Rekan Sepanggilan, Menulislah!

Pengunjung yang terhormat, para saksi Kristus & para pelayan Tuhan, ini adalah blog mutiara DOA, SAAT TEDUH dan MEDITASI Kristen (kecuali sisipan-sisipan khususnya). Sebuah Kedai Doa, Warung SaTe, atau Kantin Yoga, terserah Anda menyebutnya. Kalo saya, ini Cafe Shalom:-) Lebih dari itu, blog ini adalah ajakan untuk menulis. Tulislah apa saja, selembar sehari, di diary atau jurnal pribadi. Don't worry, bahan-bahannya akan Tuhan kirim tiap hari, lewat berbagai macam situasi, Anda hanya tinggal mencatatnya dengan setia & sepenuh hati. Apapun genre-nya, semua bentuk tulisan itu bagus. Semua memastikan agar kita tak mudah lupa berkat dan pesan-Nya untuk jangka waktu sangat lama. Dan sudah barang tentu, tulisan Anda bisa jadi berkat buat sesama, asupan sehat bagi keluarga besar gereja-Nya. Selamat mencoba. Mulailah hari ini!

Sabtu, 05 Mei 2012

Shalom itu....

Refleksi, khusus edisi akhir pekan:

Pernah aku tinggal 2 bulan di sebuah daerah kantong kristen. Salah satu memori yang kuat kuingat adalah sapaan “shalom” yang kudengar hampir tiap saat, jadi salam tegur sapa yang diucapkan siapa saja.  Pendeta dan jemaat berbalasan: “Shalom!”; MC dan siswa akhiri persekutuan: “Shalom!”; Rapat usai : ‘Satu, dua, tiga: Shalom!”; Guru dan murid akhiri pelajaran: “Shalom!”; Tuan rumah dan tamu berpisah: “Shalom!”; Pejalan kaki dan pengendara motor bersapaan: “Shalom!”; Bahkan, seekor beo di teras rumah kawan rajin cari perhatian, menyapaku: “Shalom!”
Sayangnya, memori yang sama kuatnya tiap kali mengingat daerah itu adalah: langkanya suasana atau kondisi shalom itu sendiri di keseharian hidup masyarakat di sana. Tahanan yang kubezuk dalam penjara menyambut: “Shalom!”; Dan penjudi-pemabuk pinggiran jalan tak mau ketinggalan: “Shalom!”; Ya, ironis memang. Kata yang besar, yang menampung tujuan kekal Allah bagi ciptaan-Nya itu jatuh harga, jadi asesoris murah meriah bagi status kristen kita.
        Lebih buruk lagi, kurasa kata itu sudah jadi semacam mantra. Saling mengucapkannya, masyarakat kita seolah saling mensugesti untuk menciptakan perasaan damai di hati dan di perasaan kolektif masyarakat kita. Hasilnya cuma ilusi subyektif: "I feel good; We're Okay!" Seperti obat bius, masyarakat kita menuai rasa aman dan nyaman palsu, dan kerap terbukti berujung mental pasrah yang fatalis maupun agresifitas yang anarkis. Padahal kata shalom itu jauh lebih besar dan lebih luas dari kondisi individual kita. Ia menyangkut kondisi segenap penghuni bumi. Dan ia bukan konsep yang eksis di level perasaan, melainkan menyangkut kondisi-kondisi riil dunia kita ini. Ia adalah energi transformatif Allah yang mewujudkan sorga di bumi. Maknanya mencakup ketentraman, kesehatan, keamanan dan kemakmuran komunitas kita, kawan. Ia adalah sebuah keutuhan dan kekomplitan !
Dalam doa berkat imam Harun (Bil 6:24-25) disebutkan: “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia-Nya (His shalom).” Ini adalah doa berkat yang mencakup segala kebutuhan, memohonkan agar Allah mencukupkan kebutuhan rohani, jasmani maupun kebutuhan emosi umat. Demikian pula sapaan “Apa kabar?” dalam bahasa Ibrani modern, “Mah shalomkah?” serta salam saudara muslim kita, “Assalamualaikum,” itu menanyakan sekaligus mendoakan ketentraman jiwa maupun kesejahteraan jasmaniah orang yang disapa.
Sayangnya budaya individualistis zaman kita ini telah membuat banyak orang  berpikir: “Selama relasiku dengan Tuhan baik, maka relasiku dengan orang lain tidak terlalu penting.” Namun alkitab tegas, Allah tidak menerima kurban persembahan kita sampai kita berdamai dengan sesama. Yesus berkata, “jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 5:23-24).
Dalam ucapan ini, nampaknya Yesus mengacu pada jenis kurban persembahan di bait suci yang disebut kurban persembahan shelem (peace offering). Yang satu ini punya keunikan: hampir semua kurban persembahan diberikan seluruhnya untuk Tuhan (dibakar habis), namun khusus untuk shelem offering ini sebagian daging persembahan dimakan oleh umat dan keluarganya. Seolah Allah mengundang keluarga tersebut makan malam di meja-Nya, sebuah simbol persahabatan sejati dalam budaya waktu itu. Kurban persembahan shelem ini merupakan perayaan atas damai di antara semua peserta jamuan makan malam tersebut, yakni antara Allah dan seluruh anggota keluarga tersebut. 
Yang menarik, Perjamuan Terakhir Yesus dan para murid di malam sebelum Ia ditangkap itu mengambil bentuk kurban persembahan shelem ini, di mana Yesus mengambil roti dan anggur dan berkata bahwa roti dan anggur itu mewakili tubuh dan darahnya sebagai kurban persembahan, dan kemudian Ia mengundang para murid-Nya (dan kita) untuk memakannya. Dengan melakukan hal itu, kita mengambil bagian dalam jamuan damai dengan Tuhan, merayakan relasi baru dengan Dia dan dengan sesama melalui penebusan Kristus. Melalui Kristus, Allah menawarkan pada kita semua shalom-Nya, yakni shalom dalam makna kata ini yang seluas-luasnya.
Respons kita?  Setidaknya 3, kawan: Bersyukur, berdoa dan bekerja bagi shalom itu. Bersyukur berarti tidak ragu menikmati shalom itu dalam arti seluas-luasnya, baik terkait relasi kita denganNya maupun dengan siapapun sesama kita; dan menikmati aspek jasmani maupun rohaninya. Berdoa itu bagi wajah Indonesia hari ini yang masih jauh dari shalom (kemiskinan, kriminalitas, premanisme, konflik horisontal SARA maupun rusuh pilkada, korupsi, kolusi hukum, kerusakan ekologi, dlsb). Bekerja itu kreativitas kita menghadirkan shalom di kota-kota, di bidang ilmu atau profesi di mana Allah tempatkan kita, terutama ketika vandalisme terhadap shalom itu terjadi di depan mata dan kita punya kesempatan dan kemampuan meresponsnya.
Pengalaman tinggal di daerah kantong kristen itu sadarkan aku bahwa menjadi mayoritas tak menjamin umat Yesus hadirkan shalom Kristus, membuatku menguji ulang doa-doaku yang memohon Indonesia jadi "kantong kristen." Feeling-ku sih Allah baru akan percayakan anugrah menjadi mayoritas bila gereja terbukti setia memainkan peran sebagai minoritas, yakni minoritas yang mempelopori, menularkan spirit dan aksi-aksi shalom ini, agar “Mah shalomkah” itu, terutama agar sapaan “assalamualaikum” yang mayoritas itu, tak berhenti sebatas wacana apalagi sebatas salam tegur sapa tanpa realita.
        Ada amin, kawan? “Shalom!” :-)

“Mereka mengobati luka umat-Ku dengan memandang ringan, katanya: Shalom! Shalom!, tetapi tidak ada shalom.”   (Yeh.13:10-16; Yer. 8: 10-12; 6:10-15)

“Usahakanlah kesejahteraan (shalom) kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab shalom-nya adalah shalom-mu”           (Yeremia 29:7) 

Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, ... Janganlah gelisah dan gentar hatimu. (Yohanes 14:27)

Malang, Week-End Alumni 2010
Tema: Being God’s Shalom in the City

Tidak ada komentar: