Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Rabu, 25 Juli 2012

Otak Sarjana Hati Babu

Refleksi Pelayanan Kristiani

We serve them, but we’re not their servant!” Itu statement menarik dari mulut kepala pelayan hotel dalam film Maid in Manhattan sambil berkemas karena ikut dipecat akibat melindungi tokoh utama yang dibintangi oleh Jenifer Lopez itu. Menarik, setidaknya bagiku, untuk dinalar dari paradigma kristiani. Kita anggap saja dia itu Kristen. Maka, tepatkah statement tersebut? Kapan itu tepat atau tidak tepat? Berikut hasil perenungan yang ingin kusharekan.
Judul provokatif di atas sengaja ingin merangkum sosok pelayan kristiani yang ingin kuhadirkan. Sarjana itu mewakili gambaran ideal kita tentang individu yang educated, skillfull di bidang yang ia pelajari di perguruan tinggi atau yang ia tekuni selama ini. Kata babu memang lebih sopan substansinya dibanding kata doulos (budak) yang dikenakan Alkitab pada orang kristen, tapi budak jauh dari realita keseharian kita, maka kata ini sengaja kupakai karena kontekstual untuk kita, lebih timbulkan rasa malu dan tersinggung pada Si Aku dalam diri kita, bahkan termasuk pada orang kristen yang memang profesinya babu. 
Nah, aku punya klangenan[i] akan sebuah sosok pemimpin Kristen yang mewakili peleburan dua status tersebut. Skill pemimpin, sekaligus berjiwa pelayan, kepala sarjana-hati babu! Kepala sarjana karena ia kuliah, dan hati babu karena ia Kristen. Mumpuni di bidangnya, sekaligus penuh dedikasi pada Tuhan dan sesama. Itu berlaku bagi alumni yang fulltime dalam pelayanan sekular maupun (apalagi) yang terjun ke pelayanan rohani. 
Kembali ke statement kepala pelayan tadi, spirit atau muatan emosi di dalamnyalah yang menentukan posisi dia di hadapan Allah: sedang sombongkah dia (reaksi harga diri, ekspresi Si Aku yang tersinggung)? Atau ia sedang rela dan taat, yakni sadar bahwa mentaati Allah (dengan membela temannya yang ditindas) itu lebih benar daripada mempertahankan jabatan. Yang pasti kalimat itu akan jadi sangat ideal dan kristiani, kalau ia melanjutkannya dengan “.., ‘cause we are His servants”. Artinya, ia melayani bosnya, pemilik hotel itu, dengan spirit melayani Tuhan. Dan kalau ia sungguh sedang menghayati konsep “servant” sebagai doulos sebagaimana dimaksudkan Alkitab, maka dalam ekspresi marahnya itu emosinya relatif akan lebih stabil, relatif akan lebih terkontrol, lalu bisa lebih nrimo[ii] secara positif.
Mengapa idealnya demikian, kawan? Karena seorang doulos itu hilang hak-hak moral, sosial dan hukumnya. Bahkan hak untuk hidup yang asasi itupun ada di tangan pemiliknya. Kata gantinya bukan I, you, atau she, he, tapi it, persis barang. Mentalitas logis yang diharapkan darinya adalah total surrenderness, total obidience. Tuan selalu benar, kesalahan pasti pada saya. Keluhisme, ngomelisme apalagi marahisme tidak ada dalam kamusnya. Rasa bangga diri, kenyamanan atau kebahagiaan pribadi sudah dicoretnya dari daftar mimpinya. Rendah dan hopeless banget ya?!
Dan doulos itu memang sebutan yang pas buat kita. Dulu kita budak dosa, sekarang budak Tuhan. Dulu takluk pada dosa, sekarang pada Allah. Kita tahu Allah itu tidak sejahat kebanyakan tuan jaman dulu apalagi sejahat Iblis. Karenanya kita sebenarnya tidak keberatan jadi babu Allah, malahan bangga. Tapi kalau jadi babu Allah berimplikasi pada keharusan jadi babu sesama kita, jadi lain masalahnya. 'Daging' kita berhasrat menjadi yang lebih utama, menjadi yang lebih dilayani oleh sesama kita.
Namun ajaran dan teladan Yesus menegaskan bahwa Tuan kita di surga itu identifikasikan diri-Nya dalam diri sesama kita di dunia dan meminta kita, para doulos-Nya, melayani Dia dengan melayani sesama (mis. Mat. 25:40, Yoh. 13). Lebih jauh Alkitab tunjukkan bahwa jadi babu, melayani orang lain, itu merupakan bagian utama kehidupan kristen : Pertama, itu suatu cara melayani Tuhan (seperti Samuel yang jadi cantriknya Imam Eli itu, I Sam 2:1-11). Kedua, itu tanda yang membedakan kehadiran orang kristen di dunia (to serve, not to be served). Ketiga, itu ciri kepemimpinan kristen sejati (Mat. 20:25-26). Dan keempat, itu cara terbaik untuk bisa makin merupa Kristus (Yoh. 13:14-16).
Now what? Aku ingin ajak tiap kita untuk terus belajar dan hayati the art of being a babu dalam berelasi maupun jalankan tugas. Sebagai para doulos di sekolah, kampus dan kantor-kantor, mari kita terima faktanya, bahwa tiap kita punya tuan-tuan yang harus kita layani. Mari asah terus kecerdasan kita dalam melayani mereka (Servanthood Quotient?). Percaya Diri (karena sarjana) sekaligus Tahu Diri (karena cuma seorang doulos), sehingga bisa Bawa Diri secara kristiani. Kalaupun ada situasi kita menolak melayani mereka, pastikan itu hanya karena kita sedang lebih memilih mentaati Tuan kita di sorga.
Mentalitas manut, ngalah, pahami maunya orang dan merespons sebaik mungkin serta etos kerja do the best, bahkan do more than we’re expected, sepi ing pamrih rame ing gawe[iii], Gusti sendiko dawuh[iv], tidak adigang adigung adiguno[v] harus bisa jadi sebuah citra sekaligus substansi  kehadiran kita. Bloko suto[vi] boleh, asal tulus dan dalam konteks kebenaran. Etika para pecundangkah itu? Sama sekali bukan. Karena bersikap seperti itu butuh keberanian lebih besar. Dan karena ada karakter Allah di dalamnya, karena itu mentalitas Yesus sendiri!
Sulitkah tumbuh-kembangkan mentalitas babu ini dalam diri kita? Saya sadar ‘ya’. Pengalaman tinggal di asrama pendidikan polisi di masa kecil, juga tinggal di asrama seminari saat ini bisa memberi bukti padaku betapa tidak bisa diandalkannya program-program kerja bakti bahkan kurikulum yang dirancang untuk siapkan individu-individu menjadi abdi masyarakat atau pelayan jemaat itu. Cepat atau lambat nampaknya tiap orang tergelincir, jadi bermental dan berperilaku tuan, bergaya bossy. Gengsi, harga diri, reputasi, takut rugi, takut dianggap kalah, dll. nampaknya masih merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar oleh para doulos Kristus jaman ini.
Tapi ini bukan soal gampang atau sulit. Ini tentang sebuah kebenaran, bahwa the christian’s way to greatness is serving others. It’s a matter of divine order, God’s order for every christian. Respons yang diharapkan hanya satu: ketaatan! Nampaknya pilihan kita tinggal dua; jadi pecundang di mata dunia atau di mata Allah? Pilih jadi babu dunia atau babu Allah yang mengasihi kita? Selamat atas pilihan Anda!

Malang, Okt 2002
Ini artikel pertama sayaJ, dimuat di buletin Visi Perkantas Malang


[i] kerinduan
[ii] pasrah
[iii] fokus pada tugas, bukan pada upah
[iv] taat penuh, anggap itu sabda Tuhan sendiri
[v] sewenang-wenang, semaunya, mumpung menjabat/memimpin
[vi] ceplas-ceplos, lugas dan tegas

1 komentar:

yuyu mengatakan...

Membukakan pikiranku selama ini mas :)
terima kasih