkan satu kota menuju kota lain, namun secara mental inipun momen ‘keberangkatanku’ meninggalkan lembaga dan dunia pelayanan yang telah 20 tahunan lalu kugeluti (sejak mahasiswa). Wajar galauku tak mudah kutepis. Dan jelas banyak “what if” juga di benakku. Bersyukur aku membaca kisah keberangkatan Israel ini, khususnya mendapati peran dan janji Tuhan dalam situasi keberangkatan Israel ini:

Di Keluaran 12:42 jelas digaris-bawahi, bahwa TUHANlah yang membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Dicatat malam ini adalah “malam berjaga-jaga” bagi Tuhan. Ini sikap yang penuh keseriusan, persiapan dan kecermatan. Tuhan membebaskan mereka dari belenggu penindasan Mesir. Maka kuhayati dan kuimani, Tuhanlah yang membawaku sekeluarga dari satu kota ke kota lain, dari satu pelayanan ke palayanan lain, termasuk keberangkatan kami besok pagi. Malam itupun “malam berjaga-jaga’ bagi Israel, momentum untuk bersiap, momen untuk bersikap rela dan taat, untuk bersyukur berbalut komitmen-komitmen kepada Tuhan, bahkan momen untuk dikenang dan dirayakan turun-temurun. Ya, malam itu menjadi kenangan eksklusif bangsa yahudi. Hanya keturunan merekalah yang berhak mengenang dan merayakannya, sebagaimana hanya orang Indonesia juga yang berhak mengenang dan merayakan momen 17 Agustus 1945 itu. Keberangkatan kami besok jelas akan jadi kenangan eksklusif kami sekeluarga.

Di pasal 13:21-22 dicatat “Tuhan berjalan di depan mereka,” baik siang maupun malam, dalam wujud tiang awan dan tiang api. Ini bukan kompas dan pelita biasa. Allah sendiri yang menuntun dan memimpin mereka! Betapa melegakannya buat mereka waktu itu, kuyakin meredakan galau dan cemas di hati mereka secara signifikan. Kuyakin pula pengalaman Israel ini akan menjadi bagian dari pengalaman kami. Membayangkan “Tuhan berjalan di depan,” awan Shekinah di PL itu, dan Immanuel di PB itu, Sang Kristus itu sendiri yang menuntun memimpin kami....ah, sungguh menentramkan (meskipun, seperti yang lalu-lalu, jalan yang terbentang di depan juga tetap akan menjumpakan kami dengan lubang-lubang bahayanya, tikungan dan persimpangan yang menyediakan pilihan yang menyesatkan pula). 

Dalam peristiwa ini bangsa Israel disebut “pasukan Tuhan keluar dari Mesir.” Maka satu doa  terucap di hati ini: “Jangan biarkan hati kami menyimpang ke kanan dan ke kiri, Tuhan. Sanggupkan kami berangkat dan melangkah ke depan semata sebagai prajuritMU, atau duta-dutaMU, hamba-hambaMU. Amin”

Tangerang, 15 Februari 2013

Kamis, 14 Februari 2013

Sekeping Rindu saat Packing

Sisipan, Refleksi:


Pindah pelayanan. Packing hari-hari ini. Kembali ‘roh tega’ diuji. Tega sortir, buang sebanyak mungkin. Banyak barang yang lolos  melewati beberapa pindahan (kontrakan) sebelumnya kali ini terpaksa kena giliran. Pindahan terakhir buku 4 kardus direlakan, kali ini 2 kardus lagi jadi kenangan. Setumpuk  surat dan kartu-kartu ucapan dari sahabat dan rekan pelayanan selama kuliah di seminari. Paling berat adalah kombinasi kartu ucapan dan foto. Sebuah salib berat buat seorang sanguin melankolik sepertiku ini.
Kubaca-baca singkat sebelum sisihkan ke plastik sampah. Tersadar lagi betapa hidup di asrama seminari itu diwarnai banyak kartu: Met Natal, Met Paskah, Met Ultah, Happy Preaching, Get Well Soon, Met Ujian, Met Pelayanan Week-End, Met Liburan, dan tak ketinggalan: Met ATM (Met Pacaran)! Kurasa tak bisa dikategorikan sebagai budaya basa-basi, karena tak jarang kartu-kartu itu dibuat-didekor sangat spesial, disertai ungkapan-ungkapan personal, doa-doa dan harapan, ekspresi sebuah relasi mendalam dari sahabat dan rekan sepanggilan, bahkan bertebaran kalimat-kalimat pengakuan bahwa diri kami dan kehadiran tiap kami di asrama sebagai kakak/adik, Bro & Sist in Christ, a good companion, bahkan sebagai teladan satu sama lain. Kebutuhan kami akan rasa aman, kasih dan penerimaan benar-benar terpenuhi oleh kebersamaan di kampus.
Kini 6 tahun telah berlalu. Sayangnya, kusadari, kedekatan dan kedalaman relasi seperti itu sudah jarang atau tak terjadi lagi di ladang. Pola berkawan/ berelasi helping, giving dan caring itu seolah sekedar kenangan. Sebagai alumni kami tak bisa sedekat yang kami harap. Teman semasta, se-pos SM, sekamar...tak lagi akrab...walau ada HP, email, FB, Instagram...walau ada WA Group Alumni. Bahkan walau ada sapaan dan percakapan dalam semua media sosial itu, tetap terasa ‘jauh,’ terasa dangkal. Ah, semoga  itu murni karena kesibukan melayani jemaat dan bukan karena terjebak dalam keegoisan dan ketidak-pedulian lantaran sibuk pikirkan kenyamanan ataupun penderitaan diri sendiri, kemiskinan ataupun kesejahteraan diri sendiri. 
Sesungguhnya, berdasar pengalaman, aku yakin justru di ladang pelayananlah kita lebih butuh dukungan semangat maupun teguran, lebih butuh perhatian dan doa-doa dari rekan sepanggilan. Itu pasti, karena justru di ladanglah terasa gencar bahaya maupun godaan yang siap hentikan langkah kita di jalan persembahan hidup yang telah sama-sama kita komitmenkan pada Tuhan. Aku sadar kalau akupun bagian dari fenomena “saling cuek” ini, padahal tiap kali membaca kartu-kartu itu aku terharu, I miss that moment, I miss those faces... Lalu tiba-tiba kusadari, komunitas seperti itu bukan cuma untuk dikenang, tapi juga untuk diciptakan, dilahirkan kembali, khususnya di kalangan / di antara para Hamba Tuhan.
Alasannya praktis sekaligus strategis. Pertama, jarang atau hampir tak pernah kudengar kisah seorang hamba Tuhan memiliki rekan sharing/penghibur/yoke fellow atau sunsugos dari kalangan majelis atau dari anggota jemaatnya. Jadi sesungguhnya he/she  desperately needs one from his/her colleaque (terutama dari rekan seangkatan). Kedua, tanpa rekan penolong yang bisa saling mementori, iapun akan tidak terasah atau tidak terlatih, baik secara skill maupun empatinya untuk menggembalakan/mementori jemaatnya secara pribadi. Kalaupun bisa, itu akan sekedar berdasar buku, melulu bagikan teori. Tetep bisa jadi berkat buat jemaat sih, tapi hatinya sendiri akan kerap dilanda sepi, rindukan mentor pribadi, sekaligus sahabat sejati.

Tangerang, Feb 2013,
Jelang pindah pelayanan (lagi) 

Selasa, 12 Februari 2013

Menaklukkan Mammon

Sisipan, Refleksi:

Si Mamon itu memang amat digdaya. Pesonanya menaklukkan siapa saja; tua-muda, pria-wanita, agama apa saja, semua ras manusia! Ia kaya pengaruh, ia limpah kuasa. Begitu tipis bedanya, entah kita sangat membutuhkannya atau sangat menyembahnya. Tak heran Allah mencemburuinya, serius meminta jawab kita: “Pilih AKU atau dia?!” Tapi hal paling berbahaya tentang si Mamon ini adalah: tak ada kata puas memilikinya. Ia membuat orang tak sudi berbagi rata. Ia membuat orang nekat mengambil resiko kehilangan segalanya dengan mencurinya, merampoknya, mengkorupsinya. Maka wajar jika kita pesimis bisa mengalahkannya. Memang tak ada yang bisa, tak ada caranya!

Tapi benarkah demikian, kawan? Tidak! Karena saat kuliah aku punya cara dan  pernah bisa mengalahkan kuasanya. Berempat kami, kebetulan sekelas, satu kost-kost-an, sama-sama kristen. Uang bulanan dari orang tua tergolong kecil, namun kami kerap saling mentraktir. Stok mie-instan di kamarku seolah milik mereka juga, dan bila milikku habis, aku mencarinya ke kamar mereka. Salah satu dari kami kerap dikirimi paket makanan oleh orang tuanya, bersama-sama kami menghabiskannya. Jika ada diktat kuliah yang mahal, kami urunan, cukup beli satu saja untuk digunakan bersama.

Dengan pemilik kost terbangun hubungan yang sama. Di jumpa pertama mereka tegas: “Tidak boleh ada salib-gambar kristen- lagu kristen di kamar!” Seiring waktu semua berubah. Kami biasakan tak hanya membersihkan kamar, tapi juga ruang tamu dan halaman rumah. Ketika anak mereka opnam, bergiliran kami menjaganya. Selama rumah direnovasi, kami jadi tukang, membantu sebisanya. Apa yang terjadi? Alkitab kami tergeletak di luar kamar atau lagu kristen terdengar nyaring dari kamar tak jadi masalah. Wesel dari orang tua tak kunjung tiba, bayar kost telat sedikit, telat lama, tak pernah ditagih. Bahkan satu dua kali uang dari kami dikembalikan oleh mereka!

Apa penjelasannya? Bukan, itu bukan hubungan timbal balik biasa. Itu terjadi karena lambat laun tumbuh kasih diantara kami semua, lambat laun kami bisa menganggap satu sama lain sebagai keluarga. Dalam keluarga, hubungan timbal balik terjadi bukan karena kepentingan atau kewajiban. Itu terjadi begitu saja, secara alami belaka. Saling berbagi, menganggap sesuatu sebagai milik bersama itu menjadi naluri, menjadi pola pikir dan gaya hidup bersama! Dalam kondisi dan situasi seperti inilah sesungguhnya kami telah menaklukkan si Mamon. Ya, karena dalam relasi kasih di antara kami dan antara kami dengan pemilik kost itu uang menjadi hal yang tak terlalu utama, sehingga bisa dibilang si Mamon kehilangan relevansinya, kehilangan kuasanya!

Belakangan baru kusadari bahwa cara kami mengalahkan si Mamon itu sudah ditunjukkan oleh kitab suci. Itu adalah sesuatu yang Yesus maksudkan ketika menantang seorang muda kaya menjual seluruh hartanya dan mengikut Yesus (Markus 10:17-27). Itu juga poin yang Yesus tekankan saat menjawab pertanyaan para murid: “Kami telah menggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau. (Apa yang kami dapat?)” (Markus 10:28-31). Itu juga gaya hidup gereja mula-mula di mana jemaat berbagi segala sesuatu karena merasa apa yang mereka miliki adalah milik bersama (Kis 2:44-45). Ini terkait dengan sistem ekonomi Allah, dengan natur ekonomi dalam kerajaan Allah.

Seperti ini runtutannya: kelahiran baru kita (harusnya) berdampak pada cara pandang kita terhadap sesama, membuat kita memandang orang lain sebagai saudara dari keluarga yang sama. Dalam sebuah keluarga, akan merupakan sebuah skandal bila sang kakak berlimpah harta sementara adiknya miskin papa. Sebuah aib yang dikutuk bersama bila sang adik berhasrat menguasai sebanyak mungkin harta keluarga, karena otomatis itu memperkecil porsi yang menjadi hak kakaknya. Dalam keluarga baru Allah yang menembus batas biologis bahkan batas bangsa-bangsa ini distribusi-ulang kepemilikan (saling berbagi) menjadi gaya hidup semua anggotanya. Yang ditumbuhkan di dalamnya adalah sikap inter-dependent, saling bergantung, saling mengandalkan, bukan sikap independent yang egois dan individualis. Dalam konteks hidup bersama dalam dimensi ekonomi Allah seperti ini mamon tetap memiliki fungsinya, tapi ia tak akan menjadi si Mamon yang digdaya,  dan tak mudah kita jatuh menyembahnya, melainkan mamon sebatas menjadi pelayan kita. Indah bukan? Dan tak terasa mustahil lagi, bukan?

Jadi, kalau aku saat menjadi mahasiswa pernah bisa kalahkan si Mamon, kita semuapun  pasti bisa, kawan. Kebangkitan Kristus menjadi garansi,  bahwa si Mamon bisa kita buat miskin pengaruhnya, bisa kita buat sekarat kuasanya. Dengan kasih kita pada sesama anak bangsa, dengan natur berbagi yang Roh Kudus berdayakan dalam dan melalui hidup kita, kita bisa kalahkan si Mamon. Apalagi di tengah keluarga besar bangsa kita yang sampai hari ini pembagian kue kesejahteraan hasil pembangunan belum dinikmati semua kalang secara merata. Ayo mahasiswa, ayo alumni, kita bergerak bersama, menjadi solusi menular bagi parahnya budaya korup bangsa!

Salam Optimisme Perubahan Indonesia!

"Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.
(Kis 2:44-45)

"When we truly discover love, capitalism will not be possible and Marxism will not be necessary."
(Will O'Brien)


Jakarta, Oktober 2012
"pernah dimuat di majalah Dia edisi 2/2012"