Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Jumat, 12 Juli 2013

Mandela Legacy

       Nelson Mandela nama populernya. Setelah berbulan TV dan koran memberitakan kondisi kritisnya di RS, subuh tadi pemimpin Afrika Selatan 3 dekade ini akhirnya berpulang jua (94th). Sudah pasti negara Afrika Selatan bersedih, walau seluruh rakyatnya sudah mempersiapkan hati untuk kehilangan sosok yang mereka anggap pahlawan ini. Barak Obama, menyebutnya sebagai pahlawan dunia. Warisannya tidak akan dilupakan dunia. Apa yang diwariskan bapak ini? Salah satunya adalah: teladan pengampunan. Berkat teladan pengampunan bapak ini, dunia modern kita hari ini punya alasan dan punya bukti untuk percaya betapa dahsyatnya kekuatan pengampunan itu.
Ijinkan saya merangkum kisah hidupnya. Beliau lahir dan besar di saat negaranya diperintah oleh kaum minoritas kulit putih. Rezim kulit putih ini menerapkan politik apartheid, yakni kebijakan politik yang menindas hak-hak asasi warga kulit hitam yang jumlahnya mayoritas itu. Polisi atau warga kulit putih bisa seenaknya menganiaya, menyiksa bahkan membunuh warga kulit hitam. Mandela muda giat memperjuangkan persamaan hak bagi warga kulit hitam. Akibatnya, beliau kerap dijebloskan dalam penjara dan menjalani kerja paksa di sana, total selama 27th!
Th 94 angin politik berubah. PBB berhasil menekan pemerintah kulit putih di Afrika Selatan untuk menegakkan HAM dan memulihkan hak-hak warga kulit hitam. Mandelapun akhirnya bebas, dan segera didaulat oleh rakyat sebagai pemimpin politik mereka. Situasi politik Afrika Selatan saat itu memanas, warga kulit hitam yang puluhan tahun ditindas dengan kejam itu sudah siap melampiaskan balas dendam terhadap warga kulit putih, bahkan aksi penjarahan sudah mulai terjadi. Apa yang dilakukan bapak ini?
Mandela justru mengajak Presiden FW De Klerk yang memenjarakannya selama 27th itu untuk bersama meredakan situasi bangsa yang di ambang kerusuhan. Maka dua pemimpin ini, dengan disaksikan seluruh rakyat dan dunia, menanda-tangani perjanjian damai.  Mandela menghimbau presiden kulit putih itu mengadakan Pemilu secara demokratis, dan Mandela menjanjikan perlindungan terhadap warga kulit putih yang kini tidak sekuat dulu posisinya. Di depan rakyat, Mandela menyatakan bahwa ia mengampuni orang yang memenjarakannya selama 27th itu, dan kepada rakyat kulit hitam ia menyerukan untuk mengampuni seluruh warga kulit putih yang menindas mereka di masa lalu.
Tentu ini bukan hal yang mudah, banyak yang menolak bahkan jadi membenci Mandela karena mengampuni warga kulit putih, namun akhirnya Mandela berhasil meyakinkan rakyat kulit hitam untuk  mengawali era kebebasan mereka bukan dengan aksi balas dendam, melainkan dengan pengampunan. Pesan yang diserukan Mandela kepada rakyat kulit hitam, dan juga kepada dunia, adalah bahwa pengampunan, forgiveness, itu jauh lebih luhur dan lebih kuat dari kebencian dan balas dendam.
Singkat cerita, setahun kemudian Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama negara itu. Dunia juga menganugerahi Mandela dengan hadiah Nobel Perdamaian, karena menghindarkan negaranya dari pertumpahan darah. Hari ini Afrika Selatan menjadi bangsa yang maju, warga kulit hitam dan putih hidup rukun dan damai. Dunia terinspirasi, dunia kembali percaya, bahwa pengampunan itu besar kekuatannya, dahsyat  dampak positifnya.
Salah satu kalimat yang menyentuh hati rakyat kulit hitam sehingga mereka mau mengampuni adalah ucapan Mandela yang satu ini: “Saat saya melangkah keluar melalui pintu penjara menuju kebebasan saya, saya tahu bahwa jika saya tidak meninggalkan semua kemarahan, kebencian dan kepahitan itu di penjara ini, maka sama saja saya masih tetap dalam penjara!” Mandela mengingatkan warga kulit hitam, bahwa jika mereka memulai era baru, era kebebasan mereka itu dengan balas dendam, maka hati-jiwa mereka tidak akan benar-benar merasa bebas, melainkan akan terus terpenjara, tidak akan mengalami bahagia.
Kalimat Mandela di atas sesungguhnya bukan produk gagasan abad ini. 2000-an tahun lalu Tuhan Yesus sudah menyerukan kebenaran yang sama. Dalam perumpamaan di Matius 18:21-35 kita membaca seorang hamba yang jahat yang diampuni Raja namun batal bebas alias kembali masuk penjara karena sikapnya yang tidak mau mengampuni temannya yang berhutang sedikit kepadanya. Inti pesan Yesus di situ bukanlah bahwa kita itu harus menelan semua kekecewaan dan kemarahan kita, lalu mengampuni dan melupakan seolah-olah tidak terjadi apa-apa sama sekali.
Pesan perumpamaan Yesus itu adalah : bahwa kita tidak boleh berhenti menjadikan pengampunan dan rekonsiliasi itu sebagai sasaran kita tiap kali terjadi konflik. Jika pertengkaran atau konflik harus terjadi, kita harus menghadapinya dengan semangat pengampunan, bukan balas dendam.
Ayat terakhir dalam perumpamaan itu amat penting digaris-bawahi:(ay 35) “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu (maksudnya tidak mengampuni), apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Allah tidak akan mengampuni?? Tunggu dulu, ...Allah di sorga tidak akan mengampuni?? Benarkah??? Betulkah Sang Maha Pengampun itu tidak bisa mengampuni manusia yang tidak mengampuni sesamanya? Saya yakin jawabannya: Ia bisa! Ia Allah, pasti bisa. Tapi sikap tidak pengampun itulah yang membuat seseorang tidak mampu menerima pengampunan Allah. 
Ilustrasinya seperti ini: Pengampunan itu seperti udara dalam paru-paru kita. Kita hanya akan bisa menghirup udara yang baru jika kita terlebih dulu menghembus kan/ mengeluarkan udara itu keluar dari paru-paru kita. Kalau kita bersikeras tidak mau menghembuskan udara yang memenuhi paru-paru kita, yakni bersikeras tidak mau memberikan pengampunan, maka kita juga tak akan bisa menghirup udara yang baru/ pengampunan yang baru yang kita butuhkan. Secara rohani (dan mental), kita bisa mati lemas, kawan(Seorang konselor menggambarkan: orang yang tidak mau mengampuni itu seperti orang yang minum racun tapi mengharapkan orang lain yang mati).
Begitu jelas, begitu keras. Tapi ini pelajaran yang sulit, kawan. Sulit diterima akal, sulit terlebih sulit lagi dilakukan, baik buat orang yahudi jaman Yesus, sulit juga buat kita hari ini. Waktu itu Yesus hidup di tengah masyarakat yang menghargai balas dendam sebagai tanggung jawab moral dan menganggap pemberian maaf sebagai tanda kelemahan. Perumpamaan yang diceritakan Yesus itu pasti mengagetkan banyak orang. Hari inipun kita hidup di tengah dunia, di tengah masyarakat yang fasih bahasa kebencian dan balas dendam (kemarin saya baca di Kompas.com, ada berita tentang seorang pemuda di Inggris yang mati ditikam 17x setelah menggoda gadis arab).
Maka, ingin kuingatkan, kawan, bahwa panggilan kita adalah menjadi seperti Yesus bagi Israel, yakni mewartakan pengampunan Allah kepada generasi kita hari ini, khususnya pengampunan yang dianugrahkan-Nya melalui Yesus, Mesias yang tersalib itu. Seiring panggilan tersebut, kita juga dipanggil untuk memancarkan citra Allah sejati, yakni bertumbuh sebagai pribadi yang limpah memberi maaf. Tentu saja, sama seperti yang dialami Yesus, panggilan ganda ini beresiko menuai penilaian orang banyak atau pihak-pihak tertentu bahwa kita lemah, bahwa kita menghina keadilan Allah.
Kisah nyata berikut inipun buah dari teladan Nelson Mandela. Sebelum membacanya, ini ajakan saya: dibanding memuji-muji Mandela, lebih mendesak adalah menghidupi warisannya, yakni doakan, peragakan dan perjuangkan pengampunan di konflik apapun yang kita jumpa, di konflik antar individu terlebih level komunal, bahkan nasional bangsa kita! Setuju, kawan?? Yang setuju silahkan lanjut baca kisah nyata ini...

Seorang wanita tua berkulit hitam sedang berdiri di suatu ruang pengadilan di Afrika Selatan. Umurnya kira-kira 70, di wajahnya tergores penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun. Di depannya, di kursi terdakwa, duduk Mr. Van der Broek, orang yang terbukti membunuh anak laki-laki dan suami wanita itu. Beberapa tahun yang lalu laki-laki itu datang ke rumah wanita itu. Ia mengambil anaknya, menembaknya dan membakar tubuhnya. Beberapa tahun kemudian, ia kembali lagi. Ia mengambil suaminya. Dua tahun wanita itu tidak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Kemudian, van der Broek kembali lagi dan mengajak wanita itu ke suatu tempat di tepi sungai. Ia melihat suaminya diikat dan disiksa. Mereka memaksa suaminya berdiri di tumpukan kayu kering dan menyiramnya dengan bensin. Kata-kata terakhir yang didengarnya ketika ia disiram bensin adalah, “Bapa, ampunilah mereka.”
Mr. Van den Broek akhirnya ditangkap dan diadili. Ia dinyatakan bersalah, dan sekarang adalah saatnya untuk menentukan hukumannya. Hakim bertanya, “Jadi, apa yang Ibu inginkan? Apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang ini yang secara brutal telah menghabisi keluarga Ibu?”
Wanita itu menjawab, “Saya menginginkan tiga hal. Pertama, saya ingin dibawa ke tempat suami saya dibunuh dan saya akan mengumpulkan abunya untuk menguburkannya secara layak.” Lalu ia melanjutkan: “Suami dan anak saya adalah satu-satunya keluarga saya. Oleh karena itu permintaan saya kedua adalah, saya ingin Mr. Van den Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto (perumahan orang kulit hitam) dan melewatkan waktu sehari bersama saya hingga saya dapat mencurahkan padanya kasih yang masih ada dalam diri saya.”
“Dan, akhirnya,” ia berkata, “ yang ketiga, saya ingin Mr. Van den Broek tahu bahwa saya memberikan maaf bagi dia karena Yesus Kristus mati untuk mengampuni. Begitu juga dengan permintaan terakhir suami saya. Oleh karena itu, bolehkah saya dibantu berjalan ke depan hingga saya dapat memeluk Mr. Van den Broek dan menunjukkan padanya bahwa dia benar-benar telah saya maafkan.”
Ketika petugas pengadilan membawa wanita tua itu ke depan, Mr. Van den Broek sangat terharu dengan apa yang didengarnya, sampai-sampai ia pingsan. Sejenak kemudian, mereka yang berada di gedung pengadilan – teman, keluarga, dan tetangga – korban penindasan dan ketidakadilan serupa – berdiri dan bernyanyi "Amazing grace, how sweet the sound that saved a wretch like me. I once was lost, but now I'm found. 'Twas blind, but now I see.“

Matius 18:21-22
Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.

Matius 6:14-15
Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."


Palopo, 12 Juli 2013

Tidak ada komentar: