Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Selasa, 31 Juli 2012

Injil Bagi Para Malin Kundang

Sisipan, minggu refleksi:

Aku tahu banyak ayah yang cinta setengah mati pada anak mereka, tapi mencermati kualitas cinta Allah pada bangsa Israel itu, yang terlintas di benakku adalah pepatah Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Galah. Rentetan pernyataan Allah pada bangsa ini dalam kitab Yeremia (pasal 31) cocok dengan lagu anak:Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa... Pesan utamanya adalah bahwa tak peduli apapun yang telah terjadi di antara kita, tak ada hal-hal yang mampu merubah atau membunuh cintaku padamu.
Coba perhatikan situasinya: Israel itu sangat bebal. Lewat nabi-nabi, Allah memanggil bangsa ini berbalik dari perbuatan jahatnya, tapi mereka bandel, pilih turuti kedegilan hati mereka. Bak orang sakit, kondisi mereka parah, tak tersembuhkan. Maka vonis, hukuman, tindakan disiplin sudah diputuskan: Yehuda akan menjalani hukuman pembuangan ke Babel. Sebelumnya saudaranya, israel utara sudah diserakkan Tuhan terlebih dulu, sekarang kerajaan selatan ini dipastikan menyusul.
Tapi dalam kemaha-tahuan-Nya, Allah melihat bangsa ini akan menyesali dosanya (memang penyesalan selalu terlambat ya). Mereka akan menyadari dosa mereka begitu besar, sehingga mereka akan menyesal, meratap, dan bertobat, memohon dibawa pulang kembali ke tanah perjanjian (ay 16-19). Mengetahui kelak perkembangannya seperti itu, Allah ungkapkan isi hati-Nya, melalui nabi Yeremia, bahwa Ia adalah Bapak yang setiap memukul anaknya yang nakal ia juga merasa sakit, dan mudah terharu oleh penyesalan dan pertobatan anaknya (ayat 20).
Maka, meskipun vonis hukuman telah diputuskan, meski Yehuda sudah pasti akan dibuang ke Babel, dengan semangat Yeremia kotbahkan pesan Allah ini pada umat, bahwa mereka akan menjadi umat-Nya kembali (ayat 1). Allah gambarkan Israel itu anak dara” (ay 4), artinya ia adalah anak yang secara hukum masih di bawah pengawasan bapaknya, namun telah bersundal dengan ilah bangsa kafir dan dengan berbagai dosa. Tapi luar-biasanya, Allah justru berfirman seperti ini, Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (ay 3). Wow, pasti terdengar so sweet di telinga mereka.
Allah komit akan lanjutkan kasih setia-Nya, pemulihan yang utuh akan mereka alami. Mereka akan dibangun kembali, dipulihkan reputasinya, sehingga semangatnya akan bangkit, berdandan lagi dan bersukaria. Tidak hanya reputasi,  pemulihan itu juga akan berlaku secara ekonomi (ay 5). Mereka akan kembali menjadi bangsa yang makmur. Dan pemulihan itu akan lengkap, karena kehidupan ibadah bangsa ini, ibadah yang benar, yang menyukakan hati Allah, akan dipulihkan lagi (ay 6).
Intinya, sesuatu yang baru sudah Ia siapkan, satu masa yang indah bersama-Nya. Satu kondisi saja yang disyaratkan Tuhan, syarat yang mudah, yakni sebagai anak gadis yang nakal, murtad, Israel harus pulang ke rumah dengan penuh kerinduan dan ketulusan (ay 22), jangan seperti saat ini, penuh kepalsuan, tobat-kumat-tobat-kumat. Intinya, Kabar Baik dari kisah ini adalah tentang kasih Allah yang kekal, yang menjanjikan pengharapan akan pengampunan dan pemulihan bagi manusia yang telah mengkhianati cinta-Nya.  Allah menawarkan perjanjian baru, tapi Ia juga menantang komitmen baru.
       Di dunia kita hari ini kisah Malin Kundang masih kerap terjadi, kawan, maka kisah Allah dan Israel ini tentunya adalah kabar baik, sebuah injil bagi para anak durhaka. Kepada para Malin Kundang Allah menawarkan diri-Nya sebagai Orang tua yang penuh cinta dan setia, yang membiarkan pintu kesempatan itu selalu terbuka. Bahkan begitu nampak dalam pandangan, Ia akan berlari mendapati anak durhakanya yang pulang (ay 3). Aku langsung teringat perumpamaan Yesus tentang Si Anak Hilang. Ya, sesungguhnya janji ini bukan janji kosong. Melalui kedatangan Yesus, sesungguhnya Allah sedang berlari mendekati kita dan menyambut kita pulang!
       Kabar baik ini juga ditujukan untukmu, kawan. Seperti apa durhakamu pada ayah atau ibumu? Sejauh mana penyesalanmu? Seberapa jauh kamu telah memberontak pada Bapa sorgawi itu?  Pilihlah untuk selalu mengabaikan provokasi iblis yang mendakwa ketidak-layakan kita, juga pesimisme kita sendiri, yang menduga Allah itu seperti Ibu Malin Kundang yang akhirnya mengutuk anaknya jadi batu, sehingga kamu takut pulang ke rumah, ke persekutuan. Sebaliknya, kita harus PeDe untuk pulang, karena Firman-Nya ya dan Amin. Mesias yang disalibkan di Kalvari itupun Allah yang sama yang berfirman pada nabi Yeremia, Ibu atau Bapa sorgawi yang berkata padamu: I’m still loving you, I will always love you. Amin.

Jakarta, 31 Juli 2012
Renungan pagi: Yeremia 31:1-22

Senin, 30 Juli 2012

Opera Dosa

Sisipan, minggu refleksi:

Film Garin Nugroho menang, terbaik di festifal film Singapura. Opera Jawa judulnya, kisahnya diadaptasi dari cerita wayang kita. Tentu ini sangat membanggakan bangsa kita. Itu kebalikan dari kisah orang-orang Yehuda yang kisahnya dicatat dalam Yeremia 42. Kisahnya memalukan, menambah aib dalam catatan sejarah bangsa mereka. Sebagai judul, kupakai kata “opera” karena memang sejarah kelam bangsa ini bak sebuah pagelaran besar, tokoh-tokohnya mahir bersandiwara. Dan kusebut “opera dosa karena kisahnya kental dengan dosa, meski dibumbui adegan bijaksana tokoh-tokohnya yang pura-pura peduli agama.

Simak babak pertama ini: Para perwira dan seluruh rakyat yang tersisa ini, yang luput dari pembuangan ke Babel ini, nampak bijaksana, datang secara sukarela pada nabi Yeremia dan minta didoakan dan dimintakan petunjuk Tuhan (ay 1-3). Seumur-umur baru kali ini Yeremia lihat saudara-saudara sebangsanya itu begitu menghargai dia dan begitu membuka diri terhadap pelayanannya. Siapa yang tak terharu coba?! Melihat orang berdosa mau datang ke gereja, membuka diri untuk terima sabda-Nya, pendeta mana yang tak berkobar belas kasih dan gairah penginjilannya (sebagai staf Perkantas, biasanya dalam kasus begini ga hanya kudoakan tuh mahasiswa, kuajak makan! Saking senengnya gitu)

Yeremia juga senang sekali, dan langsung menyanggupi permohonan mereka, apalagi mereka pakai sumpah segala, berjanji mau dengar-dengaran dan taati Firman apapun yang Yeremia dapat dari Tuhan (ay 4-6). Makin semangatlah Yeremia mendoakan mereka 10 hari lamanya, membela nasib mereka serta meminta petunjuk pada Tuhan, padahal Tuhan yang sudah melarangnya berdoa untuk Yehuda karena kebebalan mereka (Yer 7:16; 11:14; 14:11-12; 15:1-2).

Babak keduanya menyedihkan: rupanya 10 hari itu juga menjadi masa berkabung dan masa pahit Yeremia, karena dalam doa-doanya itu Tuhan singkapkan kepalsuan, kemunafikan para perwira dan rakyat kaum sisa itu. Sang nabi merasa tertipu, merasa dipermainkan, atau apalah yang semacam itu (bukan pengalaman asing buat rohaniwan zaman sekarang ini. Sudah lazim pendeta mengeluh, “Jemaat saya baik sama saya, tapi mengabaikan pesan mimbar saya. Mereka hanya mau dengar yang menghibur saja. Teguran dan peringatan, mereka tidak suka. Banyak di antara mereka terus pelihara dosa-dosa lama”).

Babak ketiga menarik, soroti sikap Allah dan Yeremia dalam menghadapi para pemain opera dosa ini, sikap yang sangat sportif dan profesional. Yeremia tetap serius menyampaikan pesan Tuhan pada orang-orang yang jelas-jelas sudah mempermainkan Allah dan dirinya itu (ay 8-22). Kata “sungguh” dan “camkanlah berulang kali digunakan untuk menjelaskan ulang aturan main Tuhan, pilihan kata yang sarat emosi, yakni emosi kasih dan kepeduliaannya pada para pemain opera dosa ini. Yeremia sungguh ingin mereka membuat pilihan yang benar, yakni tidak mengungsi dan berlindung pada Mesir, melainkan berlindung pada Tuhan dan mengandalkan Tuhan di negri mereka sendiri.

Babak terakhir makin menyedihkan: opera dosa ini berujung sad-ending, bukan happy-ending. Orang-orang Yehuda yang harusnya bersyukur terluput dari pembantaian dan pembuangan ke Babel ini malah konsisten; sekali bebal tetap bebal. Mereka menolak taat dan tetap pergi ke Mesir. Bahkan di pasal 43 mereka menuduh Yeremia bohong dan menyandera Yeremia dan asistennya, Barukh, memaksa dua hamba Tuhan itu ikut mereka ke Mesir. Yang mengenaskan buatku adalah fakta tentang siapa saja pemain opera dosa ini, yakni para perwira dan rakyat jelata, orang dewasa maupun besar kecil (ay 8).

Kawan, kurasa kita semua paham, sampai hari inipun opera dosa ini masih terus berulang di gereja (terutama dalam gereja di mana angka kehadiran dan nominal persembahan jadi prioritas pendeta dan majelisnya). Pemainnyapun sama, yakni bisa dari segala usia dan tingkat sosial apa saja. Orang-orang ini leluasa memainkan lakonnya, nampak tulus dan tekun datang ke gereja, namun hatinya sudah pasang kuda-kuda: pesan mimbar yang menghibur, yang enak-enak kutrima; yang keras, yang menegur dosa, yang menyakitkan hati silahkan lewat saja. Yang penting aku rutin datang, persembahan lumayan, berani apa Pendeta?! Maka langgenglah opera dosa ini.

Sesungguhnya, kawan, untuk menghentikan opera dosa di gereja itu caranya harus dengan menghentikan supply pemainnya. Tak ada cara lain! Bukan dengan mengusir mereka keluar dari gereja tentunya, melainkan mengajarkan dan beri teladan bahwa kekristenan itu bukan seni peran, melainkan praktek hidup berintegritas di hadapan Allah yang maha hadir dan maha tahu. Bukan dengan membuang mereka, melainkan dengan mengubah aktor-aktor rohani itu jadi kristen sejati. Ayo kawan, kita doakan program pemuridan atau bentuk-bentuk pembinaan lainnya agar dilakukan oleh/di dalam gereja kita. Amin.


Tangerang, 30 Juli 2012

Renungan malam: Yeremia 42

Minggu, 29 Juli 2012

Injil Bagi Yang Butuh & Sudi Memberi Pengampunan

Sisipan, minggu refleksi:

Ramadhan memang bulan yang luar biasa. Meski bukan orang Islam, tak jarang hatiku turut bergetar tiap kali renungi esensi bulan puasa ini. Betapa tidak, bulan ini diyakini rekan-rekan muslim sebagai bulan di mana Allah mencurahkan pengampunan dengan limpah. Pula, bulan ini didaulat sebagai bulan untuk maaf-memaafkan. Siapapun, menurutku, yang sadar dirinya tidak sempurna, bisa berbuat dosa dan salah, pasti mampu menghargai apa yang ditawarkan bulan ramadhan ini. Beragama apapun, tiap kita sepatutnya peka dan menganggap penting isu pengampunan dan saling memberi maaf ini.
Kekristenan sendiri tak punya bulan seperti ini, melainkan merayakannya anugrah pengampunan Allah secara tersebar sepanjang tahun, misalnya lewat ritual perjamuan kudus sebulan atau sekian bulan sekali, lewat ibadah Jumat Agung dan Minggu Kebangkitan Yesus dalam rangkaian hari raya paskah, dll. Namun banyak bagian Alkitab yang cukup jelas menyatakan kabar baik tentang pengampunan Allah dan cukup tegas memberi-tahu kita siapa yang diutus Allah untuk memberlakukan pengampunan-Nya itu. Salah satunya adalah seperti yang dicatat dalam injil Markus.
Di awal pelayanan-Nya, Yesus sudah mendeklarasikan misi pengampunan Allah yang diemban-Nya.  Injil Markus mencatat  ucapan Yesus kepada orang lumpuh dan 4 rekan penggotongnya yang baru saja merusak atap rumah-Nya di Kapernaum: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” (Pasal 2:5, bisa bermakna: “Tindakanmu yang tidak menyenangkan itu Kukumaafkan”). Ucapan ini didengar oleh orang banyak yang berkumpul di rumah-Nya, didengar juga oleh beberapa ahli taurat, yang peka ucapan Yesus itu tak hanya berisi pemberian maaf antar sesama manusia, melainkan mengandung pengampunan Allah. Tak terasa kontroversial di telinga kita? Itu karena kita kurang paham budaya dan syariat agama yahudi waktu itu.
Yesus hidup di tengah masyarakat yang menghargai balas dendam sebagai tanggung jawab moral dan menganggap pemberian maaf sebagai tanda kelemahan, maka sikap Yesus ini jelas mengagetkan orang banyak itu. Menurut syariat agama yahudi, para imam di bait sucilah yang berhak menyatakan pengampunan mewakili Allah, bukan pengkotbah keliling yang baru tampil macam Yesus ini, maka wajar ahli-ahli taurat itu menuduh-Nya menghujat Allah. Tapi betulkah Yesus menghujat Allah?
Ucapan Yesus yang inilah kata kuncinya: “Di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa.“ (ayat 10). Ia menyebut diri-Nya “Anak Manusia.” Itu adalah sebutan untuk Mesias dalam kitab Daniel pasal 7, Mesias  yang dinubuatkan akan ditentang oleh kuasa jahat namun akan ditinggikan dan diberi kuasa oleh Allah, yakni kuasa untuk menghukum. Yang mengejutkan adalah, dalam peristiwa ini Yesus menggenapkan nubuat itu dengan menggunakan kuasa yang diberikan pada-Nya bukan untuk menghukum, melainkan untuk memberi maaf, memberi pengampunan. Kita patut bersyukur dan girang dengan kejutan ini.
Sebetulnya, kawan, ucapan dan tindakan Yesus (bahkan semua gaya hidup-Nya) itu mengungkapkan misi Mesias yang memperagakan karakter Allah sejati yang pengampun, yang kontras sekali dengan budaya kebencian dan balas dendam masyarakat waktu itu. Yesus hendak menegaskan, bahwa Allah itu tidak seperti ilah-ilah atau dewa-dewa bangsa-bangsa di sekitar mereka, juga hendak menegaskan bahwa pengampunan, forgiveness, itu jauh lebih luhur dan lebih kuat dari kebencian dan balas dendam.
Jadi, mengingat pengampunan ini termasuk isu sentral dalam Alkitab, maka tak ada alasan buat orang kristen, buat para murid Yesus,  untuk tidak suka apalagi tidak menghargai bulan ramadhan ini. Sebaliknya, tidak punya bulan ramadhan itu pesannya adalah supaya kita mau menghargai dan mensyukuri  pengampunan Allah dan menghidupi gaya hidup memaafkan itu sepanjang tahun, di setiap bulannya, di setiap waktu!
Kawan, hari inipun kita hidup di tengah dunia, di tengah masyarakat yang fasih bahasa kebencian dan balas dendam (seakan menganggap Allah juga seperti itu). Panggilan kita adalah menjadi seperti Yesus bagi Israel, yakni mewartakan pengampunan Allah kepada generasi kita hari ini, khususnya pengampunan yang dianugrahkan-Nya melalui Yesus, Mesias yang tersalib itu. Seiring panggilan tersebut, kita juga dipanggil untuk memancarkan citra Allah sejati, yakni bertumbuh sebagai pribadi yang limpah memberi maaf. Tentu saja, seperti yang dialami Yesus, panggilan ganda ini beresiko menuai penilaian orang banyak atau pihak-pihak tertentu, bahwa kita lemah, bahwa kita menghujat Allah.
Tapi seharusnya itu bukan tugas yang sulit. Pertama karena kita punya Allah yang Pengampun dan kita diciptakan segambar dengan DIA. Kedua, karena kita sendiri juga butuh dan pasti senang menerima pemberian maaf atau pengampunan. Ketiga, karena untuk semua berkat dan anugrah pengampunan itu kita tidak disuruh puasa sebulan terlebih dahuluJ. Amin??? Puji Tuhan!

Mazmur 130:3-4
Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang.


Kolose 1:20
“dan oleh Dia[Yesus]lah Ia [Allah] memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.

Matius 6:12
dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;

Tangerang, 29 Juli 2012
Renungan malam, Markus 2:1-12

Sabtu, 28 Juli 2012

Injil Bagi Situasi "Andai saja..." Kita

Sisipan, Minggu Refleksi:

Andai saja dulu nikah dengan pria itu, bukan dengan yang sekarang ini...
Andai saja dulu aku tidak alami pelecehan itu...
Andai saja dulu ada yang beayai aku lanjutkan studi...
Andai saja tak kubelikan sepeda motor buat anak remajaku itu...
Andai saja dulu aku terima tawaran kerja yang itu, bukan yang ini...
Andai saja kuaati nasehat mama waktu itu...
Andai saja...., dll, dst.
Poinnya adalah: andai waktu bisa mundur ke belakang, andai hidup bisa diulang, andai aku sekali lagi punya kesempatan; desahan sesal yang mengharapkan situasi-kondisi berbeda dari kenyataan yang dialami.
Di Alkitab, Maria pernah alami situasi itu. Kisahnya ada dalam injil Yohanes pasal 11. Tiga hari sebelumnya adiknya tersayang meninggal.  Yesus yang ia harapkan tiba sebelum Lazarus dijemput ajal ternyata terlambat datang. Antara sedih, kecewa, tapi juga senang Gurunya datang, terucap protes sopannya itu: “"Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (ay 21). Pernah dalam situasi seperti itu, kawan? Maka penting menyimak respons Yesus terhadap situasi “sekiranya” atau “andai saja” yang dialami Martha ini.
Pertama, Yesus mengarahkan fokus perhatian Martha pada realitas masa depan, jauh ke depan, pada kenyataan akhir jaman yang diyakininya (dan diimani semua orang yahudi), yakni pada pengharapan akan kebangkitan, dengan berkata, “Adikmu akan bangkit” (ay 23). Tentu Martha tidak kaget dan tidak puas dengan pernyataan Yesus ini. “Kalau itu mah saya sudah tahu, Guru. Semua orang juga akan bangkit di akhir zaman nanti” (ay 24). Tapi ternyata itu baru respons awal Yesus.
Kedua, Yesus mengucapkan pernyataan yang mencengangkan dan membingungkan bagi Martha maupun orang yahudi lainnya yang mendengarnya: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" (ay 25-26). Seharusnya pernyataan ini juga mencengangkan –dan membahagiakan—buat kita.
Apa maksud Yesus di sini? Ini, kawan: bahwa Martha dan orang-orang Galilea yang berduka bersamanya itu harus tahu, bahwa masa depan yang dijanjikan Allah itu sudah dibawa Allah ke masa kini mereka melalui kedatangan dan pelayanan  Mesias, Yesus. Termasuk janji kebangkitan itu, yang seharusnya hanya mungkin terjadi di akhir zaman itu, bisa terjadi di tengah zaman, di zaman kini. Kurasa Martha dan orang-orang yahudi itu jadi shock, tertegun, bingung, tapi juga berharap bahwa ucapan Yesus itu betul.
Kejadian selanjutnya kalian pasti sudah tahu, terbukti ucapan Yesus betul, Lazarus bangkit. Tapi sengaja ceritanya kuhentikan sampai di sini, agar kita bisa berdiam sejenak dan merenungkan baik-baik pernyataan Yesus ini: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”
Apa saja situasi-situasi “Andai saja” yang menggangu pikiran dan membebani hidupmu, kawan? Apa kondisi-kondisi yang baik, ideal, benar dan adil, yang kamu anggap mustahil terjadi? Jika kita percaya Yesus itu Mesias yang dijanjikan para nabi, Pribadi dari sorga yang diutus datang ke bumi (atau yang sejajar: Pribadi yang dikirim dari Akhir Zaman ke tengah zaman, ke zaman ini), maka tepat kita berlari menyambut Yesus seperti Martha, dan menceritakan masalah kita. Mau, kawan? Ayo, ajukan protes sopanmu, mengapa Ia tidak datang lebih cepat dan menolong sebelum hal-hal atau kejadian yang kamu sesali itu terjadi.
Apa kira-kira respons Dia? Mana kutahu, kawan. Tapi aku yakin, seperti yang Ia lakukan terhadap Martha, Yesus akan membawa sepotong kebaikan, keindahan, kebenaran, keadilan atau bagian dari kesempurnaan realitas akhir zaman lainnya, datang ke dalam realitas masa kini kita, ke dalam kenyataan hidupmu saat ini. Dan pada saat itu terjadi dan kamu sadari, kamu akan terkejut dan bersyukur. Karena apapun respons Yesus itu, pastinya itu adalah sesuatu yang akan membuat hidup kita, karakter kita dan dunia kita makin mendekati kualitas sempurna yang akan terwujud penuh di akhir zaman itu, saat Ia datang kali ke dua itu.
Hari inipun Yesus sedang terus mendatangkan dunia baru Allah, kondisi sempurna di akhir zaman itu, ke dalam zaman kita hari ini, tapi itu tak terjadi dengan sendirinya. Kuncinya di sini adalah: iman! Yesus menantang Martha dan kita: “Percayakah engkau akan hal ini?” Satu-satunya cara untuk bisa mengalami kejutan seperti yang dialami Martha ini adalah iman: iman kepada Yesus, percaya bahwa Dia-lah Mesias, Pribadi yang diutus Bapa datang ke dalam dunia, ke dalam hidup kita, ke dalam situasi kecewa, duka, bahkan kematian kita.
So, ayo kawan, jangan surut berharap. Jangan berhenti pada kalimat “Sekiranya” atau “Andai saja” itu. Datanglah pada Yesus, nantikan dan harapkan kejutan Mesias yang memang sudah tersedia untukmu!

Tangerang, 28 Juli 2012
Renungan pagi: Yohanes 11:17-27 

Jumat, 27 Juli 2012

Injil Bagi Penyuka Camping

Sisipan, Minggu Refleksi:

Kemarin kami membelikan tenda kecil buat si sulung yang sudah berumur 4 tahun. Itu keinginan yang sudah dia utarakan beberapa kali. Kami setujui karena kami lihat kemah itu punya nilai strategis, yakni menolong dia (tanpa ia sadari) untuk berani tidur sendiri. Kami berharap dengan terbiasa tidur sendiri di tenda yang terpasang di sebelah tempat tidur kami, kelak akan memudahkan kami melatihnya tidur sendiri di kamar sebelah.
Tenda, kemah, pernah lihat kan? Apapun namanya, umumnya dipakai untuk kebutuhan sementara. Misal, buat camping di gunung waktu liburan, atau buat para pengungsi korban bencana seperti banyak dipakai waktu gempa Yogya dan tsunami Aceh, atau korban Lumpur Lapindo di Porong yang dana ganti ruginya belum cair. Yang pasti itu untuk kebutuhan sementara. Begitu liburan selesai, situasi kehancuran bencana dipulihkan, tenda atau kemah itu akan dibongkar kembali.
Demikian juga pesan Paulus waktu ia menyebut tubuh jasmani kita ini sebagai kemah. Ia menyebut manusia lahiriah” kita (2 Kor 4:16) dan “kemah/tempat kediaman kita di bumi.”(5:1-2) sebagai realitas yang sama-sama sementara. Paulus mengingatkan bahwa suatu saat kemah-kemah kita itu akan dibongkar. Allahlah yang punya kuasa membongkarnya, dan Dia pula yang akan menyediakan gantinya, sebuah tempat yang jauh lebih baik. Itulah pengharapan iman di dalam Yesus.
Hanya, mengingat worldview kita yang beda dengan world-view orang yahudi jaman alkitab ini, aku ingin ingatkan, bahwa janji ini tidak bicara tentang tempat roh-roh (non-fisik) orang kudus dalam konsep sorga yang populer hari ini. Dalam alam pikir orang Yahudi, sorga kekekalan yang mereka nantikan adalah saat terjadinya kebangkitan orang mati, kebangkitan secara fisik (mengimani visi Daniel 12:2; Yesaya 65, 66 dll tentang langit baru & bumi baru, dunia seperti bumi kita hari ini, hanya saja keindahan dan kemuliaannya telah digandakan Allah, serta kejahatan dan penderitaan di dalamnya telah dilenyapkan Allah).
Dalam dunia baru semacam itu, mereka percaya semua umat Allah dari segala zaman akan dikaruniai tubuh yang baru. Jadi, tubuh kemuliaan yang mereka nantikan bukanlah kondisi roh tanpa tubuh (disembodied soul) melainkan tubuh yang diperbarui (re-embodied). Maka bagi Paulus (dan para penulis Perjanjian Baru), sorga bukanlah suatu tempat ke mana kita pergi setelah mati, melainkan suatu tempat di mana Allah telah menyediakan tubuh kemuliaan itu bagi kita (2 Kor 5:1)
Maka, ketika berbicara isu seperti ini, baik Paulus atau penulis alkitab yang lain tidak sedang mengkontraskan dunia fisik dan roh, apalagi mengatakan bahwa dunia materi atau fisik itu buruk atau jahat dan alam roh itu lebih baik. Tidak! Sebaliknya, Paulus sedang mengkontraskan antara dunia hari ini dengan dunia yang akan datang, antara tubuh jasmani kita hari ini dan tubuh kemuliaan setelah kebangkitan, yang sama-sama bersifat fisik, tidak melulu bersifat spiritual.
Dengan demikian, kekekalan yang dimaksud Alkitab, yang hari ini oleh orang-orang beragama diberi nama sorga itu akan bersifat jasmaniah juga, melibatkan eksistensi fisik pula, yang tentu saja kondisi fisikalnya itu jauh lebih baik dan jauh lebih mulia dari yang bisa kita bayangkan. Bisa dibilang, Paulus sedang menegaskan janji seperti ini: Penderitaan dan segala ketidak-nyamanan di rumah atau tenda kita saat ini hanya sementara, karena akan tiba masanya kita tinggal dalam sebuah istana!
Sederhananya, ini mirip relokasi yang dilakukan Pemkot Solo (walikota Jokowi). Para pedagang kaki lima itu rela digusur karena merasa diperjuangkan untuk lebih makmur. Tak ayal, mereka rela dipindah karena yakin lokasi jualan yang baru akan memberikan kehidupan yang lebih baik. Demikianlah seharusnya yang kita rasakan ketika mengetahui bahwa kepada anak-anak Tuhan, Alkitab menjanjikan kemah yang kekal, yang tidak dibuat tangan manusia. Kita patut senang, karena janji ini adalah pernyataan penting tentang pengharapan luar biasa yang dimiliki dan ditawarkan oleh kekristenan.
So what now? Paulus mengingatkan jemaat Korintus tentang pengharapan kebangkitan ini tidak sekedar ingin membuat mereka senang, melainkan ingin mereka menyadari, walau tubuh jasmaniah bisa semakin merosot dan pelayanannya sebagai rasul itu mengandung resiko kematian, namun pada saat yang sama juga, oleh kuasa kebangkitan Kristus dan pekerjaan Roh Kudus, mengandung pengharapan pasti akan kebangkitan. 
Harapan Paulus adalah, sekali menyadari kebenaran alkitab ini, jemaat Korintus akan belajar melihat dan menjalani hidup mereka dalam tubuh/dunia (kemah) sementara ini dengan cara yang sama sekali baru, yakni tidak mensia-siakan atau sengaja merusaknya, melainkan dengan penuh penghargaan, dengan penuh pengharapan, sebagaimana kami berharap anak kami kooperatif dengan tujuan kami mempersiapkan dia berani tidur di kamar sendiri dan bertumbuh menjadi pribadi yang mandiri, dengan cara tidak merusak tenda yang kami belikan itu, melainkan menggunakannya serta merawatnya sebaik mungkin.
Have a nice & blessed camping, kawan !

Jakarta, 27 Juli 2012
Renungan malam: 2 Korintus 4:16-5:10

Kamis, 26 Juli 2012

Wajib Mengalah Untuk Hal Tak Prinsip

Sisipan, minggu refleksi:
 
Pernah dengar ada orang mati karena urusan sepele? Pernah donk. Banyak contohnya, lihat aja berita kriminal di layar TV kita. Misalnya, seorang wanita ditemukan mati di dapur rumahnya, seminggu kemudian pembunuhnya ditangkap, ternyata adik kandungnya sendiri. Omelan sang kakak yang mengkritik bunyi ngoroknya itu terasa menjengkelkan sekali, membakar habis sumbu kesabarannya.
Contoh lain ada di koran hari ini: seorang pengendara mobil tewas ditusuk oleh pengamen gara-gara tidak mau memberi 100 rupiah di sebuah perempatan jalan di Jakarta. Ya, uang 100 rupiah, itu kecil sekali. Tapi sang pengendara naas itu bersikukuh tidak mau memberi. Ia mungkin bosan/jengkel karena terlalu banyak pengamen di jalanan ibukota ini. Si pengamen juga mungkin sedang sepi rejeki. Sudah siang tapi receh di kantong belum cukup untuk makan pagi, sehingga ia tak bisa kendalikan diri lihat pengendara ke sekian itu menolak berbagi sedikit rejeki. Bodoh ya kalo kita pikir si pengendara itu: ga mau lepaskan 100 perak, ia mati.
Tapi dalam berkomunitas, bermasyarakat, berinteraksi sosial, bahkan dalam interaksi pelayanan, seringkali kita juga lakukan kebodohan yang sama. Gara-gara tak mau lepaskan perdebatan tentang hal yang tidak prinsip, relasi jadi mati. Perlu bukti? Misalnya: 2 guru Sekolah Minggu (SM) debat masalah visitasi ke rumah anak-anak SM. Yang satu maunya membentuk tim-tim, yang satunya lagi yakin bahwa idealnya itu dilakukan secara pribadi. Argumen sama-sama baik, harusnya bisa kompromi dan saling melengkapi, tapi keduanya sama-sama ngotot. Debat diakhiri diam, diam yang sakit hati. Padahal dua-duanya satu hati, pingin maksimalnya target dan manfaat visitasi. Konyol bukan?!
Contoh lain bisa masalah istilah. Satu pembina Komisi Pemuda usulkan agar tugas-tugas pengurus dibuat job-desknya. Seorang aktivis lainnya mentahkan ide koleganya di forum rapat itu, dengan menekankan bahwa yang penting itu bukan job-desk, melainkan tiap pengurus cukup di beri penjelasan sederhana tentang bagiannya masing-masing. Keduanya berusaha menahan emosi, tapi intonasi suara dan volume yang tinggi (dan wajah pepaya) tak bisa ditutupi. Keduanya diam, tapi dalam hati sama-sama menuduh yang lain sengaja menyerang pribadi. Jadi pahitlah relasi. Padahal, debat itu terjadi dalam kesamaan maksud, yakni agar pengurus tahu tugasnya secara spesifik dan praktis.
Wahai kawan, ini sering terjadi dalam pelayanan (tak hanya di masyarakat). Dalam pelayanan, panas hati dan sakit hati sulit dihindari, karena perbedaan opini. Itu wajar sekali. Tapi menyedihkan juga kalau salah satu tak mau lepas yang tidak prinsip, ngotot paksakan sudut pandang sendiri, tak mau empati terhadap perspektif pihak lain. Banyak aktifis/majelis/pengurus komisi, bahkan Hamba Tuhan (!) yang lebih rela relasi jadi memanas, layu dan mati, daripada mengalah atas hal-hal yang sepele, tidak prinsip. Relasi matipun mereka tak lagi peduli. Padahal mereka sendiri yang menanggung kepahitan dan sakit hati.
Itulah salah satu ironi kehidupan di jalan persembahan anak-anak Tuhan, kawan. Janganlah kita awetkan kekonyolan serius ini, hemat energi kita untuk perkara-perkara yang lebih prinsip. Ada Amin? Makasih:-)

Filipi 2:2-6
Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

Solo, 8 April ‘06

Rabu, 25 Juli 2012

Otak Sarjana Hati Babu

Refleksi Pelayanan Kristiani

We serve them, but we’re not their servant!” Itu statement menarik dari mulut kepala pelayan hotel dalam film Maid in Manhattan sambil berkemas karena ikut dipecat akibat melindungi tokoh utama yang dibintangi oleh Jenifer Lopez itu. Menarik, setidaknya bagiku, untuk dinalar dari paradigma kristiani. Kita anggap saja dia itu Kristen. Maka, tepatkah statement tersebut? Kapan itu tepat atau tidak tepat? Berikut hasil perenungan yang ingin kusharekan.
Judul provokatif di atas sengaja ingin merangkum sosok pelayan kristiani yang ingin kuhadirkan. Sarjana itu mewakili gambaran ideal kita tentang individu yang educated, skillfull di bidang yang ia pelajari di perguruan tinggi atau yang ia tekuni selama ini. Kata babu memang lebih sopan substansinya dibanding kata doulos (budak) yang dikenakan Alkitab pada orang kristen, tapi budak jauh dari realita keseharian kita, maka kata ini sengaja kupakai karena kontekstual untuk kita, lebih timbulkan rasa malu dan tersinggung pada Si Aku dalam diri kita, bahkan termasuk pada orang kristen yang memang profesinya babu. 
Nah, aku punya klangenan[i] akan sebuah sosok pemimpin Kristen yang mewakili peleburan dua status tersebut. Skill pemimpin, sekaligus berjiwa pelayan, kepala sarjana-hati babu! Kepala sarjana karena ia kuliah, dan hati babu karena ia Kristen. Mumpuni di bidangnya, sekaligus penuh dedikasi pada Tuhan dan sesama. Itu berlaku bagi alumni yang fulltime dalam pelayanan sekular maupun (apalagi) yang terjun ke pelayanan rohani. 
Kembali ke statement kepala pelayan tadi, spirit atau muatan emosi di dalamnyalah yang menentukan posisi dia di hadapan Allah: sedang sombongkah dia (reaksi harga diri, ekspresi Si Aku yang tersinggung)? Atau ia sedang rela dan taat, yakni sadar bahwa mentaati Allah (dengan membela temannya yang ditindas) itu lebih benar daripada mempertahankan jabatan. Yang pasti kalimat itu akan jadi sangat ideal dan kristiani, kalau ia melanjutkannya dengan “.., ‘cause we are His servants”. Artinya, ia melayani bosnya, pemilik hotel itu, dengan spirit melayani Tuhan. Dan kalau ia sungguh sedang menghayati konsep “servant” sebagai doulos sebagaimana dimaksudkan Alkitab, maka dalam ekspresi marahnya itu emosinya relatif akan lebih stabil, relatif akan lebih terkontrol, lalu bisa lebih nrimo[ii] secara positif.
Mengapa idealnya demikian, kawan? Karena seorang doulos itu hilang hak-hak moral, sosial dan hukumnya. Bahkan hak untuk hidup yang asasi itupun ada di tangan pemiliknya. Kata gantinya bukan I, you, atau she, he, tapi it, persis barang. Mentalitas logis yang diharapkan darinya adalah total surrenderness, total obidience. Tuan selalu benar, kesalahan pasti pada saya. Keluhisme, ngomelisme apalagi marahisme tidak ada dalam kamusnya. Rasa bangga diri, kenyamanan atau kebahagiaan pribadi sudah dicoretnya dari daftar mimpinya. Rendah dan hopeless banget ya?!
Dan doulos itu memang sebutan yang pas buat kita. Dulu kita budak dosa, sekarang budak Tuhan. Dulu takluk pada dosa, sekarang pada Allah. Kita tahu Allah itu tidak sejahat kebanyakan tuan jaman dulu apalagi sejahat Iblis. Karenanya kita sebenarnya tidak keberatan jadi babu Allah, malahan bangga. Tapi kalau jadi babu Allah berimplikasi pada keharusan jadi babu sesama kita, jadi lain masalahnya. 'Daging' kita berhasrat menjadi yang lebih utama, menjadi yang lebih dilayani oleh sesama kita.
Namun ajaran dan teladan Yesus menegaskan bahwa Tuan kita di surga itu identifikasikan diri-Nya dalam diri sesama kita di dunia dan meminta kita, para doulos-Nya, melayani Dia dengan melayani sesama (mis. Mat. 25:40, Yoh. 13). Lebih jauh Alkitab tunjukkan bahwa jadi babu, melayani orang lain, itu merupakan bagian utama kehidupan kristen : Pertama, itu suatu cara melayani Tuhan (seperti Samuel yang jadi cantriknya Imam Eli itu, I Sam 2:1-11). Kedua, itu tanda yang membedakan kehadiran orang kristen di dunia (to serve, not to be served). Ketiga, itu ciri kepemimpinan kristen sejati (Mat. 20:25-26). Dan keempat, itu cara terbaik untuk bisa makin merupa Kristus (Yoh. 13:14-16).
Now what? Aku ingin ajak tiap kita untuk terus belajar dan hayati the art of being a babu dalam berelasi maupun jalankan tugas. Sebagai para doulos di sekolah, kampus dan kantor-kantor, mari kita terima faktanya, bahwa tiap kita punya tuan-tuan yang harus kita layani. Mari asah terus kecerdasan kita dalam melayani mereka (Servanthood Quotient?). Percaya Diri (karena sarjana) sekaligus Tahu Diri (karena cuma seorang doulos), sehingga bisa Bawa Diri secara kristiani. Kalaupun ada situasi kita menolak melayani mereka, pastikan itu hanya karena kita sedang lebih memilih mentaati Tuan kita di sorga.
Mentalitas manut, ngalah, pahami maunya orang dan merespons sebaik mungkin serta etos kerja do the best, bahkan do more than we’re expected, sepi ing pamrih rame ing gawe[iii], Gusti sendiko dawuh[iv], tidak adigang adigung adiguno[v] harus bisa jadi sebuah citra sekaligus substansi  kehadiran kita. Bloko suto[vi] boleh, asal tulus dan dalam konteks kebenaran. Etika para pecundangkah itu? Sama sekali bukan. Karena bersikap seperti itu butuh keberanian lebih besar. Dan karena ada karakter Allah di dalamnya, karena itu mentalitas Yesus sendiri!
Sulitkah tumbuh-kembangkan mentalitas babu ini dalam diri kita? Saya sadar ‘ya’. Pengalaman tinggal di asrama pendidikan polisi di masa kecil, juga tinggal di asrama seminari saat ini bisa memberi bukti padaku betapa tidak bisa diandalkannya program-program kerja bakti bahkan kurikulum yang dirancang untuk siapkan individu-individu menjadi abdi masyarakat atau pelayan jemaat itu. Cepat atau lambat nampaknya tiap orang tergelincir, jadi bermental dan berperilaku tuan, bergaya bossy. Gengsi, harga diri, reputasi, takut rugi, takut dianggap kalah, dll. nampaknya masih merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar oleh para doulos Kristus jaman ini.
Tapi ini bukan soal gampang atau sulit. Ini tentang sebuah kebenaran, bahwa the christian’s way to greatness is serving others. It’s a matter of divine order, God’s order for every christian. Respons yang diharapkan hanya satu: ketaatan! Nampaknya pilihan kita tinggal dua; jadi pecundang di mata dunia atau di mata Allah? Pilih jadi babu dunia atau babu Allah yang mengasihi kita? Selamat atas pilihan Anda!

Malang, Okt 2002
Ini artikel pertama sayaJ, dimuat di buletin Visi Perkantas Malang


[i] kerinduan
[ii] pasrah
[iii] fokus pada tugas, bukan pada upah
[iv] taat penuh, anggap itu sabda Tuhan sendiri
[v] sewenang-wenang, semaunya, mumpung menjabat/memimpin
[vi] ceplas-ceplos, lugas dan tegas