Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Kamis, 14 Februari 2013

Sekeping Rindu saat Packing

Sisipan, Refleksi:


Pindah pelayanan. Packing hari-hari ini. Kembali ‘roh tega’ diuji. Tega sortir, buang sebanyak mungkin. Banyak barang yang lolos  melewati beberapa pindahan (kontrakan) sebelumnya kali ini terpaksa kena giliran. Pindahan terakhir buku 4 kardus direlakan, kali ini 2 kardus lagi jadi kenangan. Setumpuk  surat dan kartu-kartu ucapan dari sahabat dan rekan pelayanan selama kuliah di seminari. Paling berat adalah kombinasi kartu ucapan dan foto. Sebuah salib berat buat seorang sanguin melankolik sepertiku ini.
Kubaca-baca singkat sebelum sisihkan ke plastik sampah. Tersadar lagi betapa hidup di asrama seminari itu diwarnai banyak kartu: Met Natal, Met Paskah, Met Ultah, Happy Preaching, Get Well Soon, Met Ujian, Met Pelayanan Week-End, Met Liburan, dan tak ketinggalan: Met ATM (Met Pacaran)! Kurasa tak bisa dikategorikan sebagai budaya basa-basi, karena tak jarang kartu-kartu itu dibuat-didekor sangat spesial, disertai ungkapan-ungkapan personal, doa-doa dan harapan, ekspresi sebuah relasi mendalam dari sahabat dan rekan sepanggilan, bahkan bertebaran kalimat-kalimat pengakuan bahwa diri kami dan kehadiran tiap kami di asrama sebagai kakak/adik, Bro & Sist in Christ, a good companion, bahkan sebagai teladan satu sama lain. Kebutuhan kami akan rasa aman, kasih dan penerimaan benar-benar terpenuhi oleh kebersamaan di kampus.
Kini 6 tahun telah berlalu. Sayangnya, kusadari, kedekatan dan kedalaman relasi seperti itu sudah jarang atau tak terjadi lagi di ladang. Pola berkawan/ berelasi helping, giving dan caring itu seolah sekedar kenangan. Sebagai alumni kami tak bisa sedekat yang kami harap. Teman semasta, se-pos SM, sekamar...tak lagi akrab...walau ada HP, email, FB, Instagram...walau ada WA Group Alumni. Bahkan walau ada sapaan dan percakapan dalam semua media sosial itu, tetap terasa ‘jauh,’ terasa dangkal. Ah, semoga  itu murni karena kesibukan melayani jemaat dan bukan karena terjebak dalam keegoisan dan ketidak-pedulian lantaran sibuk pikirkan kenyamanan ataupun penderitaan diri sendiri, kemiskinan ataupun kesejahteraan diri sendiri. 
Sesungguhnya, berdasar pengalaman, aku yakin justru di ladang pelayananlah kita lebih butuh dukungan semangat maupun teguran, lebih butuh perhatian dan doa-doa dari rekan sepanggilan. Itu pasti, karena justru di ladanglah terasa gencar bahaya maupun godaan yang siap hentikan langkah kita di jalan persembahan hidup yang telah sama-sama kita komitmenkan pada Tuhan. Aku sadar kalau akupun bagian dari fenomena “saling cuek” ini, padahal tiap kali membaca kartu-kartu itu aku terharu, I miss that moment, I miss those faces... Lalu tiba-tiba kusadari, komunitas seperti itu bukan cuma untuk dikenang, tapi juga untuk diciptakan, dilahirkan kembali, khususnya di kalangan / di antara para Hamba Tuhan.
Alasannya praktis sekaligus strategis. Pertama, jarang atau hampir tak pernah kudengar kisah seorang hamba Tuhan memiliki rekan sharing/penghibur/yoke fellow atau sunsugos dari kalangan majelis atau dari anggota jemaatnya. Jadi sesungguhnya he/she  desperately needs one from his/her colleaque (terutama dari rekan seangkatan). Kedua, tanpa rekan penolong yang bisa saling mementori, iapun akan tidak terasah atau tidak terlatih, baik secara skill maupun empatinya untuk menggembalakan/mementori jemaatnya secara pribadi. Kalaupun bisa, itu akan sekedar berdasar buku, melulu bagikan teori. Tetep bisa jadi berkat buat jemaat sih, tapi hatinya sendiri akan kerap dilanda sepi, rindukan mentor pribadi, sekaligus sahabat sejati.

Tangerang, Feb 2013,
Jelang pindah pelayanan (lagi) 

Tidak ada komentar: